Bulan-bulan di akhir tahun hingga awal tahun, saat puncak musim hujan tiba, adalah waktu yang membuat banyak warga kota-kota di Sumatera waswas. Mereka bersiap-siap menghadapi banjir yang bakal menerjang.
Posisi kota-kota besar di Sumatera yang berada di pesisir pada dasarnya rawan terkena banjir rob. Ditambah semakin berkurangnya tutupan hijau di kawasan hulu, alih fungsi lahan, tata kota yang belum memberi ruang memadahi untuk air, hingga perilaku warga membuang sampah ke sungai membuat kota-kota di Sumatera semakin kerap dilanda banjir.
Bulan-bulan di akhir tahun hingga awal tahun, saat puncak musim hujan tiba, adalah waktu yang membuat banyak warga kota waswas. Permukiman yang tinggal di dekat sungai rawan terendam. Sementara mereka yang tinggal di daerah aman banjir bersiap-siap menghadapi kerepotan akibat kemacetan di jalan yang terendam banjir. Banjir bahkan tak jarang merenggut korban jiwa.
Di Medan, misalnya, sebagai kota terbesar di Sumatera, hujan dalam hitungan jam telah membuat banyak kawasan terendam. ”Jika pada 2011 jumlah titik banjir masih 117, saat ini titik banjir di Medan lebih dari 1.500 titik dan terus bertambah,” tutur pengamat lingkungan hidup dari Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Jaya Arjuna, Rabu (10/5/2023).
Padahal Kota Medan dirancang Belanda untuk tidak banjir ketika terjadi hujan sangat lebat dengan curah 112 milimeter per hari. Penanganan banjir disiapkan dengan membangun kanal sepanjang 200 kilometer seperti Kanal Bedara, Sikambing, Selayang, dan Putih.
Kini, kondisi kanal sudah dipenuhi sedimen. Pengerukan kanal sangat mendesak. Sungai-sungai di Medan juga mendesak dikeruk dan dinormalisasi, termasuk di muara yang kini tumpat. Jika muara sungai tumpat, tidak ada gunanya memperbaiki drainase tersier ataupun sekunder di Kota Medan.
Banjir di Medan juga tidak lepas dari kerusakan hutan di hulu. Selain luas tutupan hutan yang terus menurun, kualitas hutan yang tersisa juga menurun karena lapisan humusnya telah diambil untuk dijual sebagai pupuk.
”Penelitian saya, lapisan ini dapat menyerap 250 liter air per meter persegi. Lapisan ini kini hilang dan dampaknya sangat luar biasa. Pemerintah seharusnya bisa mengendalikan ini sejak awal,” kata Jaya.
Adapun dokumen Revisi Renstra Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang 2019-2024 menyebutkan, selama 2016-2020 Padang mengalami banjir 5-30 kali dalam setahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, delapan dari sebelas kecamatan di Padang dilanda banjir selama tahun 2021. Kecamatan paling sering mengalami banjir tahun itu adalah Koto Tangah sebanyak 15 kali.
Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera V tahun 2016 menyatakan, selain curah hujan tinggi, banjir di Padang juga terjadi karena kontur wilayah Padang yang relatif datar, berada di bawah permukaan laut saat pasang tertinggi. Selain itu, sarana dan prasarana fisik juga kurang, seperti kapasitas drainase masih kurang, jaringan utilitas kota yang belum terintegrasi sehingga sering menghambat saluran drainase, serta pembangunan masyarakat yang mempersempit saluran drainase dan membuang sampah ke saluran drainase.
Sama seperti daerah lain, penyebab banjir di Padang juga disumbang oleh deforestasi yang terjadi di hulu daerah aliran sungai (DAS). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mencatat sepanjang 2001-2021, Padang kehilangan 2.860 hektar tutupan pohon. Alih fungsi hutan di hulu DAS di Padang, misalnya terjadi di DAS Timbulun seluas 100 hektar terjadi karena lahan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit.
Bahkan sebagian besar perumahan-perumahan baru berada di sempadan sungai. Padahal, semestinya radius 100 meter kiri-kanan tidak ada bangunan dan dijadikan kawasan lindung sebagai area tangkapan air.
Perumahan-perumahan baru berada di sempadan sungai.
Pembangunan yang serampangan itu sudah dirasakan dampaknya di Palembang. Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda mengatakan, banjir di Palembang disebabkan selain karena tidak optimalnya drainase akibat topografi wilayah juga akibat pembangunan yang serampangan.
Di ibu kota Sumsel itu, terjadi penimbunan rawa untuk pembangunan pemukiman tanpa memerhatikan rencana tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan. Pasang surut Sungai Musi juga ikut memperparah situasi. Intervensi terus dilakukan untuk mengurangi titik banjir. Hasilnya, kata Fitri, sebelumnya ada 33 titik kini menjadi 20 titik.
Kondisi serupa juga terjadi di Banda Aceh, Jambi, dan Bandar Lampung.
Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala pada rentang 2016-2019, Banda Aceh mengalami kenaikan permukaan air laut 7 milimeter per tahun. Dengan demikian, kawasan seluas 675 hektar atau 11 persen dari total lahan Banda Aceh berpotensi terdampak banjir rob dalam 100 tahun mendatang. Sebagian kawasan yang bakal tergenang adalah permukiman yang berada di pesisir pantai.
Kota-kota itu sudah bergerak untuk mengatasi banjir, bekerja sama dengan Balai Pengelolaan Sungai Wilayah Sumatera Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat. Upaya yang dilakukan adalah memaksimalkan jaringan drainase, baik dengan pembangunan baru, perbaikan, maupun pengerukan sedimen, membangun kolam retensi, dan pompanisasi. Pemerintah kota juga menggerakkan masyarakat untuk membersihkan sampah sungai seperti yang terjadi di Bandar Lampung lewat program Gerebek Sungai. Namun, langkah-langkah itu belum maksimal dan terhambat anggaran.
”Kami juga sedang membangun sistem peringatan dini bencana banjir. Posko pemantauan didirikan di daerah rawan banjir,” kata Kepala BPBD Kota Medan Muhammad Husni. Sosialisasi kebijakan penataan kawasan yang lebih sadar pada mitigasi bencana juga dilakukan.
Menurut Kepala Dinas PUPR Kota Padang Tri Hadiyanto, Padang memerlukan 15 titik kolam retensi, pintu air, dan sistem pompanisasi. ”Biayanya besar, sekitar Rp 40 miliar-Rp 50 miliar per titik. Kami terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat agar rencana itu bisa direalisasikan,” ujarnya.
Kepala Divisi Hukum dan HAM Walhi Sumsel Yusri Arafat mengatakan, pemerintah harus tegas menegakkan rencana tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan. Pemerintah juga harus memiliki komitmen untuk menyediakan anggaran untuk membangun infrastruktur penanganan banjir. Komitmen dari sejumlah pihak perlu diperkuat utamanya untuk menjaga kelestarian alam agar bencana itu tidak lagi berkunjung.
Selain banjir, ancaman bencana gempa dan tsunami juga mengancam kota di di pantai barat Sumatera mengingat posisinya yang berada di tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia dengan gempa dan tsunami, khususnya Banda Aceh dan Padang. Untuk itu, Banda Aceh telah menyiapkan warganya dengan membentuk Desa tangguh bencana dan Kota Padang pun sering menyelenggarakan simulasi bencana.