Jangan Lupakan Hulu DAS dalam Penanggulangan Banjir Kota Padang
Banjir senantiasa menjadi momok bagi masyarakat Kota Padang, Sumatera Barat. Penanganan dari hulu ke hilir mesti dilakukan.
Setiap hujan deras, Rahmi (31) beserta orangtua dan saudaranya sudah bersiap-siap. Karpet yang terbentang segera digulung diletakkan di tempat tinggi, begitu pula perabot lainnya. Rutinitas itu sudah dilakoni sejak bertahun-tahun silam sejak ia masih kanak-kanak.
Minggu (7/5/2023) pukul 23.00 lalu, parit di belakang rumah Rahmi meluap. Air masuk rumah setinggi 10 centimeter (cm). Adapun di jalan depan rumah, ketinggian air sekitar 15 cm. Luapan air dipicu hujan deras yang mengguyur Kota Padang sejak Sabtu (6/5/2023) siang.
”Banjir memang tidak sedalam biasanya. September tahun lalu, di dalam rumah, ketinggian air bisa di atas betis (30 cm) dan di jalan setinggi paha (70 cm),” kata Rahmi (31/5/2023), warga RW 013, Kelurahan Dadok Tunggul Hitam, Kecamatan Koto Tangah, Padang.
Banjir memang menjadi salah satu bencana yang mengancam permukiman Kota Padang. Hampir setiap tahun ibu kota Provinsi Sumatera Barat ini dilanda banjir silih berganti di sejumlah titik.
Baca juga: Hujan Deras Picu Banjir hingga 1,5 Meter di Kota Padang
Terakhir banjir relatif besar di Padang terjadi di kawasan Batu Busuk, Kelurahan Lambung Bukit, Kecamatan Pauh, 23 Januari lalu. Pemkot Padang mencatat, lebih dari 100 rumah warga terendam. Banjir dipicu hujan deras.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 8 dari 11 kecamatan di Padang dilanda banjir selama 2021. Kecamatan paling sering mengalami banjir tahun itu adalah Koto Tangah sebanyak 15 kali. Hanya Pauh, Bungus Teluk Kabung, dan Padang Barat yang tidak mengalami banjir. Kecamatan lainnya dilanda banjir 1-2 kali selama 2021.
Adapun data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padang dalam dokumen Revisi Renstra BPBD Kota Padang 2019-2024 menyebutkan, selama 2016-2020, Padang mengalami banjir 5-30 kali dalam setahun. Rinciannya, 11 kali tahun 2016, 27 kali 2017, 30 kali 2018, 5 kali 2019, dan 14 kali 2020.
Kontur wilayah
Dalam dokumen itu disebutkan, Padang memiliki 5 sungai besar dan 16 sungai kecil di dataran rendah yang berpotensi menjadi penyebab banjir. Hampir semua kecamatan di Padang terdapat titik banjir. Kondisi itu didukung pula dari segi klimatologis Padang yang beriklim tropis dengan hujan turun hampir sepanjang tahun.
Curah hujan rata-rata di Padang 414,63 mm per bulan dengan rata-rata hari hujan 17 hari per bulan. Suhu udaranya relatif tinggi sekitar 26,3 hingga 28 derajat celsius. Kelembaban udara rata-rata 79-83 persen. Kondisi itu dapat menyebabkan potensi bahaya, seperti cuaca ekstrem yang dipengaruhi cuaca bersifat fluktuatif tiap tahun.
Baca juga: Lokasi Rawan dan Drainase Buruk Picu Banjir di Kota Padang
Sementara itu, berdasarkan kajian Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera V tahun 2016 yang dirujuk oleh Dinas PUPR Padang, ada lima pemicu banjir di kota ini (Kompas.id, 19/11/2022). Pertama, faktor iklim, yakni curah hujan tinggi di Padang. Kedua, kontur wilayah Padang yang relatif datar dan berada di bawah permukaan laut saat pasang tertinggi.
Selanjutnya, ketiga, sarana dan prasarana fisik kurang, seperti kapasitas drainase masih kurang. Keempat, jaringan utilitas kota yang belum terintegrasi sehingga sering menghambat saluran drainase.
Kelima, pembangunan oleh masyarakat di sekitar rumah, misalnya jalan atau jembatan di atas saluran drainase, yang mempersempit saluran drainase serta aktivitas buang sampah ke saluran drainase.
Kerusakan di hulu
Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar Tommy Adam, Kamis (11/5/2023), mengatakan, selain faktor iklim dan topografi, penyebab banjir di Padang disumbang pula oleh deforestasi yang terjadi di hulu daerah aliran sungai (DAS).
Tommy menjelaskan, DAS di Padang, seperti Air Dingin, Kuranji, Arau, dan Timbulun, semuanya mengalir ke lautan Samudra Hindia. DAS di Padang punya topografi relatif terjal dan alirannya sangat singkat, paling jauh sekitar 25 kilometer dari hulu ke hilir.
Dengan demikian, aliran laju air lebih cepat dibandingkan dengan DAS lain, seperti Indragiri yang bermuara ke Riau. ”Konsekuensinya adalah tutupan daerah hulu memang harus tetap dipertahankan hijau,” katanya.
Baca juga: Rp 135 Miliar Dikucurkan untuk Kendalikan Banjir Luapan Sungai di Padang
Tommy melanjutkan, pada 2001, Padang memiliki 34.900 hektar hutan primer yang membentangi 51 persen area lahannya. Adapun sepanjang 2001-2021, Padang kehilangan 2.860 hektar tutupan pohon.
”Dari tahun ke tahun, Padang mengalami penurunan tutupan hutan cukup signifikan. Tahun 2021, setidaknya Padang kehilangan 132 hektar hutan primer. Itu akan berpengaruh terhadap limpasan dihasilkan curah hujan,” ujarnya.
Menurut Tommy, alih fungsi hutan di hulu DAS di Padang cenderung terjadi di DAS Air Dingin, DAS Kuranji, DAS Arau, dan DAS Timbulun. Hutan di hulu DAS tersebut beralih menjadi perladangan, tempat wisata baru, ataupun perumahan.
”Pada 2021, DAS Timbulun mengalami deforestasi di hulunya sekitar 100 hektar. Dari hasil investigasi kami, hutan sengaja dibuka untuk lahan perkebunan kelapa sawit,” kata Tommy.
Tommy menyebut, tekanan terhadap sungai di Padang semakin besar. Di Sungai/Batang Kuranji, misalnya, sebagian besar perumahan-perumahan baru berada di sempadan sungai. Padahal, semestinya radius 100 meter kiri-kanan tidak ada bangunan dan dijadikan kawasan lindung sebagai area tangkapan air.
Ditambahkannya, pemerintah harus tegas menindak pembukaan lahan di hulu DAS dan pembangunan perumahan di sempadan sungai. Penduduk semakin bertambah, ancaman banjir semakin besar. Hutan yang telanjur hilang semestinya dihijaukan kembali.
Perumahan tanpa amdal
Guru Besar Ilmu Geografi dan Kebencanaan Universitas Negeri Padang Dedi Hermon mengatakan, banjir di Padang terjadi setiap tahun dan semakin marak sejak 2021. Pada tahun itu, kecamatan paling sering mengalami banjir adalah Koto Tangah, lebih dari 15 kali dalam setahun.
”Permasalahan banjir di Padang ini sangat holistik, dari hulu, tengah, dan hilir. Untuk kawasan hilir, sebagian sungai di Padang sudah dinormalisasi. Yang jadi masalah adalah sungai yang belum dinormalisasi dan padat penduduk, seperti di Kecamatan Koto Tangah, khususnya kawasan Lubuk Buaya,” katanya.
Banyak rumah subsidi di daerah resapan air, rawa, atau penyangga. Kalau dialihfungsikan, tanpa Amdal, airnya ke mana lagi? Tentu terjadi genangan saat hujan.
Masalah lain, kata pria yang karib dipanggil Momon ini, adalah kebijakan pengembangan rumah bersubsidi. Umumnya pengembang membangun rumah di kawasan resapan air karena harganya lebih murah. Celakanya, pembangunan perumahan di kawasan itu tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
”Salah satu isi amdal adalah dokumen pengendalian banjir, tetapi itu tidak dilakukan. Dampak puncaknya pada 2021 sampai sekarang. Banyak rumah subsidi di daerah resapan air, rawa, atau penyangga. Kalau dialihfungsikan, tanpa amdal, airnya ke mana lagi? Tentu terjadi genangan saat hujan,” ujarnya.
Selain itu, kata Momon, kawasan pesisir Padang mengalami penurunan tanah 2 cm per tahun. Kondisi itu meningkatkan risiko terjadinya banjir rob. Banjir di kawasan pesisir bisa semakin parah saat terjadi pasang dan hujan deras.
Faktor lainnya, sebut Momon, adalah perilaku masyarakat yang tidak begitu peduli terhadap lingkungan. Sampah dibuang ke selokan. Akibatnya, saluran air tersumbat. Ketika hujan deras, air meluap ke permukiman.
Kepala Dinas PUPR Kota Padang Tri Hadiyanto, Kamis (11/5/2023), mengatakan, pemkot terus berupaya melakukan penanggulangan banjir setiap tahun. Salah satu upaya adalah dengan memaksimalkan jaringan drainase, baik dengan pembangunan baru, perbaikan, maupun pengerukan sedimen.
Adapun untuk normalisasi sungai, kata Tri, pemkot berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Sumbar dan BWS Sumatera V sebagai pihak yang berwenang. Beberapa sungai sudah dinormalisasi. Hasilnya, daerah yang dulunya rawan banjir sudah tidak banjir lagi, seperti daerah Anak Air dan Aie Pacah (Koto Tangah), Gunung Sarik (Kuranji), dan sebagainya.
Untuk tahun ini, BWS Sumatera V mengerjakan normalisasi dan membangun pengaman tebing Sungai Kandis dengan anggaran Rp 135 miliar (Kompas.id, 9/2/2023). Normalisasi dilakukan dari kawasan Jalan By Pass hingga ke muara. Langkah tersebut untuk menanggulangi banjir yang terjadi di kawasan Lubuk Buaya dan sekitarnya.
Tri menjelaskan, wilayah Kota Padang dalam tanda petik ”terhukum” oleh kondisi alam. Topografi Padang ada yang sama tinggi dengan permukaan, bahkan ada yang lebih rendah. Saat terjadi pasang dan hujan deras, air dari hulu tidak bisa mengalir ke laut. Oleh sebab itu, di masa mendatang perlu ada kolam retensi, pintu air, dan sistem pompanisasi.
”Kami dari pemkot sudah memetakan sekitar 15 titik yang memerlukan itu. Pembangunan itu sebenarnya yang harus kami lakukan, tetapi anggaran terbatas. Biayanya besar, sekitar Rp 40-50 miliar per titik. Kami terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat agar rencana itu bisa direalisasikan,” ujarnya.