Setengah Tahun di Tenda, Penyintas Gempa Cianjur Menagih Janji Pemerintah (14)
Gempa bermagnitudo 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat, menunjukkan kerentanan daerah tersebut terhadap bencana. Semua menjadi pelajaran pentingnya mitigasi hingga penanganan pascakejadian yang ideal.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Sekitar enam bulan pascagempa, sejumlah penyintas gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, masih tinggal di tenda yang fasilitasnya serba terbatas. Mereka pun berharap segera mendapat bantuan perbaikan rumah dan kepastian relokasi hunian aman sesuai janji pemerintah.
Asep Ismanto (26), Ketua Karangtaruna Kampung Cugenang, Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, mengatakan, lebih dari 100 warga masih tinggal di tenda. ”Soalnya enggak ada lahan kalau mau bikin rumah. Mau bangun rumah juga enggak ada modal,” ujarnya, Kamis (11/5/2023).
Rumah warga setempat hancur saat gempa bermagnitudo 5,6 mengguncang Cianjur pada 21 November 2022. Sejak saat itu, Asep dan warga lainnya tinggal di tenda hingga kini. Tenda itu merupakan bantuan dari pemerintah, swadaya warga, dan pihak lainnya.
Menurut dia, hidup di tenda saat ini terasa lebih berat dibandingkan awal gempa. ”Tidak ada lagi dapur umum, posko kesehatan, dan bantuan dari masyarakat. Paling bantuan telur dari pemerintah desa. Selebihnya kami cari makan masing-masing. Kalau sakit, ke puskesmas sendiri,” katanya.
Itu sebabnya, ia berharap pemerintah pusat dan daerah segera memastikan relokasi bagi warga Cugenang. Apalagi, permukiman mereka yang telah rata dengan tanah termasuk zona merah dan tidak boleh ditempati lagi. Mereka tidak hanya kehilangan bangunan, tetapi juga tanahnya.
Asep bersama sejumlah perwakilan warga pun telah menemui Pemerintah Kabupaten Cianjur beberapa waktu lalu. Mereka menanyakan kepastian relokasi. ”Apalagi, tempat relokasi di Sirnagalih dan Mande sudah sudah penuh. Kami akan diberi tahu info relokasi akhir bulan ini. Semoga ada kepastian,” ujarnya.
Pihaknya berharap pemerintah dapat segera merelokasi warga Cugenang yang masih tinggal di tenda. ”Setidaknya ada hunian sementara kalau relokasi masih lama. Kasihan, di tenda banyak anak kecil dan warga lansia. Anak saya yang tiga tahun juga di sana,” tutur Asep yang istrinya sedang hamil.
Ia juga mempertanyakan rencana pemerintah memberikan bantuan dana bagi penyintas untuk sewa rumah sebelum hunian tetapnya jadi. ”Katanya, ada bantuan kontrak rumah per tiga bulan. Kami berharap bantuan itu cair. Sampai kapan kami harus camping terus di tenda?” ujar Asep.
Hidup di tenda enggak enak. Kalau panas, kepanasan. Kalau hujan deras, bisa banjir. Sekarang banyak yang mengeluh gatal-gatal.
Lia Rosliati (32), warga Sindangpalay, Desa Talaga, Cugenang, bersama keluarganya juga masih tinggal di hunian sementara yang beratapkan tenda. ”Ini sudah enam bulan di sini. Sampai kapan ya begini? Pusing. Mau bangun rumah, bantuan rehab belum turun. Cari tukang juga susah. Harga material naik terus,” katanya.
Lia mengatakan, ia telah mendapatkan buku tabungan untuk menerima bantuan perbaikan rumah. Menurut rencana, ia mendapatkan bantuan Rp 60 juta karena rumahnya rusak berat.
Namun, hingga kini, uang tersebut belum cair. Padahal, dana itu bisa digunakan untuk membuat rumah.
Saat ini, katanya, bantuan perbaikan rumah masih didominasi bangunan yang rusak ringan dan sedang. ”Semoga bantuannya cepat cair. Hidup di tenda enggak enak. Kalau panas, kepanasan. Kalau hujan deras, bisa banjir. Sekarang banyak yang mengeluh gatal-gatal,” ungkap ibu dua anak ini.
Lia juga mengeluhkan pengairan sawah yang terganggu pascagempa. Akibatnya, lahannya dan sejumlah tetangganya di daerah Talaga tidak bisa digarap sejak gempa terjadi.
”Padahal, kalau bisa ditanami, sawah itu panennya sampai 3 ton. Baru kali ini sawah di sana kekeringan,” ujarnya.
Pemerintah mengklaim masih memikirkan nasib penyintas. Hunian layak dan aman masih coba diupayakan sesuai rekomendasi. Bantuan dana masih disalurkan.
Namun, prosesnya tidak secepat gempa menghancurkan kehidupan warga. Akibatnya, penyintas tetap sulit bangkit secepat yang mereka harapkan.
Asisten Daerah II Kabupaten Cianjur Budi Rahayu Toyib memaparkan, lebih dari 500 rumah terdata wajib direlokasi karena berada di zona merah Sesar Cugenang. Daerah itu melingkupi satu desa di Kecamatan Cianjur dan tujuh desa lainnya di Kecamatan Cugenang.
”Berdasarkan hasil kajian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, rumah yang direlokasi ini berada di zona merah. Rumah para korban terdampak ini dibangun di luar zona berbahaya tersebut,” ujar Budi di Cianjur.
Ratusan rumah itu dibangun dalam tiga tahap di tiga wilayah. Pembangunan tahap pertama untuk 200 rumah yang telah rampung berada di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cilaku. Sementara itu, pembangunan di tahap kedua untuk 151 unit rumah berlokasi di Desa Murnisari, Kecamatan Mande.
”Untuk tahap ketiga masih kami usahakan dan berada di Desa Batulawang, Kecamatan Cipanas. Sementara rumah-rumah lainnya dibangun di tempat yang sama dengan lokasi sebelumnya,” kata Budi.
Menurut data yang dihimpun Pemerintah Kabupaten Cianjur, rumah yang rusak akibat gempa November 2022 mencapai 64.901 unit. Kerusakan ini tersebar di 180 desa yang masuk ke dalam 16 kecamatan.
Penyaluran untuk tahap tiga sebanyak 42.000 warga masih berjalan dan untuk tahap empat dengan sasaran 24.000 warga yang belum terdata akan diupayakan.
Dari jumlah ini, kerusakan berat mencapai 14.093 unit. Selain itu, rumah yang mengalami rusak sedang sebanyak 15.355 unit dan rusak ringan 35.453 unit.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Cianjur, hingga 15 Desember 2022, jumlah korban jiwa akibat gempa tersebut mencapai 602 orang, sementara delapan orang masih dalam pencarian. Gempa ini juga mengakibatkan 593 orang luka berat dan 114.683 warga mengungsi.
”Gempa ini menyadarkan warga Cianjur bahwa tempat tinggal mereka rawan bencana. Sebelumnya, simulasi bencana warga di lokasi yang terdampak hanya untuk erupsi Gunung Gede karena berada di kaki gunung itu. Sekarang kami juga harus mewaspadai Sesar Cugenang ini,” ujarnya.
Selain kesiapan dari warga, spesifikasi rumah yang akan dibangun kembali juga perlu diperhatikan. Kepada warga yang hendak membangun kembali, kata Budi, pemerintah mengimbau untuk mendirikan rumah yang tahan gempa.
Hal ini untuk antisipasi agar jumlah korban jiwa yang timbul akibat bencana serupa tidak lebih banyak dari kejadian sebelumnya. Menurut Budi, kerusakan yang terjadi pada rumah di saat gempa melanda November lalu kebanyakan berasal dari bangunan yang tidak kokoh secara struktur.
”Kami memberikan pedoman kepada masyarakat yang akan membangun rumah kembali agar memperhatikan strukturnya, misalnya penggunaan besi kolom dengan diameter 12 milimeter,” ujar Budi.
Terkait penyaluran dana terhadap korban Gempa Cianjur, Budi menyatakan, saat ini masih berlangsung. Penyaluran tahap pertama dan kedua dengan jumlah total sekitar 22.000 orang hampir rampung.
”Penyaluran untuk tahap tiga sebanyak 42.000 warga masih berjalan dan untuk tahap empat dengan sasaran 24.000 warga yang belum terdata akan kami upayakan,” ujarnya.
Jalan panjang masih harus ditempuh para penyintas gempa di Cianjur. Meski rekomendasi hingga tata kelola pascabencana diklaim sudah dilakukan pemerintah, manfaatnya tetap sulit segera dirasakan.