Hidup Berkelindan dengan Banjir dan Rob di Semarang (2)
Selama bertahun-tahun, sebagian masyarakat di Kota Semarang, Jateng, hidup berkelindan dengan bencana banjir dan rob. Para korban itu berharap ada solusi komprehensif agar bencana tak lagi membayangi kehidupan mereka.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
Adennyar Wycaksono (33), warga Kelurahan Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, belum bisa lupa dengan banjir bandang yang melanda wilayahnya pada 2010 silam. Kala itu, sepuluh orang dilaporkan meninggal akibat terseret air bah. Satu dari sepuluh jasad yang hanyut kala itu ditemukan Aden di sekitar rumahnya.
Setidaknya sejak dua dekade terakhir, Aden dan ribuan orang yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) Beringin, Kota Semarang, hidup dalam kondisi waswas. Sebab, wilayah itu rutin dilanda banjir bandang.
Menurut Aden, banjir di DAS Beringin terjadi akibat aliran sungai yang tidak lancar lantaran tingginya sedimentasi. Kondisi itu kian parah karena posisi Mangkang Wetan berada di tikungan sungai.
”Banjir bandang terakhir terjadi pada akhir tahun 2022, tetapi dampaknya tidak terlalu parah. Tidak ada korban jiwa maupun kerusakan pada bangunan rumah warga seperti tahun-tahun sebelumnya,” kata Aden, Kamis (4/5/2023).
Aden menyebut, kondisi banjir di wilayahnya sedikit membaik lantaran adanya normalisasi Sungai Beringin. Belokan Sungai Beringin di Mangkang Wetan juga sudah direkonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadi tidak terlalu curam. Oleh karena itu, volume air yang limpas ke permukiman bisa dikurangi.
Hidup berdampingan dengan banjir juga dilakoni Safira (26) selama satu dasawarsa terakhir. Warga Kelurahan Siwalan, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, itu menyebut, banjir paling parah di wilayahnya terjadi pada awal 2023.
Kala itu, banjir setinggi 30 sentimeter (cm) merendam bagian dalam rumahnya selama dua hari. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, banjir tidak pernah masuk ke dalam rumahnya, tetapi hanya merendam jalan-jalan menuju ke rumahnya.
”Banjir karena saluran air di sekitar tempat tinggal saya terlalu sempit. Sudah begitu, saluran air juga sering tersumbat sampah. Sementara itu, hujan yang terjadi awal tahun ini deras banget, jadi airnya tidak semuanya bisa tertampung (di saluran air) dan malah masuk ke rumah warga,” ucap Safira.
Rob
Tak hanya banjir, Kota Semarang juga digerus rob. Di wilayah itu, rob dipicu oleh peningkatan muka air laut dan penurunan muka tanah. Sebuah penelitian dalam jurnal Geophysical Research Letters yang dipublikasikan tahun 2022 menyebut, laju penurunan muka tanah di Kota Semarang sekitar 0,9-6 cm per tahun.
Sementara itu, hasil studi tentang kenaikan muka air laut yang dilakukan para peneliti Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada 2009-2011 menyebut, laju kenaikan muka air laut di Kota Semarang sebesar 12,83 milimeter per tahun.
Salah satu wilayah terdampak rob adalah Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Amron (55), warga Kelurahan Tanjung Mas, menyebut, rob rutin melanda wilayah itu sejak 27 tahun lalu. Kondisinya kian parah sepuluh tahun terakhir. Puncaknya pada Januari 2023 saat 17 rumah di kawasan itu rusak parah diterjang rob yang disertai angin kencang.
Menghadapi rob, warga dihadapkan pada dua pilihan, yakni pindah atau beradaptasi. Karena tidak semua warga memiliki biaya untuk pindah, sebagian mereka memilih bertahan sambil terus beradaptasi.
Amron, misalnya, sudah empat kali meninggikan bangunan rumahnya dalam kurun waktu 27 tahun terakhir. ”Setiap meninggikan bangunan rumah, saya butuh minimal Rp 50 juta. Uang itu saya dapat dari meminjam di bank, ” ujarnya.
Tiga penyebab
Guru Besar Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang, Wiwandari Handayani menyebut, ada tiga penyebab banjir di Kota Semarang, yakni minimnya daerah resapan di kawasan hulu, kegagalan drainase, serta penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut. Tiga penyebab banjir ini mesti diatasi dengan cara yang berbeda.
Menurut Wiwandari, minimya daerah resapan di kawasan hulu Semarang terjadi karena peralihan daerah resapan menjadi kawasan terbangun. Kondisi ini menyebabkan air hujan yang turun di kawasan hulu tidak bisa terserap ke dalam tanah, tetapi langsung mengalir ke wilayah hilir.
”Tidak semua wilayah, terutama kawasan resapan, bisa dijadikan daerah terbangun. Seandainya dijadikan daerah terbangun, seharusnya ada mitigasi yang disiapkan, misalnya memastikan daerah sempadan sungai clear, rutin mengecek tanggul-tanggul sungai, dan menormalisasi sungai secara berkala,” kata Wiwandari.
Minimya daerah resapan di kawasan hulu Semarang terjadi karena peralihan daerah resapan menjadi kawasan terbangun.
Penataan ulang drainase yang disesuaikan dengan pola curah hujan juga dinilai Wiwandari perlu dilakukan untuk mengatasi kegagalan drainase. Sebab, setiap tahun, tuntutan drainase Kota Semarang semakin tinggi karena kawasan terbangunnya juga semakin banyak.
Sementara itu, untuk pengentasan masalah rob, perlu pembangunan infrastruktur terintegrasi, mulai dari membuat tanggul laut, menormalisasi sungai dan drainase, hingga membangun polder air. Edukasi kepada semua pihak untuk mengurangi tingkat keparahan rob, seperti menekan eksploitasi air tanah dan membatasi pembangunan di wilayah pesisir, juga diperlukan.
Dalam beberapa kesempatan, Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu mengatakan telah menyiapkan sejumlah strategi mengatasi banjir. Untuk mengatasi banjir di wilayah atas, Pemkot Semarang akan menertibkan tata ruang melalui kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Semarang. Sebab, mayoritas sungai di Kota Semarang berhulu di Kabupaten Semarang.
”Kalau kami boleh usul, nanti inginnya dibangun waduk di bagian atas sehingga air dari atas tidak langsung ke bawah, tetapi transit dulu di waduk atau embung,” ujarnya.
Pengendalian banjir juga akan dilakukan di wilayah Semarang bawah. Untuk mengatasi banjir di wilayah Semarang bagian timur, akan ada penambahan pompa dan pintu air, pembangunan kolam retensi dengan luas 250 hektar, serta pembangunan tanggul laut.
Di wilayah Semarang bagian barat, pengendalian banjir akan dilakukan dengan cara menormalisasi Sungai Plumbon. Normalisasi akan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Adapun Pemkot Semarang bertugas membebaskan lahan seluas 11,6 hektar untuk normalisasi itu.