Beratnya Godaan Pejuang Lingkungan
Tertangkapnya pegiat konservasi Yaparudin (38) dalam kasus perdagangan kulit harimau sumatera menjadi pengingat bahwa para pejuang lingkungan berada pada posisi rentan.
Terlepas dari adanya indikasi jebakan, tertangkapnya pegiat konservasi Yaparudin (38) dalam kasus perdagangan kulit harimau sumatera menjadi pengingat bahwa para pejuang lingkungan berada pada posisi rentan. Sedikit saja tergoda bisa tergelincir jadi bagian dari kejahatan yang selama ini diperangi.
Penyesalan terlihat jelas di wajah Yaparudin dari balik jeruji besi. Kini ia justru terjerumus menjadi bagian dari kejahatan yang selama ini ia musuhi. Ia tak menyangka, kawannya, orang yang selama ini dianggap teman, tega membenamkannya ke penjara.
Di sisi lain, kondisi ekonomi yang sulit membuatnya seperti hilang akal. Sebagai pegiat konservasi dan mantan masyarakat mitra polisi hutan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di wilayah Pesisir Selatan, Yaparudin tentu saja paham perbuatannya dan kawan-kawan jelas melanggar hukum.
”Saya mengaku salah. Saya memang sedang butuh uang. Saya dijanjikan fee Rp 15 juta,” kata Yaparudin ketika dijumpai di ruang tahanan Polres Kerinci, Kota Sungai Penuh, Jambi, Selasa (9/5/2023).
Baca juga: Pegiat Konservasi di Sumbar Tertangkap Tangan Hendak Jual Kulit Harimau Sumatera
Tim Satuan Reserse Kriminal Polres Kerinci menangkap Yaparudin alias Yapar di lobi Hotel Mahkota, Sungai Penuh, Kamis (4/5/2023) pukul 10.00. Ayah empat anak ini kedapatan tengah membawa karung berisi kulit harimau sumatera sepanjang 2 meter. Ia diduga tengah menunggu pembeli.
Yapar mengaku, dirinya tidak sendirian dalam upaya transaksi bagian tubuh satwa dilindungi itu. Ia menyebut ada Yos, warga Desa Talang Lindung, Sungai Penuh, sebagai otak transaksi itu. Selain itu, ia juga menyebut Nata dan Ringgo sebagai penyuplai dan kurir kulit harimau.
Akan tetapi, saat penangkapan, kata Yapar, Nata dan Ringgo telah kabur dari lokasi. Sementara itu, Yos masih berada di depan hotel dan menurut Yapar justru menyatakan kepada aparat bahwa barang bukti itu milik Yapar yang hendak bertransaksi dengan pembeli.
Baik Yapar maupun Yos pernah menjadi mitra konservasi pada Balai Besar TNKS. Yos disebut-sebut merupakan mantan tim Tiger TNKS yang telah dipecat 10 tahun lalu karena terlibat perdagangan satwa.
Semua keterangan pihak Yapar dibantah oleh Yos ketika dijumpai di rumah bambunya di kawasan Taman Bunga, Desa Talang Lindung, Senin (8/5/2023) sore. Rumah Yos berjarak sekitar 6 km atau 12 menit dari Kantor Polres Kerinci.
”Saya tidak ada tahu barang itu. Kini (alur kiriman kulit harimau), kan, putus (di Yapar). Barang ini yang masalah, bukan iming-iming. Seandainya saya iming-iming, barang tidak ada, dia tidak bakal kena. Berarti Yapar punya koneksi ke jaringan itu,” kata pria yang mengaku berprofesi sebagai petani ini.
Sehari-harinya, lanjut Yos, ia mengenal baik Yapar. Rumahnya kerap ditumpangi Yapar sejak pergi dari rumahnya di daerah Tapan, Pesisir Selatan.
Rekam jejak
Ayah Yapar, Zaibir Usman (63), mencurigai, penangkapan anaknya dalam transaksi perdagangan kulit harimau itu diskenariokan. Ia menduga penangkapan Yapar terkait peran aktifnya melaporkan aktivitas ilegal di hutan. Sebagian besar aktivitas ilegal itu melibatkan oknum aparat.
Menurut keluarga, rekam jejak Yapar sangat baik sejak mulai menaruh perhatian pada isu lingkungan dan konservasi sejak 2014. Setidaknya, ada dua piagam penghargaan terpajang di rumah orangtuanya di Nagari Tebing Tinggi Tapan, Kecamatan Ranah Ampek Hulu, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Yapar pernah mendapat penghargaan sebagai tokoh muda pejuang pelestari hutan penyangga TNKS di Pesisir Selatan dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem pada 22 Oktober 2019 serta penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada 3 Oktober 2019.
Perihal maraknya keterlibatan oknum aparat diamini Wira, petugas di Balai Besar TNKS (Kompas.id, 8/5/2023). Ia menilai, selama ini Yapar diketahui aktif dalam menyuarakan temuan kejahatan lingkungan dalam taman nasional itu. Upayanya tak jarang berdampak positif menghentikan aktivitas-aktivitas penggergajian atau serkel kayu ilegal dan juga perambahan liar di wilayah Tapan.
”Sejak dia bersuara, sudah banyak serkel yang tutup. Kami khawatir, setelah kejadian ini, malah serkel mulai beraktivitas lagi,” ujarnya.
Baca juga: Keluarga Pegiat Konservasi Sumbar Sebut Kasus Kulit Harimau Sarat Kejanggalan
Ia menyebut ada sekitar 38 usaha pengolahan kayu yang beroperasi di sekitar Tapan, tetapi hutan rakyatnya tidak ada. Sumber kayu diduga kuat diambil dari taman nasional. Aktivitas pengolahan kayu itu juga diduga dibekingi oknum-oknum aparat. ”Bisa dipastikan kayu-kayunya diambil dari TNKS,” ujarnya.
Sejak Yapar dan masyarakat mitra konservasi aktif menyuarakan, usaha-usaha ilegal itu akhirnya berhasil ditutup. ”Petugas sempat kewalahan menghadapi mereka (oknum). Memang butuh masyarakat untuk bersuara juga,” tambahnya.
Kesulitan ekonomi
Akan tetapi, sulitnya kondisi ekonomi dan konflik dengan keluarga membuat Yapar terjerembap. Keluarga meyakini, kondisi rentan Yapar dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak suka untuk menjerumuskan pria tamat SMA itu. ”Mereka memanfaatkan kondisi Abang,” kata Desi Fatmayunita (32), adik Yapar.
Kesulitan ekonomi itu sebenarnya sudah dialami Yapar sejak lama. Sebagai mitra konservasi, tidak ada gaji tetap untuk Yapar. Pendapatannya sering kali dari pegawai, pejabat, mahasiswa yang ia pandu masuk hutan, atau dari membantu ayahnya berkebun ataupun kerja serabutan lainnya.
”Kadang untuk minyak motor pergi menjaga hutan, Rp 10.000, Rp 20.000, Abang minta ke saya. Karena dia Abang saya, saya kasih juga,” kata Desi.
Walakin, belakangan, kondisi keuangan Yapar semakin sulit, terutama sejak tidak lagi menjadi mitra konservasi di Balai Besar TNKS sejak awal tahun. Upayanya mengurus pendaftaran pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di sebuah kementerian di Jakarta sejak akhir Januari tidak berhasil.
Selain itu, Yapar juga sedang berkonflik dengan keluarga sepulang dari Jakarta akhir Maret lalu. Ia pun pergi dari rumah tanpa kabar. Padahal, selama ini Yapar selalu bergantung kepada keluarga, terutama Desi, saat tidak punya uang.
”Biasanya Abang selalu curhat kepada saya. Namun, sejak konflik itu, tidak ada lagi komunikasi. Keluarga kaget, dapat info dari media, Abang tertangkap,” ujar Desi.
Penangan kasus
Kepala Satuan Reserse Kriminal Ajun Komisaris Edi Mardi Siswoyo membantah indikasi penjebakan dalam kasus Yaparudin. Penyidik melakukan penangkapan berdasarkan dua alat bukti yang cukup dan sudah terpenuhi. ”Terkait adanya jebakan, nanti akan dibuktikan di persidangan,” ujarnya, Senin (8/5/2023).
Menurut Edi, polisi sedang memburu pemilik kulit harimau. Jika pemilik tertangkap, kasus ini akan semakin terang. Terkait Yos yang disebut sebagai pelaku utama oleh Yapar, Edi mengatakan, penyidik sedang mendalami, apakah informasi itu benar atau sekadar nama. ”Makanya dari ponselnya sudah kami sita untuk didalami,” kata Edi.
Edi melanjutkan, sebagai mantan mitra konservasi TNKS, Yapar semestinya tidak mendekatkan diri terhadap perdagangan satwa dilindungi. Apalagi, selama ini ia dikenal sebagai pegiat konservasi dan pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru tingkat Provinsi Sumbar. ”Seharusnya dia tidak berhubungan dengan orang-orang itu,” ujarnya.
Faktor ekonomi ternyata masih menjadi celah untuk menumpulkan gerakan-gerakan konservasi lingkungan. (Wengki Purwanto)
Ditambahkan Edi, saat ini kasus Yapar sedang pemberkasan. Pemeriksaan saksi-saksi sudah dilakukan, termasuk ahli. Dalam waktu dekat, penyidik melakukan pemberkasan untuk jaksa penuntut umum sehingga kasus masuk tahap P21.
Yaparudin disangka melanggar Pasal 21 Ayat (2) Huruf b dan Huruf d serta Pasal 40 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukuman untuk dia adalah maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.
Rentan
Direktur Eksekutif Walhi Sumbar Wengki Purwanto berpendapat, potensi Yaparudin dijebak sangat mungkin. Aktivitas Yapar yang aktif melaporkan berbagai tindakan perusakan hutan memang banyak mengganggu orang, terutama yang bermain di sektor ilegal, termasuk oknum-oknum pejabat di lingkaran kejahatan itu.
Praktik dalam berbagai kasus, kata Wengki, cara menghentikan gerakan seseorang bermacam-macam, mulai dari bujuk rayu, intimidasi, hingga dijebak. ”Menurut kami, ruang Yaparudin dijebak itu sangat mungkin dengan rekam jejak aktivitasnya sebelum ini. Apakah betul-betul dijebak? Tentu proses hukum yang akan membuktikan.”
Terlepas dari indikasi jebakan, Wengki menyebut kasus Yaparudi ini mesti menjadi pengingat. Organisasi masyarakat sipil ataupun individu yang memperjuangkan isu lingkungan, satwa, hutan, dan sebagainya mesti berhati-hati.
Zaman dulu, kata Wengki, cara-cara musuh mematahkan gerakan dengan uang, jabatan, dan ancaman kekerasan fisik. Sekarang strateginya sudah dimodifikasi dan dikembangkan, termasuk menggunakan celah hukum pidana, baik melalui UU ITE maupun pidana murni. ”Bisa saja kita dijebak dan dikondisikan berada di level itu,” ujarnya.
Kasus Yaparudin, lanjut Wengki, mesti jadi refleksi bersama. Faktor ekonomi ternyata masih menjadi celah untuk menumpulkan gerakan-gerakan konservasi lingkungan. Orang pada titik terpuruk secara ekonomi sangat mungkin terpaksa memilih jalan itu.
Menurut Wengki, sudah saatnya sesama pegiat memikirkan langkah-langkah antisipatif. Solidaritas sesama menjadi bagian penting. Sudah semestinya sesama pegiat mengetahui serta ikut membantu kawan memecahkan masalah dan mencarikan solusi. ”Jangan dibiarkan sendiri dan justru menjadi bagian dari apa yang selama ini kita lawan,” ujarnya.