Korupsi dan Harapan Sejahtera dari Dana Desa di Aceh
Dana desa seharusnya jadi modal pemerintahan desa di Provinsi Aceh untuk membangun kesejahteraan warganya. Namun, faktanya angka kemiskinan di perdesaan masih tinggi dan tindak pidana korupsi dana desa masif.
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh menjatuhkan vonis 3 tahun penjara terhadap Andiani, eks Keuchik Gampong/Kepala Desa Piyeung Lhang, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar. Dalam sidang berlangsung pada Rabu (12/4/2023), Andiani dinyatakan terbukti melakukan korupsi dana desa. Nilai kerugian negara mencapai Rp 400 juta.
Itu bukan kasus pertama korupsi dana desa terjadi di Aceh. Sebelumnya pada Januari 2023, eks Sekretaris Desa Jeumpa Barat, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Aceh Barat Daya, divonis 2 tahun penjara dalam kasus pengadaan pupuk fiktif. Kerugian negara mencapai Rp 192 juta.
Baca juga: Dana Desa dan Ilusi Pemberdayaan
Data yang dihimpun oleh Masyarakat Transparan Aceh (MaTA) pada 2021-2022 menunjukkan, tindak pidana korupsi di Aceh mencapai 27 kasus dengan kerugian Rp 68,6 miliar lebih dengan jumlah tersangka 81 orang. Dari jumlah itu, 11 kasus merupakan korupsi dana desa. Korupsi dana desa mencapai 41 persen dari seluruh kasus korupsi di Aceh.
Korupsi dana desa itu telah membuat 18 orang menjadi tersangka. Sebanyak 11 tersangka merupakan bekas kepala desa dan 7 tersangka merupakan aparatur desa. Adapun nilai kerugiannya mencapai Rp 5 miliar.
Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan, modus korupsi yang paling sering terjadi adalah melakukan penggelembungan(mark up)harga dan membuat kegiatan fiktif. Korupsi itu berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat perdesaan. Sebab, dana tersebut seharusnya digunakan untuk membangun desa baik fisik dan nonfisik tetapi justru jadi bancakan aparatur.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Aceh Zulkifli mengatakan, ada kecenderungan terjadi kenaikan kasus korupsi dana desa. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memastikan penggunaan dana desa tepat sasaran.
Baca juga: Dana Desa di Aceh Harus Digunakan untuk Menekan Laju Peningkatan Kemiskinan
Sejak 2015 hingga 2023, Provinsi Aceh mendapatkan alokasi dana desa sebesar Rp 39 triliun. Alokasi itu dibagikan kepada 6.496 desa. Setiap desa mendapatkan Rp 600 juta-Rp 800 juta. ”Namun, angka kemiskinan Aceh masih tinggi dan kantongnya ada di perdesaan. Penurunan angka kemiskinan Aceh setahun tidak mencapai 1 persen,” ujar Zulkifli.
Tercatat pada Maret 2022, persentase penduduk miskin di Aceh sebesar 14,64 persen atau 806.000 jiwa. Namun, pada September 2022, kemiskinan justru meningkat menjadi 14,75 persen atau 818.000 jiwa.
Hal ini jadi paradoks. Desa diberikan kewenangan mengelola dana yang besar dengan harapan kemiskinan menurun, tetapi ternyata kemiskinan di desa masih tinggi. ”Ini menandakan pemanfaatan dana desa belum maksimal,” kata Zulkifli.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, garis kemiskinan di Aceh Rp 617.293 per kapita per bulan atau Rp 7.407.517 per tahun. Jika seseorang tidak mampu memenuhi pendapatan minimum itu, maka disebut miskin.
Dari Rp 617.293 tersebut, 75,86 persen atau Rp 468.255 adalah kebutuhan makan dan 24,14 persen atau Rp 149.037 adalah kebutuhan non-makanan.
Baca juga: Wajah Aceh dalam Gelimang Dana Otonomi Khusus
Garis kemiskinan merupakan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Jika membandingkan nilai kerugian korupsi dana desa versi MaTA dengan garis kemiskinan dari BPS, maka Rp 5 miliar dapat mengeluarkan 674.000 jiwa dari garis kemiskinan atau 82,39 persen dari jumlah penduduk miskin saat ini.
”Maaf ya, jika mau mudah kita salurkan saja dana desa untuk penduduk miskin sesuai dengan garis kemiskinan maka turun juga angka kemiskinan,” ujar Zulkifli.
Namun, menurut Zulkifli, penyaluran bantuan tunai tidak akan membuat warga mandiri secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, dia mendorong dana desa kini prioritas untuk pengembangan ekonomi di akar rumput.
”Cara paling tepat mengeluarkan orang dari zona kemiskinan dengan menekan pengeluaran dan meningkatkan pendapatan,” ujar Zulkifli.
Menekan pengeluaran dapat dilakukan dengan penyaluran bantuan tunai langsung, sedangkan peningkatan pendapatan dengan pemberian modal usaha. ”Saya yakin kalau ini dilakukan secara baik dan didampingi maka kesejahteraan keluarga miskin akan meningkat,” kata Zulkifli.
Baca juga: Data Kemiskinan, Kemiskinan Data
SDM rendah
Zulkifli mengatakan, sumber daya manusia aparatur desa masih rendah sehingga kualitas program belum berkualitas. Lebih dari 70 persen aparatur desa lulusan sekolah menengah atas. Tingkat pendidikan berpengaruh pada kemampuan manajemen dan menyusun perencanaan.
Dia mengatakan, pembangunan fisik sudah harus mulai dikurangi dan meningkatkan program pemberdayaan ekonomi salah satu dengan membangun badan usaha milik gampong/desa (BUMG).
Saat ini, dari 6.496 desa baru ada 461 BUMG yang masuk kategori berkembang. Sisanya masih rintisan dan tumbuh. Semakin banyak BUMG, semakin banyak pula penyerapan tenaga kerja.
Di sisi lain, pengawasan dan bimbingan dari para pihak dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. ”Beberapa korupsi karena keliru dalam memahami aturan, tetapi ada juga karena faktor kesengajaan karena integritas rendah,” kata Zulkifli.
Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Aceh Muksalmina tidak menampik praktik korupsi dana desa masih terjadi, tetapi tidak masif.
Menurut dia, kontribusi dana desa untuk membangun kualitas hidup warga desa cukup besar. Pada periode awal penyaluran, dana desa 2015-2019 dominan untuk pembangunan fisik, infrastruktur dasar seperti sanitasi dan jalan desa. Namun, pada 2020-2022, dana desa direlokasi untuk penanggulangan pandemi Covid-19.
”Baru pada periode 2023-2004 fokus pada pemulihan ekonomi. Pandemi Covid-19 rintangan paling besar untuk membangun ekonomi di desa,” kata Muksalmina.
Muksalmina berharap dana desa tetap menjadi program nasional karena tidak sedikit desa mulai berkembang setelah adanya dana desa.
Kepala Desa Panca Kubu, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Mayasari, mengatakan, setelah pandemi Covid-19 berakhir, alokasi dana desa akan diprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraan warga, seperti program pertanian, sanitasi, dan kesehatan.
”Beberapa program pemberdayaan ekonomi yang kami lakukan seperti penanaman jagung, kacang panjang, dan peternakan. Ada juga program pembangunan sarana sanitasi,” kata Mayasari.
Tahun ini, Desa Panca Kubu memperoleh dana desa sebesar Rp 600 juta lebih. Menurut Mayasari, salah satu tantangan pengelolaan dana desa adalah rendahnya sumber daya manusia para aparatur desa.
Baca juga: Jumlah Penduduk Miskin di Aceh Singkil Tinggi, Kantong Utama di Perkebunan Sawit
Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Washliyah Banda Aceh, Fauza Andriyadi, menuturkan, secara aturan, dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks Aceh, Fauza menilai dana desa belum berhasil mengeluarkan warga desa dari lingkaran kemiskinan. Hal itu disebabkan partisipasi warga rendah, program hanya bersifat jangka pendek, dan pandemi Covid-19.
”Saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Gampong, warga tidak mau terlibat. Akibatnya, program tidak tepat sasaran,” kata Fauza.
Fauza mengamati pola pikir warga desa masih instan, misalnya saat ada bantuan banyak yang memperjualbelikan atau justru menggunakan untuk kegiatan konsumtif.
Di sisi lain, bantuan tanpa pendampingan dan peningkatan soft skill juga membuat mereka sukar berkembang. ”Bantuan ekonomi juga harus sesuai potensi ekonomi desa dan soft skill penerima manfaat,” ujar Fauza.
Menurut Fauza, masih ada waktu untuk mengelola dana desa dengan tepat sasaran agar warga benar-benar merasakan kesejahteraan.
Baca juga: Rawan Dikorupsi, Pengawasan pada Penggunaan Dana Desa Harus Diperkuat