Tekanan Hidup Dorong Maraknya Perilaku Main Hakim Sendiri
Seseorang yang diduga mencuri tewas setelah dikeroyok warga di beberapa daerah, salah satunya Blitar, Jatim. Masalah ekonomi dan ketidakpercayaan terhadap proses hukum jadi faktor pemicu.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Tekanan hidup, terutama kondisi ekonomi pada masyarakat kecil, menjadi salah satu penyebab timbulnya main hakim sendiri oleh sekelompok warga terhadap seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Aksi itu cukup marak akhir-akhir ini di sejumlah tempat dengan alasan yang hampir serupa.
Aksi terakhir terjadi di Kabupaten Blitar yang mengakibatnya tewasnya Dedi Riduan (29), warga Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur, yang dicurigai dan diduga hendak mencuri kambing.
Sebelum peristiwa terjadi, Dedi berada di dalam pekarangan (kandang kambing) warga di lingkungan Bendelaren, Kelurahan Bence, Kecamatan Garum, Kamis (4/5/2025) malam. Sesaat kemudian, pukul 23.45, korban dianiaya sejumlah orang di jalan desa setempat.
Berdasarkan penelusuran Kompas, main hakim sendiri terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, awal Mei lalu, yang mengakibatkan tewasnya Rahmat (40), warga Kampung Cicariang, Desa Sukamaju, Kecamatan Cikakak, yang dituding mencuri sepeda motor. Polisi menetapkan beberapa orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Main hakim sendiri juga terjadi di Ngetos, Kabupaten Nganjuk, 14 Maret lalu. Jamaludin (40), warga Desa Blongko, Kecamatan Ngetos, yang diketahui sebagai residivis, tewas dianiaya warga saat diduga mencuri kambing warga. Enam pelaku pengeroyokan kemudian ditahan oleh polisi.
Pakar Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Prija Djatmika, Minggu (7/5/2023) malam, mengatakan, maraknya aksi main hakim bisa disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat bawah. Baik pelaku pencurian maupun pihak yang punya barang sama-sama masyarakat bawah yang kehidupannya sehari-harinya susah.
”Karena mengalami tekanan hidup, buat makan sudah sulit lalu dicuri lagi, sehingga mereka emosional dan menyalurkannya melalui kekerasan,” ujarnya.
Menurut Prija, main hakim sendiri biasa terjadi di masyarakat menengah ke bawah. Kalau di masyarakat kelas atas, misalnya di perumahan elite, tidak terjadi karena pendidikan dan kesadaran hukum mereka juga tinggi. Ekonomi warga juga tidak seberat mereka yang ada di bawah.
Selain ekonomi, masalah lain yang menjadi pemicu adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses atau aparat hukum. Mereka menilai jika diproses hukum, sanksi terhadap pelaku terlalu ringan.
Karena mengalami tekanan hidup, buat makan sudah sulit lalu dicuri lagi, sehingga mereka emosional dan menyalurkannya melalui kekerasan.
Menurut Prija, kasus penganiayaan itu harus diproses hukum. Aturannya ada di Pasal 170 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) soal kekerasan di tempat terbuka yang dilakukan secara bersama-sama terhadap orang atau barang, atau Pasal 353 juncto Pasal 55 KUHP, bersama-sama menganiaya orang sampai mati.
Kepolisian Resor Blitar telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam peristiwa ini. Mereka adalah Sholikin (31), Aris Prasetyo (23), Khoirul Huda (24), dan Rendi DA (18). Semua tersangka tinggal di lingkungan Bendelaran.
Kepala Polres Blitar Ajun Komisaris Besar Anhar Arlia Rangkuti dalam keterangan tertulis, Minggu, mengatakan, para tersangka diduga melakukan pengeroyokan karena merasa emosi saat mendengar teriakan warga yang memergoki seseorang yang diduga hendak mencuri.
”Korban diketahui berada di dalam pekarangan milik orang lain yang berhasil ditangkap warga dan dilakukan pengeroyokan,” ujarnya.
Akibat pengeroyokan itu, Dedi mederita luka di bagian kepala belakang dan lengan kanan. Korban meninggal saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit.
Para tersangka dijerat Pasal 170 Ayat 2e juncto Pasal 351 Ayat 3 KUHP yang berbunyi, barang siapa di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang yang menyebabkan matinya orang dan barang siapa melakukan penganiayaan yang menyebabkan matinya orang.