Anak Perempuan di Sidoarjo Kian Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual Ayah Sendiri
Dua pelaku kekerasan seksual terhadap anak sendiri diringkus. Mereka tega berbuat asusila karena dorongan nafsu. Kejadian itu menunjukkan tingginya tingkat kerentanan perempuan dan anak dalam kasus kekerasan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Kepolisian Resor Kota Sidoarjo, Jawa Timur, meringkus dua pelaku kekerasan seksual terhadap anak sendiri. Mereka tega berbuat asusila karena dorongan nafsu. Kejadian itu menunjukkan tingginya tingkat kerentanan perempuan dan anak dalam kasus kekerasan sekaligus mengingatkan perlunya penguatan kembali upaya perlindungan terhadap kelompok rentan di masyarakat.
Dua pelaku kekerasan terhadap anak ditangkap secara terpisah. Pelaku pertama adalah AE (52), penghuni kamar kos di Desa Bungurasih, Kecamatan Waru. Lelaki pendatang yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir ini tega mencabuli anak kandungnya sendiri, M (14), sejak Februari 2019.
Semenjak ibunya meninggal dunia pada 2019, korban tinggal bersama ayahnya di sebuah kamar kos di Sidoarjo. Naas, alih-alih mendapat perlindungan dari orangtuanya, korban justru menjadi sasaran pelampiasan perbuatan tercela.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, korban mendapat perlakuan cabul sejak berusia 11 tahun atau selama lebih kurang empat tahun belakangan. Pelaku memanfaatkan ketidakberdayaan korban sebagai anak yatim.
Kepala Polresta Sidoarjo Komisaris Besar Kusumo Wahyu Bintoro mengatakan, perbuatan tercela AE terbongkar setelah korban berhasil kabur dari tempat kosnya. Korban lantas melapor ke perangkat desa setempat. Laporan tersebut kemudian diteruskan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Sidoarjo.
”Tindakan kekerasan seksual itu juga disertai dengan memukul korban. Pelaku juga mengancam korban apabila menceritakan kepada orang lain,” ujar Kusumo.
Korban kabur dari tempat kosnya pada 11 Februari 2023. Sementara itu, pelaku berhasil ditangkap pada 3 Maret 2023 di Waru. Pelaku langsung ditahan untuk memudahkan proses hukum. Adapun korban saat ini berada dalam perlindungan petugas karena masih anak-anak.
Pada saat bersamaan, Polresta Sidoarjo juga menangkap HK (49), warga Kecamatan Tarik, Sidoarjo, karena tega mencabuli anak tirinya, W (16), yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Perbuatan keji itu dilakukan sejak Juli 2019 sehingga korban mengalami trauma secara fisik dan psikis.
Apalagi, pelaku juga kerap mengikat tangan korban dan mengancam tidak memberikan uang saku. Perkara tindak pidana kekerasan seksual itu terbongkar setelah korban memberanikan diri melapor kepada ibu kandungnya, 12 Februari 2023.
Korban lantas diperiksakan ke puskesmas setempat. Setelah itu, ibu korban melaporkan pelaku ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reskrim Polresta Sidoarjo. Pelaku berhasil ditangkap lima hari kemudian dan saat ini berada dalam tahanan.
Kepala Sub-Bagian Humas Polresta Sidoarjo Ajun Komisaris Tri Novi Handoko menambahkan, dua pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak terus diproses hukum. Mereka dikenai Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2022 tentang Perlindungan Anak.
”Dua pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut terancam hukuman selama 20 tahun penjara,” ucap Novi.
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali telah membentuk Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak untuk menekan kasus kekerasan fisik, psikis, dan seksual di wilayahnya. Satgas ini melibatkan berbagai instansi untuk mempermudah dan mempercepat proses penanganan. Selain itu, mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.
”Sosialiasi dan edukasi harus lebih digencarkan untuk mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujar Muhdlor.
Peristiwa di Sidoarjo menambah panjang daftar kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Provinsi Jawa Timur. Sebelumnya, dua siswi sekolah menengah pertama (SMP) di Surabaya menjadi korban pemerkosaan oleh orang yang dikenal lewat media sosial.
Korban pertama adalah M (15), warga Bubutan, yang berstatus siswi kelas 8 salah satu SMP negeri di Surabaya. Dia diperkosa oleh tiga pemuda pada Desember 2022, tetapi kasusnya baru terungkap 22 April 2023. Korban mengenal pelaku lewat media sosial, kemudian berkomunikasi hingga bertemu langsung.
Korban kedua berusia 13 tahun, warga dan siswi kelas 7 SMP negeri di Surabaya Barat. Modus kekerasan seksual yang dialami korban hampir mirip, yakni kenal pelaku lewat media sosial, kemudian dilanjutkan dengan bertemu langsung. Dalam pertemuan itu korban diajak jalan-jalan ke luar kota dan diperkosa.
Sementara itu, dalam upaya meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan, Pemerintah Provinsi Jatim telah meresmikan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) di Jalan Raya Arjuno Nomor 88 Surabaya, pada Minggu (30/4/2023).
UPT tersebut merupakan yang terbesar di Jatim dan menyediakan beragam jenis pelayanan dengan konsep one stop service. Setidaknya terdapat 11 layanan utama untuk korban kekerasan perempuan dan anak. Hal itu sesuai dengan amanah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 Bab 6 Pasal 76 Ayat 3.
Layanan tersebut meliputi penerimaan laporan dan penjangkauan, pemberian informasi tentang hak korban, fasilitasi pemberian layanan kesehatan, penguatan psikologi, layanan psikososial, rehabilitasi sosial, serta pemberdayaan sosial dan reintegrasi sosial. Selain itu, ada layanan hukum, identifikasi kebutuhan pemberdayaan ekonomi, identifikasi kebutuhan penampungan korban dan keluarga korban, serta fasilitasi kebutuhan korban penyandang disabilitas.
”UPT memperkuat koordinasi dengan lembaga lain untuk memberikan layanan terbaik bagi korban. Untuk itu, saya mengajak semua pihak untuk memberikan penguatan secara maksimal,” kata Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Khofifah menambahkan, UPT PPA DP3AK Provinsi Jatim memiliki kapasitas rumah aman hingga 20 orang, ruang konsultasi hukum dan psikologis, ruang terapi anak, ruang case conference atau ruang rapat, akses khusus bagi penyandang disabilitas, dan berbagai kelas pelatihan untuk pemberdayaan perempuan.
Khofifah mengatakan, perempuan dan anak harus dilindungi agar tidak menjadi korban kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Namun, apabila mereka menjadi korban, harus mendapatkan penanganan terbaik untuk mempercepat proses pemulihan secara fisik ataupun psikis.