AICIS Dorong Reaktualisasi Fikih untuk Kemanusiaan
Konferensi Internasional Tahunan dalam Studi Islam atau AICIS 2023 di Surabaya, Jawa Timur, ingin terus mendorong reaktualisasi fikih untuk kemanusiaan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Konferensi Internasional Tahunan dalam Studi Islam (AICIS) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, 2-5 Mei 2023, ingin terus mendorong reaktualisasi fikih atau ilmu tentang hukum Islam untuk kemanusiaan.
Kalangan cendekia Islam prihatin dengan konflik berlatar agama yang merendahkan kemanusiaan. Konflik bisa dicegah jika dunia menerima pandangan keagamaan dan keyakinan secara inklusif untuk penghormatan terhadap kemanusiaan. Dalam Islam, fikih perlu terus bukan sekadar aktualisasi, melainkan juga reaktualisasi sehingga relevan dan menjawab berbagai persoalan kemanusiaan.
Misalnya prinsip kesetaraan dalam sesi pembahasan, Kamis (4/5/2023). Menurut Prof Siti Aisiyah, Guru Besar UIN Alauddin, Makassar, Al Quran dan hadis menjunjung kesetaraan manusia. Perbedaan suku, agama, ras, antargolongan (SARA) merupakan keniscayaan, sunatullah, sebagai keunikan yang menjadi fondasi persatuan dan kesatuan. ”Perbedaan itu biasa, tidak perlu pembedaan,” katanya.
KH Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Asembagus, Situbondo, Jatim, mengatakan, Islam menempatkan orang alim dan saleh pada posisi yang lebih tinggi daripada orang bernasab. Seseorang dari kaum miskin setara dengan keturunan bangsawan sebagai manusia. Orang alim dimuliakan karena watak, sikap, dan perilaku hidup baik kepada sesama.
Dalam konteks kemanusiaan itulah, lanjut peneliti fatwa Universitas Al Azhar, Mesir, Muhammad Al Marakiby, pemahaman fikih perlu terus didorong untuk kerukunan umat. Perlu ditekankan bahwa kerukunan akan terwujud dengan penegakan keadilan. ”Bukan sekadar untuk umat Islam, melainkan juga seluruh manusia,” katanya.
Marakiby melanjutkan, keadilan yang harus tegak bukan bersifat pribadi, melainkan sosial. Keadilan sosial hanya bisa terwujud jika umat Islam mau merangkul sesama manusia untuk mencari solusi berbagai masalah kehidupan. Pelibatan manusia tanpa mempertimbangkan SARA merupakan jalan untuk kehidupan hamonis dan damai. ”Solusi kehidupan bukan sekadar untuk umat Islam, melainkan juga mencakup seluruh umat,” ujarnya.
Dalam sesi lainnya, Usama Al Sayyid Al Azhary, ulama dan cendekia ushuluddin Al Azhar, Mesir, mengatakan, dalam praktik kehidupan umat Islam terus diwarnai perdebatan dalam perkara kecil, yakni bolehkah memberi ucapan selamat hari raya keagamaan bagi umat lainnya. ”Boleh mengucapkan selamat hari raya keagamaan kepada umat lainnya,” ujarnya,
Al Sayyid melanjutkan, larangan atau anjuran agar tak memberikan ucapan selamat atau menerima ucapan dari umat lainnya tidak bermanfaat bagi kemanusiaan. Ucapan selamat berdampak positif yang lebih luas dalam kehidupan manusia yakni mendorong keharmonisan. ”Zaman dahulu ada larangan itu karena situasi perang (agama). Tetapi sekarang zaman berubah, sudah damai sehingga demi kedamaian hidup tentu dibolehkan memberikan ucapan selamat kepada umat lainnya,” katanya.
Dari contoh itu, fikih sepatutnya dipahami secara utuh dan inklusif sehingga luwes dalam merespons dan menjawab berbagai persoalan hidup di masyarakat. Rekontekstualisasi fikih dapat memberikan sinar terang bagi dunia bahwa Islam hadir untuk kebaikan manusia atau kemanusiaan.
Saat pembukaan AICIS, Selasa (2/5/2023) malam, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, reaktualisasi fikih dan hukum agama perlu terus didorong untuk harmonisasi kehidupan. Dunia masih berada di ambang kekacauan akibat perang termasuk berlatar SARA, resesi, kelangkaan energi dan pangan, kelaparan, dan kehancuran alam.
”Mari kembali melihat agama sebagai sumber ajaran mulia untuk kebajikan dan menjadi berkah bagi semua,” kata Yaqut. Dalam agama Islam, ada yang tetap atau ats-tsaabit, tetapi ada yang berubah atau al-mutahawwil.
Akidah, hukum, tata cara shalat, puasa, zakat, haji merupakan contoh yang tetap. Namun, perubahan bisa mencakup dalam harta yang wajib untuk zakat, mahram dalam haji. Fikih merupakan produk ijtihad ulama yang bersifat dinamis sehingga bisa mendorong perubahan untuk menjawab beragam persoalan kehidupan.
”Beranikah ulama dan kampus mengubah paradigma bahwa fikih bukan teks suci yang sakral sehingga perlu aktualisasi dan reaktualisasi agar terus relevan,” kata Yaqut.
Guru Besar UIN Sunan Ampel sekaligus Ketua Panitia AICIS 2023 Khoirun Niam menambahkan, panel-panel pembicaraan selama konferensi dibagi dalam 10 subtema, antara lain, fikih dalam konteks anti-kekerasan, kebijakan publik, minoritas, jender, dan disabilitas, ekonomi, pendidikan, dan literasi. Selama konferensi ada 180 panelis yang 40 panelis utusan jurnal studi keagamaan Islam yang terindeks SCOPUS. Ada 13 pembicara undangan khusus yang delapan di antaranya dari mancanegara.
”Tema fikih dalam AICIS 2023 lebih spesifik dan membumi sehingga diharapkan memberikan kontribusi positif dalam kehidupan umat,” kata Khoirun.