Pindah ke Kota untuk Perbaiki Hidup
Sudah sejak lama Jakarta bukan lagi tujuan utama orang mencari penghidupan yang lebih baik. Magnet bagi pendatang itu kian kuat dipancarkan banyak kota lain di Indonesia, di antaranya Surabaya, Depok, dan Deli Serdang.
Dwi Setiyono (45) masih mengingat peristiwa seperempat abad lalu saat meninggalkan rumah orangtua di Madiun untuk bekerja dan kuliah di ibu kota Jawa Timur, Surabaya. Sejak itu, Surabaya menjadi kota tempat ia hidup dan berkeluarga.
Mengapa Surabaya? Sederhana bagi Dwi. Di sinilah gula ekonomi terbesar setelah ibu kota negara di Jakarta.
”Di usia 25 tahun, saya lulus kuliah dan syukurlah karena mendapat pekerjaan formal di perusahaan,” ujar Dwi, Minggu (30/4/2023).
Ditanya sebesar apa upah yang diterima dari perusahaan, Dwi mengatakan, hampir tiga kali lipat upah minimum kota yang Rp 4,252 juta. Upah, tunjangan, dan terkadang ditambah honor lembur cukup untuk menghidupi dua anak. ”Cicilan rumah dan kendaraan (mobil) sudah selesai,” ujarnya.
”Peluang kerja di Surabaya masih jauh lebih baik daripada di Madiun. Selain itu, layanan pendidikan, kesehatan, dan situasi sosialnya saya rasa terbaik di Jatim,” katanya.
Baca juga: Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
Pendapat Dwi tak jauh berbeda dengan Fandi MF (27), lelaki asal Klaten di Jawa Tengah yang memilih menetap di Kota Depok, Jawa Barat. Seusai mudik Lebaran, sejak Senin (1/5/2023), Fandi sudah kembali ke pekerjaannya sebagai barista dan mekanik laptop dan komputer di Depok. Ia menekuni kesehariannya itu sejak 8 tahun lalu atau setelah lulus kuliah di kota yang sama.
Fandi tak memungkiri, pilihannya bekerja di Depok karena faktor ekonomi. Kota Depok banyak ditinggali mahasiswa dan para pekerja yang menciptakan peluang usaha baginya. Berpenghasilan Rp 8 juta per bulan, Fandi percaya diri akan kelangsungan hidupnya di kota tersebut. Ia telah berencana meminang kekasih hatinya dan membeli rumah di Depok.
Tak hanya di Jawa, kota di luar Jawa pun kini kian memancarkan pesonanya bagi mereka yang ingin mencoba peruntungan nasib di luar kampung halaman.
Sofyan Lubis (29) sudah hampir empat tahun bekerja sebagai analis di laboratorium bahan pakan di sebuah pabrik pakan ternak di Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara. Dia pendatang dari Kota Padang Sidempuan. ”Saya datang ke Deli Serdang untuk mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik,” katanya, Selasa (2/5/2023).
Vinsen Simarmata (21), pendatang lain di Deli Serdang, sementara ini puas menjadi buruh harian lepas di sebuah pabrik plastik di Kawasan Industri Medan, Kecamatan Percut Sei Tuan. Dia datang dari Kabupaten Tapanuli Utara setelah lulus SMA. Menurut dia, kalau di kampung halaman, ia hanya bisa sebagai buruh tani. Di Deli Serdang, pendapatan sebagai buruh harian lepas lebih besar dan bisa untuk membantu keluarga di kampung.
Pusat ekonomi
Indonesia yang begitu luas terbentang dalam gugusan pulau demi pulau dari Sabang sampai Merauke memang membutuhkan banyak pusat pertumbuhan ekonomi demi pemerataan kesejahteraan. Denyut Jakarta, misalnya, banyak memengaruhi Indonesia bagian barat dan tengah. Surabaya dengan 3 juta jiwa dari 40 juta populasi warga Jatim adalah jantung kedua Indonesia yang memengaruhi bagian tengah sampai timur negeri ini.
Di Jatim terdapat 38 kabupaten/kota. Kawasan megapolitan Surabaya Raya (Surabaya, Gresik, Sidoarjo) sudah menopang separuh kekuatan ekonomi Jatim.
Meski lebih dari separuh industri manufaktur telah berpindah dari Surabaya ke Sidoarjo, Gresik, Pasuruan, Lamongan, Mojokerto, Jombang, atau lebih jauh lagi, Bumi Pahlawan memegang kendali atas distribusi ke Nusantara dan dunia melalui Pelabuhan Tanjung Perak. Upah di Surabaya 2,1 kali lipat daripada Sampang. Disparitas ini amat lebar sehingga menjadi daya pikat Surabaya sebagai tujuan migrasi dan pusat urbanisasi Jatim.
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Nuraeni Widayatti, menambahkan, migrasi warga ke kota atau kawasan yang lebih besar tidak terhindarkan karena faktor ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan lainnya.
Begitu pula dengan Kota Depok yang termasuk kota tujuan pendatang dari sejumlah daerah. Para pendatang itu ada yang bekerja di Jakarta, lalu mencari rumah di daerah terdekat ibu kota, termasuk Kota Depok. Juga ada pencari pekerjaan di kota ini, hingga lulusan mahasiswa dari daerah yang memilih menetap untuk mencari peluang rezeki.
Berdasarkan data pada 2022, tercatat ada 45.132 orang pindah datang ke Kota Depok. Yang pindah datang ke Kota Depok itu merupakan warga berkartu tanda penduduk (KTP) Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan kota-kota lainnya.
Mirip dengan Depok, Deli Serdang menawan bagi para pendatang karena faktor kedekatan dengan kota induk, yaitu Medan. Selain itu, Deli Serdang berada dalam satu wilayah aglomerasi Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo (Mebidangro) yang berarti memiliki fasilitas publik, seperti layanan kesehatan hingga pendidikan lebih maju dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera Utara.
Baca juga: Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi
Dekat dengan kawasan industri dan banyak celah usaha seiring urbanisasi di Mebidangro, Deli Serdang menjadi salah satu daerah dengan upah minimum kabupaten tertinggi di Sumut, yakni Rp 3,4 juta pada 2023, sedikit di bawah Kota Medan yang mencapai Rp 3,6 juta.
Tidak bisa lagi dan janganlah mengadu nasib (ke kota) hanya bermodal nekat.
Jangan nekat
Wali Kota Depok Mohammad Idris mengatakan, urbanisasi tentu menjadi tantangan yang harus dihadapi setiap daerah atau kota-kota besar. Pemerintah memiliki tugas ganda untuk mengurus warganya sekaligus tetap memperhatikan para pendatang.
Pendapat serupa dilontarkan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Peluang kerja di Surabaya terbuka lebar mengingat keberadaan setidaknya 10.000 usaha formal dan 60.000 usaha mikro, kecil, menengah (UMKM). Meski secara statistik peluang itu tampak begitu besar, secara alamiah ada proses seleksi dan persaingan.
Peluang menuntut seseorang bermodal pendidikan, keterampilan, dan keahilan atau kompetensi sehingga diharapkan mendapat apresiasi berupa upah yang memadai untuk penghidupan.
”Tidak bisa lagi dan janganlah mengadu nasib (ke kota) hanya bermodal nekat,” kata Eri.