Merdu Suara Remaja Difabel di Cirebon Hibur Pemudik
Vokal Halimah Rolobessy (15), difabel netra, turut membuka mata pemudik di Stasiun Cirebon, Jawa Barat. Duduk di atas kursi roda, Katon Wiranata Abimanyu (17) juga memainkan keyboard dengan lincah dengan satu tangan.
Vokal Halimah Rolobessy (15), difabel netra, turut membuka mata pemudik di Stasiun Cirebon, Jawa Barat. Sejumlah penumpang pun melangkahkan kakinya menuju Halimah dan Katon Wiranata Abimanyu (17), yang bermain keyboard di atas kursi roda. Inilah suara kesetaraan.
Remaja difabel ini pentas di ruang tunggu stasiun, Senin (24/4/2023). PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 3 Cirebon mengundang keduanya untuk menghibur pemudik yang ingin pulang, sekaligus memeriahkan peluncuran pojok usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Lewat nada tinggi, Halimah, yang tidak bisa melihat, menyapa pendengarnya. Mengenakan batik hijau, jilbab hijau toska, dan rok hitam, anak keturunan Ambon, Maluku Utara, ini tampil bak penyanyi terkenal. Apalagi, saat ia membawakan lagu “Tak Ingin Usai” dari Keisya Levronka.
Baca juga: Penyandang Difabel Netra Masih Temui Kendala Ketika Mengakses Pelayanan Perbankan
Suara falsetto Halimah pun keluar saat menyanyikan lagu Mahalini berjudul “Kisah Sempurna”. Siswi Sekolah Luar Biasa Beringin Bhakti Cirebon ini juga mahir melantunkan lagu vokalis pria, seperti Tulus dengan Hati-hati di Jalan atau Karena Wanita Ingin Dimengerti dari Ada Band.
Aksi Katon tidak kalah memukau. Tangan kirinya bak menari di atas tuts keyboard. Cerebral palsy, yakni gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh, telah membuat tangan kanan serta kedua kakinya tidak berfungsi maksimal. Koko, sapaannya, harus menggunakan kursi roda.
Meski demikian, musik Koko mampu mengiringi suara Halimah. Sejumlah calon penumpang pun beranjak untuk merekam aksi keduanya. Mengenakan baju batik megamendung, motif khas Cirebon, serta iket batik di kepalanya, ia sesekali melempar senyum kepada pengunjung.
Tidak jarang, calon penumpang ikut berdendang. Tepuk tangan tanda apresiasi pun terdengar setiap keduanya menuntaskan lagu. “Senang banget. Ini pertama kali saya tampil di stasiun. Padahal, kami enggak sempat latihan,” ucap Halimah diiringi senyum.
Asih Kurniasih (47), ibu Halimah, menuturkan, anaknya sudah menantikan pentas di stasiun sejak diajak pekan sebelumnya. Ini adalah kali kedua anaknya mampir ke stasiun. Beberapa tahun lalu, Halimah bersama rekannya di SLB juga naik kereta menuju Kota Tua di Jakarta.
Bagi Asih, pentas kali ini turut menambah rasa percaya diri Halimah. Apalagi, anaknya kadang merasa minder. “Dia dibilangin buta, enggak lihat. Kalau ada yang ngomong begitu, dia nangis aja. Saya bilang, jangan gitu. Allah menciptakan semua (orang) itu ada kelebihannya,” ujarnya.
Halimah terlahir prematur di usia enam bulan dengan berat badan tergolong rendah, hanya 1,3 kilogram. “Dokter waktu itu memprediksi (usianya) hanya bebrapa jam. Ini sangat berat bagi kami. Apalagi, dia anak pertama. Tapi, alhamdulillah, anak saya panjang umur,” kenangnya.
Akan tetapi, di usia dua bulan, Halimah menunjukkan perilaku yang berbeda. Saat Asih memberikan mainan, matanya tidak mengikutinya. Asih lalu membawanya ke rumah sakit di Cirebon dan Bandung. Diagnosa dokter sama, retina di kedua mata anaknya tak bisa melihat.
Sempat tak terima
“Saya langsung pingsan di situ. Saat pulang ke rumah, suami saya sempat enggak terima (Halimah difabel netra). Dia bertanya, kenapa, kenapa, kenapa?” ungkap Asih. Kala itu, ia tak bisa menjawab, hanya meneteskan air mata. Dalam kesedihannya, ia terus menjaga Halimah.
Ketika berusia tujuh tahun, bakat Halimah mulai tampak. Setiap mata pelajaran kesenian, ia kerap diminta bernyanyi di depan para murid dalam kelas. Meski tidak bisa melihat, ia cepat menangkap musik dan lirik, apalagi dangdut dan tarling – gitar suling – musik khas Cirebon.
Halimah yang belajar secara otodidak pun menuai sederet prestasi. “Dia pernah juara pertama menyanyi di festival seni SLB tingkat kabupaten. Dia juga pernah juara satu lomba MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) di SLB dan juara dua tingkat Cirebon,” ujar Asih.
Telepon pintar dari Menteri Sosial Tri Rismaharini serta musik boks hadiah lomba, lanjutnya, membantu anaknya belajar menyanyi dan mengaji. Sejak tahun lalu, Halimah berjumpa dengan Katon di sebuah acara Dinas Sosial Kota Cirebon. Keduanya pun sepakat berduet.
Mereka tampil di acara sekolah, hajatan, hingga kegiatan pemerintah. Bagi Asih, Halimah yang memiliki keterbatasan justru menjadi harapan keluarga. Terlebih sejak suaminya menderita stroke beberapa tahun lalu. Kerjaan suaminya sebagai satpam di Jakarta pun ditinggalkan.
“Jalannya saja diseret. Untuk biaya sekolah anak-anak, ada keluarga yang bantu. Saya juga nganterin kerabat, jadi ojek. Alhamdulillah, ada buat jajan anak,” kata ibu tiga anak ini. Cobaannya kian berat ketika empat tahun lalu, Asih mengetahui dirinya menderita kanker.
“Tapi, kondisi saya baik. Halimah juga jadi kekuatan untuk saya. Syukur, dia bisa (pentas) ke mana-mana. Yang penting saya sehat. Jadi, bisa ikutin dia,” ujar Asih sembari menyeka bulir air di matanya. Sebagai ibu, ia ingin tetap mendukung keinginan Halimah menjadi penyanyi.
Tidak gagal
Anna Liana (64), nenek Koko, juga tak henti berjuang untuk cucunya pertamanya. Koko lahir prematur di usia 6 bulan dan sempat menjalani perawatan di inkubator selama 23 hari. Ketika teman-temannya sudah bisa berlari, Koko belum bisa berjalan. Kedua kakinya lumpuh.
Belakangan, Koko didiagnosa mengalami cerebral palsy. Keluarganya syok. Bahkan, ibunya sempat jatuh di kamar mandi. Di tengah kekalutan itu, Koko yang masih berusia sekitar 5 tahun memencet tuts piano kecil. Anna lalu menangkap potensi cucunya di bidang musik.
Selain menjalani terapi, Koko juga mulai belajar keyboard di sebuah tempat les di Solo, Jawa Tengah, saat usianya sekitar 8 tahun. “Kalau punya anak difabel memang harus ekstra kerja keras dan sabar. Kita harus cari dia minatnya di mana. Dia jangan dipaksa,” ungkap Anna.
Kini, Koko punya jam terbang di berbagai acara di dalam dan luar Cirebon. Ia juga tergabung dalam SurGa Music, band yang sejumlah anggotanya difabel. Bahkan, Koko pernah mengiringi Tantri, vokalis band Kotak, serta bertemu dengan David Albert, keyboardis band Noah.
“Saya percaya, produk (ciptaan) Allah itu tidak ada yang gagal. Kita lahir tidak bisa memilih, mau difabel atau tidak, miskin atau kaya. Waktu Koko dan Rere, adiknya yang tunarungu, lahir, saya dapat berkah. Dari hanya marketing, saya sekarang kelola perumahan 1 hektar,” ujarnya.
Koko bersyukur mendapat dukungan penuh dari keluarga dan berbagai pihak untuk mengembangkan potensinya. Ia juga mengapresiasi fasilitas publik yang mulai memperhatikan difabel. “Aksesnya sudah bagus. Di Stasiun Cirebon, ada parkir khusus difabel,” ucapnya.
Koko yang pernah naik kereta dari Solo ke Cirebon juga senang ketika diberikan kesempatan pentas di stasiun. “Di sini, lebih bisa mengeksplore lagu. Kalau di acara lain, enggak boleh banyak lagu. Semoga ada lagi acara di stasiun,” kata Koko yang tampil empat kali di stasiun.
Vice President PT KAI Daop 3 Cirebon Takdir Santoso mengatakan, acara pentas musik difabel itu untuk menunjukkan bahwa stasiun telah ramah difabel. Pihaknya juga menggelar pameran lukisan karya Rafi Athallah Irmawan, remaja autistik, selama arus mudik dan balik Lebaran.
Pihaknya berkomitmen, akan melibatkan komunitas difabel dalam sejumlah kegiatan. Dengan begitu, penumpang dapat mengetahui keahlian para difabel di Cirebon. “Stasiun merupakan titik temu dari berbagai kalangan. Jadi, potensi untuk memperkenalkan itu semakin banyak,” ujarnya.
Merci Sitorus (40), penumpang kereta api, takjub dengan penampilan Halimah dan Katon. Ia pun merekam aksi mereka di gawainya. “Ini jadi motivasi dan inspirasi bagi kita. Bahwa, kita semua sama-sama punya potensi, termasuk yang difabel. Artinya, tidak ada perbedaan,” ujarnya.
Baca juga: Dendang-dendang Kesetaraan