Penyandang Difabel Netra Masih Temui Kendala Ketika Mengakses Pelayanan Perbankan
”Banyak tunanetra yang tidak diperbolehkan membuat rekening di cabang dan bank lain. Makanya butuh pengawasan dan standar pelayanan yang sama untuk para disabilitas,” kata penyandang disabilitas netra, Mardi Haryanto.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Manajemen perbankan sebaiknya menyusun protokol layanan ramah disabilitas yang mudah diimplementasikan hingga ke unit-unit pelayanan jasa perbankan terkecil. Hal ini bertujuan untuk mencegah ada penyandang difabel yang tidak dapat mengakses layanan perbankan karena petugas belum memahami protokol layanan ramah disabilitas.
Saat membuat rekening baru di Kantor Cabang Bank Syariah Indonesia (BSI) Universitas Mercu Buana, Jakarta Barat, Senin (2/1/2023), penyandang difabel netra, Eka Setiawan, terkendala dua hal. Petugas bank meminta Eka membawa pendamping dan dia pun tidak dapat menggunakan fitur layanan perbankan mobil (mobile banking/m-banking).
”Pada Jumat (30/12/2022), saya diminta membawa pendamping. Saya menolak karena merasa hak privasi saya terganggu. Akhirnya hari ini pihak bank mau memproses rekening saya. Namun, tadi terkendala ketika hendak membuat m-banking, fitur potret wajah tidak bisa menangkap dan mendeteksi wajah saya,” ujarnya.
Sejak kecil, Eka sudah tunanetra. Ia dapat berbincang dan mendengarkan orang dengan baik, tetapi bola matanya tidak bisa fokus menatap suatu obyek. Ketika ia diminta pihak bank berkedip, ia mempraktikkan dan menanyakan kepada pihak bank apakah caranya sudah benar.
”Saya diminta tersenyum, tetapi sejak kecil saya tidak tahu tersenyum itu seperti apa,” sebut Eka
Petugas memberi arahan Eka untuk menarik bibirnya, seperti tertawa tanpa terlihat gigi. Eka sudah mencobanya tetapi tetap tidak bisa terdeteksi pada fitur potret wajah m-banking.
Alhasil, dalam mengurus rekening ini, ia hanya mendapat buku tabungan dan kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Adapun fitur m-banking belum bisa digunakan karena kendala verifikasi wajah.
Menurut Eka, m-banking akan sangat membantu pembayaran untuk berbagai hal. Gawai Eka juga telah terpasang fitur talkback atau pembaca layar bawaan yang bisa menyuarakan isi pesan bagi para penyandang disabilitas netra.
Standar keamanan
Kepala Kantor Kas BSI Mercu Buana Ahmad Fauzi mengatakan, penggunaan fitur deteksi wajah ini merupakan bagian dari petunjuk operasional teknis (PTO) BSI bagi para penyandang disabilitas. Ahmad mengakui standar keamanan ini tidak hanya digunakan di BSI saja, tetapi juga bank-bank lain sebagai pengamanan akun.
”Kemarin Jumat, Pak Eka ke sini untuk membuat rekening baru, kemudian saya diskusikan dulu dengan beberapa pihak internal karena ada tahap yang perlu dilalui. Hari ini kami proses pembuatan rekeningnya, tetapi m-banking belum bisa,” sebut Ahmad.
Berbeda dengan Eka, penyandang difabel netra lain, Mardi Haryanto, menceritakan, dia tidak ada kendala yang berarti ketika mengakses layanan perbankan. Ia memiliki fitur m-banking kedua, yaitu Bank Nasional Indonesia (BNI) dan BSI yang sama-sama dibuat pada pertengahan 2021.
Seingatnya, selama mengurus m-banking, ia tidak diminta potret atau deteksi wajah. Mardi mengaku kantor bank tempat ia mengurus rekening juga terbuka dan akomodatif terhadap penyandang disabilitas, seperti di BSI Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur. Banyak penyandang difabel netra mengurus rekening di bank ini karena dekat dengan Panti Sosial Bina Netra dan Rungu Wicara Cahaya Bathin Cawang.
”Saya merasakan layanan yang berbeda di tempat saya mengurus rekening BNI dan BSI. Aksesabilitas penyandang disabilitas terhadap layanan perbankan memang bergantung pada layanan setiap bank dan cabang. Banyak teman tunanetra yang bahkan tidak diperbolehkan membuat rekening di cabang dan bank lain. Kasus seperti ini sering saya dengar, makanya butuh pengawasan dan standar pelayanan yang sama untuk para disabilitas,” ungkap Mardi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan petunjuk teknis operasional (PTO) untuk pelayanan keuangan kepada penyandang disabilitas. PTO ini berfungsi sebagai standar pelayanan para pelaku usaha jasa keuangan, seperti bank dan lembaga keuangan terhadap nasabah disabilitas. Beberapa layanan yang diatur untuk penyandang disabilitas seperti pelayanan jasa keuangan, infrastruktur, serta dokumen fisik dan digital.
PTO ini menyebut bahwa tidak semua nasabah disabilitas membutuhkan pendamping. Mereka dianggap mampu mengambil keputusan mandiri apabila memiliki identitas yang jelas, cakap secara hukum, dan memiliki kemampuan intelektual yang memadai. Adapun disabilitas intelektual dan disabilitas berat masuk dalam kriteria nasabah yang perlu mendapatkan pendampingan khusus.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, dalam kesempatan terpisah, mengakui fitur deteksi wajah yang ada memang masih memiliki banyak keterbatasan. Namun, bukan berarti masalah ini ditemui di seluruh bank, tergantung adopsi teknologi dan kebijakan keamanan yang diambil masing-masing bank.
”Seiring dengan berkembangnya teknologi, fitur-fitur yang ramah disabilitas juga akan diadopsi bank-bank di Indonesia pada m-banking mereka. OJK akan melakukan pengawasan dan evaluasi atas kematangan digitalisasi suatu bank, seperti yang tertera pada cetak biru transformasi digital perbankan. Dalam hal ini pelayanan bank terhadap penyandang disabilitas juga akan dinilai,” tambahnya.