Alam bahari Batam menjadi habitat siput gonggong yang jarang ditemukan di tempat lain. Hidangan gonggong rebus yang sederhana kini tumbuh menjadi ikon kuliner dan budaya bahari di kota itu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Bak lampu yang dikerubungi laron, rumah makan boga bahari atau seafood di Kampung Tua Mentarau di pesisir utara Pulau Batam, Kepulauan Riau semakin ramai seiring tenggelamnya matahari. Para pelayan mondar-mandir mencatat pesanan puluhan pelanggan yang lapar dan tak sabar.
Tak sampai 30 menit, piring-piring berisi ikan asam pedas, siput gonggong rebus, sotong goreng tepung, udang mentega, dan rajungan lada hitam, untuk menyebut sebagaian menu boga bahari yang amat beragam, sudah tersaji di meja.
Ruangan yang tadinya ramai orang mengobrol, seketika berganti dengan suara santap sore yang khidmat. "Krak, krek, kriuk, slurp." Cangkang gonggong dipecahkan, kulit udang dikupas, badan rajungan digeprek, dan kuah asam pedas diseruput. Nikmat.
Kampung Tua Mentarau terletak di pesisir utara Pulau Batam, Kepulauan Riau. Ada dua rumah makan boga bahari di situ, Gerai Nelayan 2M dan Kelong Arjam. Keduanya bersebelahan dan pemiliknya bersaudara.
Restoran boga bahari itu berbentuk rumah panggung yang berdiri di atas laut, menyerupai rumah-rumah tradisional masyarakat Melayu pesisir. Selain menawarkan hidangan laut yang lezat, rumah makan boga bahari di sana juga menyuguhkan pemandangan yang menawan.
Sambil melamun menunggu pesanan, pengunjung bisa menikmati pemandangan sore aktivitas nelayan dan lalu lintas kapal di Selat Singapura yang sibuk. Bila cuaca cerah, gedung-gedung pencakar langit di Singapura tampak di kejauhan.
Dalam diam, Abdul Sani (47) mengamati suasana santap sore itu dari pojokan rumah makan ditemani segelas kopi. Dulu tak terbayangkan rumah makan Gerai Nelayan 2M yang dia rintis dari kedai teras rumah bakal seramai ini.
"Dulu cuma ada tiga meja, muat paling banyak 12 orang, dan menu makannya cuma lima jenis. Pelanggan pertama, ya, teman-teman sendiri sesama nelayan," katanya, Sabtu (29/4/2023).
Sani dan istrinya mulai merintis Gerai Nelayan 2M pada 2015. Sebelumnya, ia bekerja sebagai nelayan tradisional yang setiap hari mencari udang dan kepiting bakau di sepanjang pesisir Mentarau.
Kini, Gerai Nelayan 2M memiliki 38 pegawai. Bangunan restoran, yang dulunya sebatas teras rumah Sani, juga telah diperluas agar mampu menampung sampai 800 orang.
Setelah usahanya maju, kini Sani ingin juga ikut mempromosikan budaya Melayu di Batam. Hal itu salah satunya dilakukan dengan menyajikan makanan khas Kepri, yakni gonggong rebus. Gonggong menjadi menu yang pasti ada dalam setiap paket hidangan laut di Gerai Nelayan 2M. Untuk satu paket menu, biasanya resto mematok harga sekitar Rp 75.000 per orang, dengan minimal 5 orang per paket.
"Yang datang ke sini banyak wisatawan dari luar kota dan luar negeri. Maka, gonggong jadi andalan kami, karena di daerah lain enggak ada makanan itu," ucapnya.
Laut di pesisir Kepri yang tanahnya terbentuk dari kombinasi pasir dan lumpur serta ditumbuhi lamun menjadi habitat siput gonggong (Laevistrombus turturella). Selain di Kepri, gonggong juga hidup di Semenanjung Malaysia dan Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam satu minggu, Sani membutuhkan lebih dari 70 kilogram gonggong untuk dihidangkan ke pelanggan. Siput-siput itu dia dapatkan dari nelayan gonggong di Pulau Buluh dan Pulau Rempang yang terletak di sebelah tenggara Pulau Batam.
Menurut Sani, mengolah gonggong amat mudah. Gonggong tinggal dibersihkan dari lumpur lalu direbus dalam air mendidih. Dengan begitu gonggong sudah bisa dinikmati. Namun, bila ingin menghilangkan aroma amis, bisa ditambah serai dan jahe.
Siput-siput itu dia dapatkan dari nelayan gonggong di Pulau Buluh dan Pulau Rempang yang terletak di sebelah tenggara Pulau Batam.
Salah satu pelanggan di Gerai Nelayan 2M, Rohim (29) mengatakan, gonggong memiliki rasa yang unik dibanding hidangan laut lain karena teksturnya yang kenyal dan aromanya yang khas. Ia lebih suka menikmati gonggong rebus dengan dicocol ke sambal atau kuah hidangan laut lain untuk menambah rasa.
"Meskipun gonggong ini makanan khas di Kepri, tetapi setahu saya enggak dijual umum di pasar. Kalau mau makan gonggong, ya, memang enaknya datang ke rumah makan bareng-bareng seperti ini sambil menikmati menu lainnya sekalian," tuturnya.
Kaki lima
Rumah makan di tepi laut, seperti Gerai Nelayan 2M, memang menjadi tempat terbaik untuk menikmati boga bahari sembari memanjakan mata dengan pemandangan yang indah. Namun, bila ingin sekadar menikmati gonggong dan kerang jenis lainnya, ada banyak alternatif lain yang tak kalah menarik.
Di pinggir jalan dekat pantai Marina, ramai berjajar warung kaki lima yang menjual hidangan boga bahari. Berbagai jenis kerang, termasuk gonggong, dijual antara Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per kilogram.
Salah satu pemilik warung, Zaidun (55), Rabu (26/4/2023), mengatakan, bisa menjual hingga 200 kg berbagai jenis kerang pada akhir pekan. Omzetnya sekitar Rp 5 juta dalam satu hari.
"Paling banyak datang untuk kerang buat dimakan di rumah. Masa puasa hingga Lebaran ini yang paling ramai," kata perantau asal Nusa Tenggara Barat itu.
Zaidun merupakan salah satu penjual yang pertama kali membuka lapak di jalan dekat Pantai Marina itu. Ia telah berdagang di situ sejak empat tahun lalu. Sebelumnya, ia bekerja sebagai kuli bangunan sejak 2013.
Salah satu pembeli, Yudi (35), mengatakan, sering membeli gonggong di lapak kaki lima itu karena harganya jauh murah daripada di rumah makan boga bahari. Selain itu, di sana,
"Kalau di rumah makan engga mungkin cuma pesan gonggong saja, pasti tergoda pesan menu lainnya juga. Akhirnya, nanti bisa habis ratusan ribu rupiah," ucapnya.
Pengajar Program Studi Budidaya Perikanan di Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Muzahar, Senin (24/4/2023), mengatakan, gonggong merupakan boga bahari yang tinggi protein dan rendah kolesterol. Selain itu, gonggong juga mengandung peptida antimikroba yang kaya asam amino hidrofobik yang dapat membunuh bakteri gram positif dan gram negatif.
Dalam setiap 100 gram gonggong rebus, diketahui mengandung protein 47,48 persen dan kolestrol 24,95 persen. Menurut Muzahar, kadar kolestrol dalam gonggong rebus lebih rendah dibanding jenis makanan laut lainnya seperti misalnya cumi-cumi dan tiram.
"Mengonsumsi sampai 20 ekor per hari masih aman. Dengan catatan cara mengolahnya hanya dengan direbus, tidak digoreng atau diberi santan atau yang lain-lain," ucapnya.
Namun, kata Muzahar, warga tetap perlu mengontrol diri saat mengonsumsi gonggong, terutama saat menyantapnya di rumah makan boga bahari. Sebabnya, hampir pasti di rumah makan gonggong dihidangkan bersama hidangan laut lain yang beraneka ragam dan tinggi kolesterol.