Ada Bendera Partai, Bawaslu Turut Awasi Unjuk Rasa Buruh di Jateng
Ratusan buruh di Jateng memperingati Hari Buruh atau May Day dengan melakukan unjuk rasa. Para buruh kecewa dengan penerapan UU Cipta kerja. Mereka bertekad untuk tidak memilih pemimpin yang tidak berpihak kepada buruh.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day yang digelar di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (1/5/2023), berlangsung tertib. Sejumlah tuntutan disampaikan para buruh, terutama terkait pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja. Meski sempat diwarnai pengibaran bendera partai, Badan Pengawas Pemilu yang turut memantau unjuk rasa tersebut memastikan tidak ada pelanggaran pemilu.
Ada dua unjuk rasa yang digelar di Kota Semarang pada Senin pagi dan siang. Keduanya diselenggarakan di depan Kantor Gubernur Jateng. Unjuk rasa yang diikuti oleh ratusan buruh dari sejumlah daerah di Jateng itu berlangsung tertib.
Pada unjuk rasa Senin siang, bendera Partai Buruh turut dikibarkan. Kendati demikian, Ketua Bawaslu Kota Semarang Arief Rahman memastikan tidak ada pelanggaran pemilu dalam unjuk rasa tersebut.
”Berdasarkan hasil monitor yang kami lakukan, tidak ada indikasi yang mengarah kepada pelanggaran pemilu, khususnya kampanye maupun ajakan memenangkan partai politik tertentu di Pemilu 2024. Terkait atribut yang dibawa, itu bagian dari upaya sosialisasi partai peserta pemilu. Saat ini, para peserta pemilu memiliki hak untuk sosialisasi,” ujar Arief.
Menurut Arief, pihaknya telah melakukan upaya preventif dengan cara mengirimkan surat edaran kepada partai peserta pemilu untuk tidak melakukan kampanye dalam peringatan May Day. Kampanye yang dilakukan di luar masa kampanye dapat dipidana. Untuk itu, Bawaslu melibatkan petugas kepolisian dan kejaksaan dalam monitor peringatan May Day.
Dalam orasinya, sejumlah buruh sempat mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap para pemimpin yang tidak berpihak kepada buruh. ”Tugas pemerintah dan dewan perwakilan rakyat adalah menyejahterakan masyarakat, menyejahterakan buruh, tapi ini tidak. Jangan lagi mau memilih mereka yang tidak berpihak pada kita,” ujar salah seorang buruh dari Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan Karanganyar.
Terkait atribut yang dibawa, itu bagian dari upaya sosialisasi partai peserta pemilu. Saat ini, peserta pemilu memiliki hak untuk sosialisasi.
Para orator menyebut, pemerintah tidak berpihak kepada buruh karena mereka mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Sejumlah aturan dalam UU Cipta Kerja dianggap merugikan buruh, terutama terkait upah, status kepegawaian, dan pesangon.
”Penentuan upah minimum tidak dirundingkan dengan serikat buruh. Sejak ada UU Cipta kerja, penentuan upah yang tadinya mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dilakukan dengan mempertimbangkan inflasi saja atau pertumbuhan ekonomi saja. Hal ini membuat kenaikan upah lebih rendah,” ucap Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Jateng Aulia Hakim.
Hakim mengatakan, UU Cipta Kerja membuat para buruh berpotensi menjadi pekerja alih daya seumur hidup. Sebab, ada aturan dalam UU Cipta Kerja yang melegalkan pemberi kerja mengontrak pekerja alih daya secara terus-menerus tanpa periode. Hal itu disebut Hakim membuat pemerintah seolah-olah agen alih daya.
Adapun terkait pesangon, para pekerja hanya akan mendapatkan setengah dari total upah sebulan jika mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Angka itu dinilai Hakim tidak manusiawi.
Selain pencabutan UU Cipta Kerja, pencabutan aturan terkait parliamentary threshold atau ambang batas parlemen, dan penolakan Rancangan UU Kesehatan omnibus law juga diserukan. Para buruh juga turut mendorong pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, reforma agraria dan kedaulatan pangan, serta mengajak memilih presiden 2024 yang proburuh dan pekerja.
Sementara itu, Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (FSPIP KASBI) yang berunjuk rasa pada Senin pagi membawa 16 tuntutan. Tuntutan-tuntutan itu adalah pencabutan UU Cipta Kerja, pencabutan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi, serta pencabutan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2023.
”Sahkan Rancangan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan berikan perlindungan bagi buruh migran. Lawan komersialisasi pendidikan melalui revisi UU Sistem Pendidikan Nasional,” ujar Ketua FSPIP KASBI Jateng, Karmanto.
Karmanto menuturkan, pihaknya juga mendorong ratifikasi konvesi ILO Nomor 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja. Jaminan kepastian kerja dan perlindungan seluruh pengemudi ojek maupun taksi daring serta pekerja pemerintahan non-aparatur sipil negara juga didorong.
Selain itu, para buruh juga berharap, sistem kerja kontrak, alih daya, dan sistem magang dihapus. Penyetopan pemberian upah murah dengan memberlakukan upah layak nasional juga diharapkan.
Bukan hanya itu, para buruh menuntut penurunan harga kebutuhan pokok, tarif listrik, bahan bakar minyak, pupuk, tarif tol, dan air. ”Berikan jaminan pendidikan, kesehatan, rumah, fasilitas publik, dan penyediaan pangan gratis untuk masyarakat,” imbuh Karmanto.
Karmanto menambahkan, para buruh juga menginginkan reforma agraria terwujud. Pembungkaman demokrasi di lingkungan akademik juga dilawan. Kriminalisasi terhadap gerakan rakyat serta penuntasan pengusutan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu juga diserukan.