Muhammadiyah Surabaya Laporkan Dua Peneliti BRIN ke Polda Jatim
Dua peneliti BRIN dilaporkan ke Polda Jatim dalam kasus dugaan ujaran kebencian dan ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya melaporkan dua peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam kasus dugaan ujaran kebencian ke Kepolisian Daerah Jawa Timur, Rabu (26/4/2023).
Yang dilaporkan ialah profesor riset astronomi dan astrofisika Thomas Djamaluddin dan peneliti astronomi Andi Pangerang Hasanuddin. Pelaporan atas tindakan mereka yang diduga ujaran kebencian terhadap warga Muhammadiyah terkait perbedaan waktu shalat Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriah (21 April 2023) dengan pemerintah (22 April 2023).
”Pelaporan secara hukum dilakukan secara serentak,” kata Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PD Muhammadiyah Surabaya Sugianto seusai pelaporan di Polda Jatim, Rabu siang. Sebelumnya, pelaporan kasus serupa ditempuh oleh pengurus Muhammadiyah ke Kepolisian Resor Jombang.
”Ada instruksi serentak melaporkan pada setiap kota dan kabupaten, setiap provinsi yang kemudian di sana hak konstitusional kami sebagai warga negara, warga Muhammadiyah yang merasa diancam,” ujar Sugianto.
Regulasi jelas mengatur larangan ekspresi penghinaan dan ancaman terhadap kelompok tertentu dan bermuatan suku, agama, ras, antargolongan.
Pelaporan disertai barang bukti yang dikumpulkan majelis, yakni salinan tangkapan layar unggahan dan komentar terlapor pada akun media sosial Facebook. Unggahan berisi ujaran kebencian dan ancaman pembunuhan kepada warga Muhammadiyah oleh terlapor.
Secara terpisah, dosen hukum pidana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, mengatakan, ujaran kebencian dan ancaman pembunuhan oleh terlapor meski berada di ranah media sosial merupakan ancaman terhadap keragaman beragama dan keyakinan. Padahal, keragaman dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945.
Kebebasan berekspresi
Satria melanjutkan, kebebasan berekspresi juga dilindungi dalam UUD 1945. Dalam tataran global, kebebasan berekspresi juga dilindungi oleh Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCR) yang oleh Indonesia diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCR. Namun, kebebasan berekspresi itu bisa dibatasi bukan sebebas-bebasnya.
Unggahan dan komentar terlapor, lanjut Satria, bukan termasuk dalam kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi dan HAM. Yang terlapor lakukan justru menabrak dan mencederai makna kebebasan berekspresi itu. Ujaran kebencian dan ancaman melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
”Regulasi jelas mengatur larangan ekspresi penghinaan dan ancaman terhadap kelompok tertentu dan bermuatan SARA (suku, agama, ras, antargolongan),” ujar Satria, Kepala Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi UMS itu.
Sebelumnya, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Sukadiono mengatakan, perbedaan waktu merayakan Idul Fitri merupakan keniscayaan. Esensi hari raya ini tidak boleh dilupakan. Dalam konteks filosofi Jawa, hari raya Idul Fitri disebut Lebaran yang berarti telah menunaikan ibadah puasa.
”Idul Fitri juga berarti kembali kepada kebenaran,” kata Sukadiono yang juga Rektor UMS. Setelah menjalani ibadah puasa, diharapkan umat menjadi pribadi yang lebih baik, misalnya menjauhi sikap arogan, riya, dan reaktif.
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ahmad Zainul Hamdi mengatakan, sebenarnya bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan perbedaan, termasuk dalam menetapkan dan merayakan Idul Fitri.
”Jika saudara-saudara Muhammadiyah telah memutuskan 1 Syawal 1444 Hijriah jatuh pada Jumat (21/4/2023), mari sepenuh hati menghargainya,” ujar Ahmad, guru besar perbandingan agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.