Narapidana Anak, Meraih Fitri dari Balik Jeruji Besi
Kunjungan keluarga untuk anak binaan permasyarakatan punya makna kuat. Ini menjadi harapan akan hari yang lebih baik dan keyakinan bahwa jeruji besi hanya persinggahan sementara.
Kunjungan keluarga saat Idul Fitri menjadi oase bagi anak didik pemasyarakatan. Pertemuan ini memberikan harapan akan hari yang lebih baik, serta keyakinan bahwa jeruji besi hanya persinggahan.
FR (19) menangis sesenggukan di pelukan sang kakak, Rizka (24), di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Jakarta, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (22/4/2023).
Berkali-kali ia meminta maaf pada sang kakak yang baginya menggantikan peran ibu yang telah tiada. Berkali-kali pula sang kakak meminta FR bersabar menjalani masa binaan.
Ini adalah momen pertama FR kembali bertemu Rizka setelah lima bulan mendekam di LPKA karena kasus perlindungan anak. Selain bisa membayar kerinduan, pertemuan selama 30 menit ini juga menghadirkan suasana kumpul keluarga seperti Lebaran pada umumnya.
Namun, bedanya kalau tahun lalu FR berangkat shalat Id bersama ayah dan kakaknya, kali ini ia harus bertahan di LPKA. Bersama 58 anak binaan dan petugas, FR menjalani ibadah shalat Id di lapangan lembaga. Seusai shalat, mereka bersalaman dan meminta maaf. Beberapa anak binaan berpelukan.
”Sedih. Untung dikunjungin (keluarga), jadi terasa Lebaran-nya,” kata FR.
Rizka bersama ayahnya, Romdoni (53), berangkat naik sepeda motor dari Ciganjur, Jakarta Selatan, menuju LPKA. Keluarga ini membesuk FR pada sesi pertama pukul 09.00.
Baca juga : 49 Anak Binaan di LPKA Jakarta Dapat Remisi Khusus Idul Fitri
Sebelum bertemu FR, Rizka dan Romdoni melewati serangkaian proses, mulai dari pengambilan nomor antrean, penitipan barang, penggeledahan barang bawaan. Pagi itu, Rizka membawa berbagai sajian khas Lebaran, seperti ketupat, opor, kue-kue kering, dan minuman, agar sang adik bisa tetap menikmati nuansa Lebaran.
Hal serupa dilakukan oleh Nurhasanah (47) yang datang membesuk anaknya, MS (18). Ia membawa makanan khas Lebaran untuk MS dan teman-temannya.
MS mengaku senang karena bisa menikmati makanan khas Lebaran. Lebih dari itu, ia senang karena bisa bertemu keluarga.
Meski waktu pertemuan ini terbatas, setidaknya MS merasa keluarganya tetap hadir dan mengingatnya. Pertemuan ini membantu MS menjaga harapan. Ia percaya apa yang sedang dijalaninya memberinya banyak pelajaran.
Jika sudah bebas tahun depan, MS bertekad akan jadi pribadi lebih baik. Ia pun ingin mengejar mimpinya menjadi atlet futsal profesional. ”Kalau ketemu keluarga bikin jadi semangat lagi, termotivasi buat berubah. Kalau keluar, pokoknya saya bakal bantu-bantu orangtua, enggak mau ngerepotin mereka lagi,” kata MS yang menjalani masa binaan sejak September 2023 lantaran kasus perlindungan anak.
Kebahagiaan seusai kunjungan memberi harapan, seperti tulisan di tembok LPKA, ”Ini bukan jalan buntu, tetapi hanya belokan”.
Saat ini, LPKA menampung 62 anak binaan yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Mereka berada pada rentang usia 17 hingga 19 tahun. Adapun jenis kejahatan yang dilakukan antara lain kriminal umum, perlindungan anak, dan narkotika.
Selama masa libur Lebaran, LPKA membuka layanan kunjungan serupa kantin dengan dua gerai makanan dan enam meja besar. Di ruangan itu, 22 keluarga secara bergantian datang membesuk anak-anak mereka. Selama tiga hari kunjungan, ruangan tersebut dipenuhi dengan pelukan, tangisan, dan ucapan maaf.
Baca juga : Melindungi Anak dan Masa Depan Kita
Kebahagiaan dan nyala harapan tidak hanya dirasakan anak binaan yang dikunjungi orangtuanya. Mereka yang tidak dibesuk turut merasakan kebahagiaan serupa. WCR (18), misalnya, memang sempat merasa sedih lantaran tidak pernah ada yang menjenguknya sejak dibina di LPKA mulai Januari 2023. Namun, ia juga tak tega jika melihat ibunya datang jauh-jauh dari Tanjung Priok, Jakarta Utara, untuk mengunjunginya.
Kunjungan dari keluarga anak binaan lain seperti sedikit mengobati kerinduan akan keluarganya sendiri. Terlebih, anak yang dibina karena kasus kriminal umum ini juga bisa merasakan makanan yang dibawakan oleh keluarga teman-temannya itu. ”Seenggaknya saya enggak sendirian juga saat Lebaran karena ada teman-teman dan ada makanan dari keluarga mereka,” ucapnya.
Baca juga : Anak Rentan Jadi Pelaku Kejahatan
Kepala LPKA Kelas II Jakarta Medi Oktafiansyah mengatakan, layanan kunjungan tatap muka memang sengaja dibuka tiga hari berturut-turut demi mengakomodasi keluarga yang ingin bertemu anaknya dalam suasana Lebaran. Dengan demikian, anak binaan juga bisa merasakan kehadiran keluarga kendati dalam situasi yang terbatas.
”Kunjungan akan sangat bermakna bagi anak-anak ini. Mereka, kan, tidak merayakan secara langsung dengan keluarga. Tetapi, paling tidak mereka bisa bertemu dengan keluarganya,” ujar Medi.
Baju baru
Kebahagiaan yang dirasakan anak binaan permasyarakatan juga dijumpai di Rumah Tahanan Kelas I Cirebon, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (22/4/2023) pagi. Ketika kebanyakan anak merayakan Lebaran dengan baju baru dan mengisi hari bersama keluarga, sejumlah narapidana anak justru mengenakan baju tahanan.
GN dan RS, narapidana berusia 17 tahun, untuk pertama kali menjalani Lebaran di penjara tanpa kehadiran keluarga. Jangankan kue nastar atau angpau tunjangan hari raya dari om dan tantenya, baju lebaran pun tak ada. ”Ini baju barunya,” ucap GN tersenyum sembil menunjukkan kaus putih lengan panjang bertuliskan ”Rutan Cirebon”.
Kedua anak ini sudah mendekam di rutan selama empat bulan. Mereka terbukti terlibat dalam kekerasan terhadap anak yang menyebabkan korban meninggal. Kisah kelam tersebut terjadi pada akhir tahun 2022.
Saat itu, mereka berkumpul bersama gengnya di sebuah tempat. Beberapa di antaranya menenggak minuman keras. Tidak hanya itu, rekannya ternyata berbalas pesan di Instagram dengan geng lain. Isinya, saling tantang tawuran.
Bentrokan berdarah pun pecah. GN dan RS yang awalnya mengaku hanya ikut-ikutan tawuran dan terpancing emosi oleh geng lawan pun digelandang polisi. Pengadilan memvonis GN 2 tahun penjara dan 1 tahun 8 bulan kepada RS.
Dua hari pertama di penjara, ia kerap mengucurkan air mata. Anak penjual ketoprak ini menyalahkan dirinya dan keadaan. Berbagai kegiatan positif kemudian membuatnya lebih menghargai hidup. ”Saya jadi bersyukur. Kalau di luar (penjara), saya mungkin enggak ngaji. Di sini, saya dapat banyak ilmu, udah bisa ngaji. Shalat lima waktu jalan terus,” kata GN yang akhirnya bisa berpuasa sebulan penuh.
Kepala Rutan Kelas I Cirebon Renharet Ginting mengatakan, sebenarnya rutan beda tipis dengan pesantren. ”Terkadang, anak-anak itu punya niat berubah, tetapi tidak ada wadahnya. Akhirnya, mereka rentan kembali ke perilaku sebelumnya,” ungkap Ginting.
Asih Widiyowati, pendiri Umah Ramah, lembaga yang fokus pada isu perempuan dan anak, menilai, stigma buruk masyarakat terhadap narapidana anak turut menghambat pengembangan diri anak. ”Lingkungan mengecap anak itu nakal. Akhirnya, dia merasa semua orang enggak suka. Dia pun memilih melakukan hal buruk,” ucap Asih.
Semua pihak, katanya, perlu memikirkan masalah ini. Apalagi, sudah puluhan anak di Cirebon jadi tersangka. Selama 2021 dan 2022, sebanyak 68 anak terlibat kriminalitas di wilayah Cirebon. Ini belum termasuk sejumlah awal 2023. Padahal, lanjut Asih, anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Meski demikian, penjara bukan berarti akhir dari perjalanan hidup anak. Mereka tetap berhak menata diri.