Jambi Rawan Karhutla, Cegah Siklus Empat Tahunan Kabut Asap
Sengatan panas paparan sinar ultraviolet belakangan ini mencapai kategori ekstrem di Jambi. Karhutla dan kabut asap yang mengintai perlu antisipasi dini.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla sangat rawan terjadi di Jambi tahun ini. Pengelolaan dan mitigasi di lahan gambut menjadi kunci penting meminimalkan kejadian itu.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kebakaran di Jambi seluas 115.634 hektar pada 2015. Adapun pada 2019 api membakar area seluas 56.593 hektar.
Kebakaran gambut juga memicu kabut asap. Tragedi itu telah meluluhlantakkan kehidupan masyarakat.
Paparan asap ”jerebu” itu pun sangat merusak dan dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), mengganggu aktivitas di sekolah, pasar, dan pusat ekonomi lainnya. Aktivitas di bandara dan pelabuhan juga lumpuh. Yang pasti, ekosistem di alam mengalami kehancuran.
Sejauh ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah mengeluarkan peringatan bakal terjadi siklus empat tahunan El Nino. Kemarau yang lebih panjang berpeluang memicu kebakaran lahan pada 2023.
Sepanjang Januari hingga 18 April 2023, berdasarkan data Sipongi-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebaran 217 titik panas terpantau Satelit NASA-NOAA20. Titik-titik panas menyebar di saat hujan masih kerap turun di sebagian besar wilayah Jambi.
”Cuacanya bisa cepat berubah. Hari masih pagi, tetapi udaranya sudah sangat panas. Lalu, bisa tiba-tiba turun hujan deras,” ujar Erlina, warga Pematang Sulur, Kota Jambi, Selasa (18/4/2023).
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Adi Junedi, menyebut, gambut rawan terbakar saat muncul El Nino. Hal itu dipicu praktik kanalisasi demi menurunkan muka air gambut.
Gambut di wilayah Jambi seluas 694.349 hektar. Dari luas tersebut, 61.085 hektar dikelola hutan tanaman industri dan 320.000 hektar untuk perkebunan.
Sekitar 20 persennya merupakan gambut berkedalaman lebih dari 4 meter alias gambut dalam. Keberadaannya mesti dilindungi.
”Pengalaman terdahulu menunjukkan, pada musim-musim kemarau panjang, kebakaran luas selalu terjadi di Jambi. Setidaknya merujuk pada 2015 dan 2019, rawa gambut dilahap api,” kata Adi.
Tata kelola gambut
Direktur Aliansi Insan Lingkungan Lestari (Ailints) Diki Kurniawan menilai, rawa gambut tidak menimbulkan masalah jika tak dirusak. Penyebab masalahnya selama ini adalah pengelolaan gambut yang tidak ideal.
Ia menyebut, ada 11 perusahaan membuka rawa-rawa gambut untuk ditanami tanaman monokultur dan pengolahan minyak bumi dan gas. Luasnya mencapai 86.442 hektar.
Di areal yang telanjur dibuka, ia mengimbau pentingnya mendorong kewajiban perusahaan memperhatikan karakteristik gambut sebagai lahan basah. Pemulihan ekosistem gambut pada areal konsesi harus berjalan.
Para pemegang izin wajib menata tinggi muka air tanah (TP-TMAT) manual. Adapun pada TP-TMAT otomatis untuk mencapai TMAT 0,4 meter.
Hal lain yang harus dipenuhi adalah membuat stasiun pemantauan curah hujan (ombrometer) dan membuat sekat kanal dengan pelimpasan atau tanpa pelimpasan.
Selain itu, upaya memulihkan vegetasi harus dilakukan. Caranya, bisa dengan rehabilitasi, revegetasi, serta suksesi alami.
”Restorasi gambut areal konsesi HTI dan perkebunan menjadi tanggung jawab dan kewajiban perusahaan bersangkutan. Pemerintah perlu rutin mengaudit kepatuhannya,” kata Diki.
Jika muka air gambut terus menurun, gambut kehilangan fungsinya sebagai penyerap air. Pada musim kemarau, gambut mengering sehingga kandungan organiknya sangat mudah terbakar.
Dikatakan Diki, terdapat perusahaan yang belum mematuhi tinggi muka air gambut dan belum membuat sekat kanal. ”Ini berpotensi hilangnya air gambut di musim kemarau sehingga lahan tersebut menjadi mudah terbakar,” kata Diki.
Untuk itu, memasuki musim kemarau panjang tahun ini, audit kepatuhan terhadap korporasi agar dipastikan berjalan. Mulai dari memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pencegahan hingga penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.