Kebakaran Hutan dan Lahan Diprediksi Meningkat Sepanjang Tahun 2023
Kejadian kebakaran hutan dan lahan tahun ini diprediksi lebih banyak dari tahun lalu. Bahkan, pada awal tahun 2023 telah terdapat titik api di beberapa daerah.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
DINAS PEMADAM KEBAKARAN NATUNA
Petugas Dinas Kebakaran Kabupaten Natuna berusaha memadamkan kebakaran di lahan gambut bekas produksi sawit di Kecamatan Bunguran Utara, Natuna, Kepulauan Riau, Selasa (17/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla diprediksi kian meningkat di sejumlah wilayah Indonesia pada saat musim kemarau mendatang. Hal ini menyusul fenomena cuaca La Nina yang akan semakin lemah dan menjadi netral pada Maret hingga April 2023. Bahkan, saat ini di beberapa daerah, seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, sudah terdapat titik panas sehingga mengakibatkan karhutla.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyampaikan, karhutla yang terjadi pada awal tahun 2023 ini meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Apalagi, sejumlah wilayah Indonesia mulai memasuki musim kering atau kondisi dengan curah hujan rendah yang bisa berpotensi menyebabkan karhutla kian meningkat.
”Indonesia akan mengalami anomali iklim yang menyebabkan curah hujan menipis sehingga cuaca menjadi panas,” ujarnya saat konferensi pers seusai rapat koordinasi khusus penanggulangan karhutla 2023 di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Menurut Siti, berdasarkan pantauan, pada periode 1-19 Januari 2023 terpantau ada 31 titik panas (hotspot). Angka ini meningkat 29 persen dibandingkan tahun 2022 pada periode yang sama.
Dari catatan KLHK, luas hutan dan lahan yang terbakar cenderung menurun setelah karhutla besar terakhir pada 2019 dengan luasan mencapai 1,6 juta hektar. Pada 2020, luas karhutla turun menjadi 296.000 hektar dan naik menjadi 358.000 hektar pada tahun 2021. Luas karhutla turun lagi menjadi 204.000 hektar pada 2022.
Menurut Siti, selama periode 1-19 Januari 2023, tercatat sebanyak 66 kejadian kebakaran yang tersebar di 11 provinsi dengan luas mencapai 459 hektar. Ia memastikan, karhutla yang terjadi masih terkendali dan terpantau melalui sistem pemonitoran titik panas, salah satunya melalui situs sipongi.menlhk.go.id.
”Karhutla yang dilaporkan oleh perwakilan daerah, seperti di wilayah Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, terpantau cukup baik berdasarkan langkah penanganannya,” ujarnya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, secara umum curah hujan tahun 2023 diprediksi dalam kategori normal dan akan sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2022. Menurunnya intensitas La Nina atau anomali iklim basah pada April 2023 dinilai menjadi penyebab utamanya.
”Terutama perlu diwaspadai potensi karhutla berada di wilayah utara Sumatera, seperti Riau, sebagian Jambi, dan sebagian Sumatera Utara, pada Februari 2023. Kita semua mesti mewaspadai potensi karhutla pada tahun 2023 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiga tahun lalu yang kemaraunya bersifat basah,” katanya.
Dwikorita mendorong pemerintah daerah untuk mulai bersiap mengantisipasi potensi karhutla meskipun potensi hujan masih ada di sebagian wilayah Indonesia pada April-Mei 2023.
Indonesia akan mengalami anomali iklim yang menyebabkan curah hujan menipis sehingga cuaca menjadi panas.
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Petugas gabungan dari BPBD Kota Palangkaraya dan Manggala Agni juga sukarelawan pemadam kebakaran berebut botol air minum di sela-sela pemadaman lahan yang terbakar di Jalan Danau Rangas, Kota Palangkaraya, Kalteng, Selasa (6/10/2020).
Penanganan karhutla
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga meminta daerah-daerah terus menjaga serta mempertahankan langkah dan upaya pencegahan karhutla. Sebab, pemerintah sudah mempunyai upaya penanganan khusus untuk mencegah kebakaran secara permanen, mulai dari pemantauan titik api, patroli dan evaluasi lapangan secara terus-menerus, hingga tata kelola gambut.
Siti menambahkan, upaya pengendalian karhutla ini terus dilakukan pemerintah bersama para pemangku kepentingan lain. KLHK terus melakukan pemonitoran titik api dan operasi teknologi modifikasi cuaca di beberapa wilayah.
Tujuan teknologi modifikasi cuaca ialah membasahi lahan gambut agar terjaga kelembabannya dan menjaga tinggi muka air tetap stabil. Selain itu, pemerintah juga memberdayakan masyarakat serta melakukan patroli berkala untuk memverifikasi lapangan titik panas yang terpantau.
Secara terpisah, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik menjelaskan, pemerintah seharusnya dapat menyelesaikan masalah utamanya, yakni lahan yang rentan terbakar, terutama lahan gambut. Penyebabnya, industri perkebunan dan kehutanan yang telah mengeringkan lahan gambut secara masif.
Menurut Kiki, karhutla terkendali bukan karena usaha pemerintah, melainkan lebih karena dampak La Nina atau musim basah selama tiga tahun terakhir. Apabila musim kemarau sebentar saja, lahan gambut yang rusak sangat rentan terbakar.
DOKUMENTASI WILMAR SIMANJDORANG
Perbukitan di kawasan Danau Toba terbakar sebagaimana terlihat pada Minggu (7/8/2022).
”Karhutla yang terjadi di Sumatera bagian timur dan Kalimantan bagian barat itu tidak mempunyai pola musim yang jelas seperti wilayah lain di Indonesia. Karena itu, karhutla sering meningkat di kedua wilayah itu, terutama bulan Januari-April dan Agustus-Oktober,” katanya.
Hingga saat ini, upaya pemerintah dalam melindungi gambut tidaklah efektif untuk mencegah terjadinya kebakaran. Program restorasi lahan gambut yang dikerjakan juga masih berjalan lambat. Padahal, pencegahan karhutla yang utama ialah memperbaiki sumber masalah dengan cara merestorasi semua lahan gambut yang rusak dan menjaga yang masih baik.