Lahan gambut di Indonesia dinilai masih rentan terbakar karena kawasan yang seharusnya menjadi bagian dari ekosistem lahan basah justru dibuka untuk industri ekstraktif. Padahal tahun 2023 ini diprediksi lebih kering.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Kebakaran meluas hingga lebih dari 50 hektar di wilayah Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, awal Agustus 2019.
JAKARTA, KOMPAS — Lahan gambut di Indonesia dinilai masih rentan terbakar. Hal ini disebabkan pembukaan kawasan yang seharusnya menjadi bagian dari ekosistem lahan basah menjadi lahan industri ekstraktif.
Risiko kebakaran ini juga dipicu kondisi tahun 2023 yang diprediksi lebih kering. Selain faktor cuaca, kerentanan tersebut terutama diakibatkan oleh ketidakseriusan regulasi dan evaluasi yang dilakukan pemerintah dan pemberi dana pada korporasi ekstraktif yang berisiko merusak ekosistem lahan basah ini.
”Jika penegakan hukum dan izin konsesi tidak segera dievaluasi, bukan tidak mungkin kebakaran dan banjir besar dapat kembali terjadi. Pemerintah tidak lagi bisa berlindung pada curah hujan yang tinggi pada tahun 2023 karena BMKG memprediksi tahun ini menjadi tahun yang lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Koordinator Nasional Pantau Gambut, Lola Abas, di Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Regulasi yang ada membuat pergerakan pemerintah hanya dilakukan saat kebakaran sudah terjadi.
Pernyataan ini dikeluarkan berbarengan dengan Hari Lahan Basah Internasional, yang jatuh pada 2 Februari 2023. Menurut dia, masih ada pekerjaan rumah besar yang belum diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia dalam melindungi lahan gambut.
HARIS UNTUK KOMPAS
Petugas pemadam kebakaran (tak terlihat) menyirami titik asap di lahan gambut yang terbakar di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, Rabu (1/6/2022).
Dia mencontohkan, regulasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 yang bertumpang tindih pada upaya pelestarian ekosistem gambut karena adanya pelonggaran izin konsesi yang beroperasi di atas kubah gambut. Padahal, kubah gambut sudah seharusnya tidak boleh diekstraksi sama sekali.
Kontradiksi regulasi juga terlihat pada Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), di mana konsesi yang beroperasi di kawasan hutan secara ilegal justru mendapatkan pemutihan. Lola mengatakan, upaya penegakan hukum dalam perlindungan hutan dan ekosistem gambut justru direduksi melalui regulasi yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Pengampanye Pantau Gambut, Wahyu A Perdana, mengatakan, regulasi yang tidak konsisten tersebut terbukti pada kegiatan industri ekstraktif yang terjadi di area fungsi budidaya ekosistem gambut seluas 5,2 juta hektar. Bahkan, ekstraksi juga terjadi pada area fungsi lindung ekosistem gambut, yang seharusnya dilarang untuk diekstraksi dan harus dikonservasi.
”Dampaknya pun langsung terlihat pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang ada di dalam area konsesi tanaman industri ekstraktif seluas 1,02 juta hektar. Sayangnya, regulasi yang ada membuat pergerakan pemerintah hanya dilakukan saat kebakaran sudah terjadi. Tidak ada upaya tanggap darurat, pencegahan, ataupun evaluasi pada konsesi yang pernah terbakar yang benar-benar dilakukan,” tuturnya.
PANTAU GAMBUT
Luasan lahan berizin dan tidak berizin di lahan gambut Indonesia.
Hasil analisis Pantau Gambut terhadap luasan area terbakar di gambut selama periode 2015–2019 menunjukkan, dari total 1,4 juta hektar gambut yang terbakar, sebanyak 70 persen atau sekitar 1,02 juta hektar berada di dalam area konsesi. Rinciannya, sebanyak 580.764,5 hektar di atas kawasan hak guna usaha (HGU), 168.988,1 hektar ditemukan di kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI), 83.575,6 hektar di atas kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-restorasi ekosistem (IUPHHK-RE), dan 187.047,9 hektar di atas kawasan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA).
Menurut Wahyu, permasalahan juga dipicu oleh pendanaan yang diberikan kepada korporasi ekstraktif yang membuka eksosistem gambut. Analisis Pantau Gambut menemukan, salah satu bank BUMN telah menyalurkan 4,2 miliar dollar AS untuk membiayai 15 grup perusahaan sawit, bubur kertas, dan kertas yang berisiko melanggar komitmen untuk mengelola ekosistem gambut secara lestari.
Pelanggaran komitmen perlindungan gambut yang ditemukan mayoritas meliputi pemanfaatan area lindung gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter untuk tanaman ekstraktif, tidak adanya upaya pemulihan gambut pasca-terbakar, dan pemanfaatan area bekas terbakar untuk tanaman ekstraktif.