Mudik adalah fenomena sakral bagi kaum papa. Mereka merasa wajib untuk mudik setiap lebaran untuk melepas rindu sekaligus menunjukkan capaian di perantauan. Berbagai upaya dilakukan demi bisa pulang ke rumah.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, Ayu Nurfaizah, STEPHANUS ARANDITIO,
·6 menit baca
Seperti perantau lainnya, "wong cilik" yang menghiasi sudut kota juga menjadikan mudik lebaran sebagai tradisi yang harus dirayakan. Uang yang dikumpulkan dari membanting tulang dalam setahun bisa habis dalam kurun seminggu. Sebab, berkumpul bersama keluarga, sungkem ke orang tua, hingga mengecap makanan di kampung adalah hal yang tak ternilai harganya.
Ketika matahari mulai jatuh di ufuk barat, Tamsari (47), sejenak beristirahat di sebuah warung yang berdekatan los sayur Pasar Kramat Jati, Sabtu (8/4/2023). Sambil meluruskan kaki, kuli angkut ini menghitung uang hasil memanggul selama empat jam sejak pukul 12.00. Tiga orang rekan se-profesinya duduk di sebelahnya.
Ia memperkirakan, masing-masing kuli dalam kelompoknya sudah bisa mengantongi Rp 50.000. Jumlah itu kemungkinan akan bertambah karena jam kerja mereka masih berlangsung hingga pukul tengah malam nanti.
“Sudah tinggal menghitung hari untuk mudik. Sekarang saya fokus mengumpulkan uang untuk membeli oleh-oleh dan bekal di perjalanan,” kata kuli angkut yang akan mudik ke Batang, Jawa Tengah.
Rencananya, ayah dua anak ini akan mudik bersama 50-an kuli angkut Kramat Jati asal Batang lainnya. Mereka akan berangkat pada Rabu (19/4/2023) dengan menyewa bus pariwisata. Setiap orang dikenakan biaya Rp 200.000 sebagai ongkos perjalanan ke kampung halaman. Model mudik ini telah mereka lakukan selama beberapa tahun, terkecuali saat pandemi Covid-19.
"Kalau tidak mudik tidak afdol, lebaran hanya setahun sekali, punya tidak punya duit harus pulang. Momen ini yang ditunggu-tunggu setelah ramadhan. Jadi biarkan saja THR habis, nanti balik lagi, cari (uang) lagi" -Leni Suryani-
Untuk mudik, Tamsari harus membawa uang sedikitnya Rp 5 juta. Uang itu telah terkumpul karena ia sudah menabung sejak jauh-jauh hari. Namun, jumlah itu di luar ongkos bus, ongkos angkutan umum lain menuju rumah, bekal di perjalanan, dan pembelian oleh-oleh.
Minimal, ia harus mengantongi Rp 500.000 untuk itu semua. Ongkos ini tidak begitu tinggi mengingat anak dan istrinya menetap di kampung. Rekannya yang lain bisa menghabiskan jutaan lagi.
“Biasanya saya bawa buah-buahan ke rumah. Beli jeruk santang sekardus dan lengkeng. Nanti buat dibagi-bagi saudara dan tetangga,” ucap Tamsari.
Selain mengumpulkan uang dan membeli oleh-oleh, kata Tamsari, tidak ada persiapan lain guna menyambut mudik Lebaran 2023. Ia mengaku selalu antusias mudik karena itu artinya ia akan segera berkumpul dengan keluarga yang dua bulan tak dijumpainya.
“Kalau pulang Lebaran itu beda rasanya. Lebaran di kampung itu selalu ramai, semua kumpul, semua ketemu,” tuturnya.
Leni Suryani (39), seorang pekerja rumah tangga yang sudah merantau 10 tahun di Jakarta juga menjadikan mudik ke Desa Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah sebagai agenda tahunannya. Hari-hari ini pikirannya sudah ada di kampung, padahal ia baru diizinkan cuti oleh majikannya pada Selasa (19/4), saat puncak arus mudik.
Tahun ini, Leni bersama dua saudaranya yang juga bekerja di Jakarta patungan untuk mudik dengan mobil sewa. Mereka akan berangkat ke Banyumas sebelum Maghrib untuk menghindari kemacetan setelah buka puasa.
Ibu satu anak ini sudah merasakan mudik dengan berbagai moda transportasi, mulai dari kereta api, bus, mobil sewa, hingga sepeda motor. Bahkan dia pernah merasakan 16 jam di jalan ketika tragedi kemacetan Brexit pada 2016 lalu. Hanya Pandemi Covid-19 yang bisa membuat Leni tidak mudik, itu pun hanya pada 2020 saat awal wabah merebak.
"Kalau tidak mudik tidak afdol, lebaran hanya setahun sekali, punya tidak punya duit harus pulang. Momen ini yang ditunggu-tunggu setelah ramadhan. Jadi biarkan saja THR habis, nanti balik lagi, cari (uang) lagi," cerita Leni penuhsemanat.
Bagi Leni, kegiatan Salat Ied, sungkem orangtua, dan silaturahmi bersama orang satu kampung adalah momen yang sangat berharga. Oleh karena itu, mudik menjadi tradisi sekaligus bentuk penghormatan bagi mereka yang sudah merawatnya dari lahir.
"Tanpa doa dan restu mereka tidak mungkin kita bisa sampai sekarang. Selagi orangtua masih ada, pulanglah," ucap Leni. Pikirannya telah merindukan tradisi memasak ketupat, opor ayam, gulai kambing, dan rendang bersama ibu-ibu di desanya.
Agar niat mudiknya lancar, Leni menyisihkan upahnya setiap bulan. Tunjangan Hari Raya (THR) dari majikan pun digunakan sepenuhnya demi bisa pulang ke rumah. Uang itu dipakai untuk membeli oleh-oleh seperti baju baru untuk anak dan orangtuanya, kue lebaran, hingga dibagi ke anak-anak di desa.
"Kalau pulang tidak bawa sesuatu itu seperti ada yang kurang, seperti tidak lebaran," katanya. Ia melanjutkan, "setiap bulan saya nabung, dan akan habis dalam satu minggu lebaran. Tidak apa-apa, kalau sudah habis nanti rezeki akan datang lagi," tutur Leni sambil tertawa.
Tak hanya itu, Leni bersama keluarganya juga berencana untuk berlibur ke Yogyakarta sekalian anjangsana ke rumah kakak ipar. Untuk semua rencana itu, Leni menyiapkan uang sekitar Rp 8 juta.
"Setiap bulan saya nabung, dan akan habis dalam satu minggu lebaran. Tidak apa-apa, kalau sudah habis nanti rezeki akan datang lagi," tutur Leni sambil tertawa.
Istilah bermacet-macet ria benar-benar dirasakannya dengan gembira sepanjang kemacetan mudik. Dia senang bisa berbondong-bondong bersama sesama perantau berada di jalan yang sama menuju rumah.
Kewajiban sosial
Begitu pula dengan Nur (36), pedagang buah di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Rencananya, dia bersama 28 pedagang lain di Tanah Abang akan mudik menuju kampung mereka di Kecamatan Karang Anyar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah pada Rabu.
Persiapan menyewa bus sudah dilakukan beberapa minggu yang lalu, oleh salah satu kenalan saudaranya. Selain mendapat harga yang lebih murah, mereka juga tidak perlu repot berburu tiket dengan pemudik lain.
“Kami bayar Rp 320.000 per orang. Ini sudah bersih, mulai dari bensin, biaya sopir, dan tarif tol, tapi kalau makan pakai uang sendiri. Kalau naik bus patas sudah mahal harganya, di atas Rp 500.000,” tutur Nur yang berdagang di Tanah Abang sejak awal tahun 2000.
Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan Nur untuk mudik tahun ini. Yang paling penting harus disiapkan setiap mudik adalah uang untuk anak dan istri di kampung yang sudah menagihnya baju baru untuk lebaran.
“Saya tidak pernah beli oleh-oleh untuk keluarga, paling barang dagangan kalau gak habis saya bawa pulang, saya masukkan ke kardus,” tutur laki-laki yang menjajakan buah di pinggir jalan ini.
Menurut Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, mudik adalah fenomena yang sakral bagi masyarakat, tidak terkecuali para wong cilik. Mereka merasa wajib untuk pulang ke rumah setiap lebaran untuk melepas rindu sekaligus menunjukkan capaian di perantauan.
"Ada semacam kewajiban sosial bagi perantau harus pulang kampung untuk menunjukkan eksistensi kepada saudaranya. Puncak dari kehidupan rantau mereka itu adalah mudik. Mereka bisa merasa dosa besar jika tidak pulang," kata Sigit.
Meskipun dari sudut pandang ekonomi, biaya mudik itu sebenarnya bisa digunakan untuk memperbaiki taraf ekonomi mereka. Namun, karena tingkat sosial masyarakat Indonesia yang tinggi maka mereka rela untuk tetap mudik dengan berbagai cara.