Geliat Kampung Wisata di Malang Raya, dari Jantung Kota hingga Kaki Gunung
Sempat mati suri terpukul pandemi, kini pariwisata Kota Malang dan Batu mulai bergeliat lagi. Libur Lebaran menjadi momen awal riuhnya pariwisata dari kota hingga kaki gunung.
Puluhan orang bergerombol di sisi barat kawasan pedestrian Koridor Kayutangan di Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (9/4/2023) malam. Mereka menyaksikan ”Hop Lah Hope” Ari-Art Solo Exhibition oleh artis jalanan asal Bondowoso, Abqoriyin Hizan yang 12 tahun terakhir berproses di Malang.
”Hop Lah Hope” Ari-Art Solo Exhibition merespon fenomena yang terjadi di kota belakangan ini, mulai dari banjir yang terjadi akibat peliknya pembangunan kota, pengaturan lalu lintas, hingga Tragedi Kanjuruhan setengah tahun lalu. Semua itu dituangkannya dalam karakter visual.
Kegiatan seni malam itu pun mewarnai hiruk pikuk Koridor Kayutangan yang belakangan ini kian ramai. Apalagi, setelah lalu lintas di Jalan Basuki Rahmat itu diberlakukan satu arah sejak 20 Februari lalu, membuat kawasan pedestrian itu terasa lebih longgar dan ”plong” untuk nongkrong.
Sebelumnya, kawasan itu sudah dipoles lebih kinclong. Setelah aspal di beberapa titik diganti dengan batu andesit (2020), pemerintah memasang hampir 100 lampu bergaya klasik di kiri dan kanan jalan pada Desember 2021 dalam rangka penataan kawasan Kayutangan Heritage.
”Enak buat nongkrong, suasananya ramai,” ujar Zain Maulana (21), salah satu orang yang menikmati malam di Kayutangan. Mahasiswa Universitas Brawijaya asal Madiun itu memilih duduk-duduk di salah satu bangku bersama kawannya.
Sepanjang mata memandang, suasana Koridor Kayutangan yang ada di jantung Kota Malang malam itu cukup kontras dengan saat siang hari. Puasa membuat aktivitas warga, termasuk kedai, kafe, resto, dan tempat usaha lain yang berjajar di jalan sepanjang 850 meter dan dipisahkan oleh simpang empat Rajabali itu, cukup sepi. Geliatnya baru terasa sehabis maghrib.
“Sehabis maghrib ramai sekali, pengunjung penuh. Bahkan sampai pukul 02.00 masih ada tamu,” ujar manajer kedai kopi Hwie, Fiska Wilensky (25).
Baca juga: Mencicip Senja di Kayutangan Malang
Kedai Hwie yang memanfaatkan bangunan kolonial bernuansa klasik itu baru buka dua hari terakhir tetapi animo konsumen sudah tinggi. Pada hari pertama buka, Sabtu malam, kata Fiska, kedainya dikunjungi 130 orang dalam semalam.
Tak hanya di koridor, geliat di dalam perkampungan Kayutangan di Kelurahan Kauman juga terasa meski setelah hampir tiga tahun denyutnya terhenti oleh pandemi. Di perkampungan ini, wisatawan bisa menikmati suasana bangunan-bangunan masa lalu yang masih eksis hingga kini.
Baca juga: Mengenang Cinta di Kayutangan
Wisatawan bisa menyusuri gang-gang yang ada di tempat itu, baik sendirian maupun menggunakan jasa pemandu (guide). Bagi mereka yang masih awam juga bisa menyusurinya sendiri karena di dalam gang yang bersih terdapat papan-papan penunjuk arah dan sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah yang menyediakan makanan serta oleh-oleh.
“Di tempat ini, prasarana peninggalan kolonial masih ada, seperti jembatan, sungai, dan gorong-gorong yang ada di bawah jalan yang ada di dalam perkampungan. Orang tidak akan tahu itu semua jika tidak masuk ke dalam kampung,” kata Ninik Abdilah, koordinator pelaku UMKM Kayutangan Heritage.
Tak hanya di Kayutangan, geliat wisata kampung juga terlihat di Dinoyo, kampung yang terkenal sebagai pusat produksi keramik. Kampung ini sempat mati suri akibat pandemi. Padahal, sebelumnya selalu ada rombongan wisatawan yang berkunjung untuk belajar membuat keramik atau berbelanja keramik untuk koleksi.
Selasa (4/4/2023), pekerja-pekerja sudah terlihat sibuk mencetak dan memoles keramik di workshop mereka. Deretan vas, cangkir, tempat sabun cair, dan aneka bentuk keramik lainnya yang sudah dicetak rapi berjajar di depan toko untuk dijemur.
Suharto, pemilik workshop keramik di Dinoyo, saat itu tengah menyelesaikan pesanan set cangkir untuk beberapa kafe di Jakarta dan Bekasi. “Setelah pandemi, order dari Jakarta terus mengalir. Kafe-kafe yang baru saja buka pesan cangkir baru yang bentuknya khusus. Beberapa kafe malah pesan ribuan cangkir karena menggratiskan cangkir untuk dibawa pulang,” kata Suharto.
Baca juga: Gurat Semangat Kota
Toko-toko suvenir pun kini mengisi kembali stoknya dengan keramik hias aneka bentuk dan warna. Saat libur Lebaran, wisatawan biasanya datang untuk berbelanja di toko-toko mereka.
Setelah pandemi, order dari Jakarta terus mengalir.
Di Kota Batu, denyut wisata juga terasa di perkampungan. Sebut saja Tulungrejo yang berada di Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Nur Arofah (45), salah satu pengelola Kafe Bon Desa di Tulungrejo yang ada di kaki sisi barat daya Gunung Arjuno, menuturkan, jumlah reservasi kini naik usai pandemi mereda.
Tulungrejo memiliki Kafe Bon Desa yang merupakan bagian dari badan usaha milik desa yang dikelola oleh ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tempatnya memanfaatkan bekas gudang pertanian di lahan kas desa, di sisi barat daya Gunung Arjuno. Di lokasi itu juga terdapat wahana lain, termasuk kolam renang dan permainan anak.
Arsitek bangunan kafe yang dibuat klasik, berpadu dengan suasanya asri di tengah perkebunan sayur sehingga membuat suasananya menyenangkan. Sebagian bangku menghadap langsung ke lembah di mana perkebunan sayur berada.
Kafe Bon Desa berdiri akhir 2020 atau sewaktu kondisi pandemi Covid-19 masih hangat. Meski demikian, jumlah pengunjung mencapai 1.000-an orang dalam satu bulan.
Kini saat menjelang libur Lebaran jumlah reservasi meningkat jadi 20 dalam satu bulan. Sebelumnya di bawah angka 10. “Saat ini justru yang naik adalah dari sisi reservasinya karena kami bekerja sama dengan Lembaga Desa Wisata Tulungrejo. Setiap rombongan wisatawan yang datang diarahkan ke sini,” katanya.
Ramainya wisatawan juga terasa di Sidomulyo, yang berada 3 kilometer di sisi selatan Tulungrejo. Sidomulyo adalah salah satu desa wisata di Kota Batu yang memiliki pasar bunga. Beragam bunga dan tanaman hias tersebar, mulai dari tepi jalan utama (Jalan Raya Bukit Berbunga), di pasar bunga ”Sekar Mulyo”, sampai rangkaian gerai bunga yang “diikat” menjadi mal bunga yang dikelola oleh BUMDes.
Baca juga: Sidomulyo, Kedigdayaan Swalayan flora di Batu
Setelah pandemi mereda, bisnis bunga pun kian ramai. Warga pun senang karena rezeki mereka banyak bergantung pada bisnis tersebut. ”Sebanyak 80 persen penduduk Sidomulyo merupakan petani bunga,” tutur Abdul Rokhim, Ketua Desa Wisata Sidomulyo yang baru.
”Sukan-sukan” Majapahit
Pariwisata menjadi nadi Malang dan Batu. Bahkan, berabad-abad sebelumnya, kawasan ini sudah dikenal dengan alamnya yang indah. Raja Majapahit Hayam Wuruk dalam lawatan politiknya ke berbagai kota di Jawa Timur pada abad ke 14 tercatat menyinggahi tempat-tempat di kawasan Malang untuk sukan-sukan dan cangkarama atau bersukaria dan bercengkerama santai. Saat itu kota Malang berupa desa-desa kuno dan kawasan hutan. Catatan itu ditulis dalam KakawinNagara Krtagama.
Dwi Cahyono, pengamat sejarah dari Universitas Malang, mengatakan, sukan-sukan dan carangkama dilakukan saat Hayam Wuruk berziarah politik untuk pendarmaan leluhur di Malang seperti petilasan Ken Arok, Anusapati, dan Wisnu Wardana, serta Kertanegara.
Saat berziarah, rombongan singgah ke Burem dan menikmati telaga biru, yang kini dikenal sebagai mata air Wendit, barat daya Bandara Abdurrahman Saleh, Malang.
Hayam Wuruk juga mampir di sebuah desa kuno Malang (yang kini diperkirakan menjadi kampung warna-warni Jodipan) untuk berburu sebagai bentuk sukan-sukan. Hutan tempat berburu kini dikenal sebagai kawasan Kayutangan. “Jadi Hayam Wuruk melakukan tiga perjalanan wisata, dari wisata ziarah, cangkarama, dan berburu di daerah yang kini dikenal dengan nama Malang,” katanya.
Tempat wisata di Batu pun memiliki sejarah panjang. Pemerintah Kota Batu dalam lamannya, Batukota.go.id, menuliskan bahwa kawasan ini menjadi tempat peristirahatan para raja. Awalnya pada abad ke-9 sampai ke-10 Masehi, Mpu Sindok membuka tempat peristirahatan di Songgoriti. Kawasan itu hingga kini masih menjadi kawasan wisata pemandian air panas yang ternama.
Baca juga: Milenial Mengejar Ken Dedes Ke Malang
Saat ini pariwisata menjadi salah satu penopang perekonomian Malang dan Batu. Kepala Bidang Destinasi dan Industri Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kota Malang Lita Irawati mengatakan, secara keseluruhan, sektor wisata menghasilkan Rp 1,6 triliun di tahun 2022. Tahun ini diprediksi lebih tinggi karena sektor wisata mulai pulih dari pukulan pandemi.
Besarnya potensi ekonomi desa wisata juga diakui Penjabat Wali Kota Batu Aries Agung Paewai. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batu mencatat jumlah kunjungan selama 2022 mencapai 7.445.799 wisatawan. Angka ini lebih besar dari saat pandemi Covid -19 yang 2,4 juta wisatawan (2020) dan 3,5 juta wisatawan (2021).
Sepanjang 2022, setidaknya ada Rp 744,5 miliar uang yang beredar di Batu. Itu belum termasuk biaya penginapan, restoran, oleh-oleh, dan keperluan lain. Mengingat, ada beberapa wahana wisata di Batu yang harga tiketnya di atas Rp 100.000 per orang.
Keriuhan yang tergambar di Kayutangan, Dinoyo, Sidodadi, dan Tulungrejo, serta kampung-kampung wisata lainnya menjadi harapan bagi warga sekitar. Bagi mereka, pulihnya pariwisata menjadi pertanda baik ke depan.