Mencicipi Senja di Kayutangan…
Salah satu tempat eksotis di Kota Malang, Jawa Timur, adalah kawasan kuno Kayutangan. Waktu paling tepat menikmati Kayutangan adalah sore menjelang petang.
Mencicipi Senja di Kayutangan…
Salah satu tempat eksotis di Kota Malang, Jawa Timur, adalah kawasan kuno Kayutangan. Setiap hari, wisatawan domestik dan mancanegara terlihat berjalan kaki mulai dari kawasan Alun-Alun Bunder di depan Balaikota Malang, menjelajahi perkampungan Kayutangan, dan menikmati Alun-alun Merdeka yang sudah ada sejak Gementee (Kotamadya) Malang ditetapkan pada tahun 1914. Dan, waktu paling tepat menikmati Kayutangan adalah sore menjelang petang.
Senin (5/8/2019) sekitar pukul 15.00 WIB, kami memulai perjalanan jalan kaki dari Kantor Kompas di Jalan Sultan Agung 4. Kali ini, destinasi pilihannya adalah kawasan kuno Kayutangan. Kayutangan diperkirakan mulai ramai pada 1930-1940-an. Kayutangan merujuk pada kawasan pertokoan dan permukiman yang menghubungkan Alun-alun Jalan Merdeka dengan Alun-alun Bunder (kawasan Balaikota Malang).
Berjalan kaki sore hari, saya rasa waktu paling tepat untuk menikmati suasana karena tidak terlalu panas dan tidak terlalu gelap. Suhu 22 derajat celsius kala itu pun sangat mendukung, segar.
Petualangan jalan kaki tersebut sebenarnya untuk membuktikan isi dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang karya Handinoto dan Paulus H Soehargo. Buku itu diterbitkan atas kerja sama LPPM Universitas Kristen Petra Surabaya dengan Penerbit Andi Yogyakarta (1996). Menurut buku itu, Belanda menguasai Malang pada tahun 1821.
Untuk ke Kayutangan, ada dua jalur bisa ditempuh, yaitu melewati Jalan Kahuripan atau Jalan Majapahit. Kami berencana memilih berangkat melalui Jalan Kahuripan, masuk ke perkampungan Kayutangan melalui Jalan Semeru, kembali menyusuri pertokoan Kayutangan Malang (Jalan Basuki Rachmat), dan kembali ke titik keberangkatan melintasi Jalan Majapahit.
Berbekal tas mungil berisi kamera dan sebotol air mineral, mulailah kami bertualang. Pemberhentian pertama adalah Alun-Alun Bunder, di depan Balaikota Malang.
Sayangnya, mentari masih lumayan terik sehingga kami putuskan untuk mengabadikan keindahan balaikota saat langit temaram dengan lampu-lampu bangunan mulai menyala. Rasanya itu akan menjadikan obyek foto lebih menawan.
Rute Jalan Majapahit kami lalui dengan beberapa kali berhenti, mengambil foto suasana jalan. Di beberapa titik, saya berhenti karena tertarik dengan sebuah kertas yang dililitkan di pohon. Rupanya, kertas itu adalah kartu tanda pohon (KTP) yang dibuat oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Malang tahun 2018. Ada barcode di sana dan jika di-scan akan memunculkan identitas pohon tersebut. KTP ini tentu tak akan Anda temukan jika Anda hanya lewat dengan naik kendaraan.
Melintasi Jalan Majapahit tentu siapa saja akan melewati jembatan yang di bawahnya merupakan aliran anak sungai Brantas. Sore itu tampak seorang pedagang minuman menuntun sepedanya meniti pinggiran daerah alian sungai (DAS) .
Puas mengabadikan, kami pun melanjutkan perjalanan. Hingga tibalah kami di perempatan Rajabally Kayutangan. Harapan kami saat itu adalah membuktikan keberadaan dua bangunan kembar karya arsitek Belanda Karel Bos yang dibangun pada 1936. Bangunan kembar sebagai penanda pintu masuk ke Malang Barat itu diperkirakan dibangun karena Karel Bos terinspirasi anak kembarnya. Kedua bangunan itu berdiri kokoh membelah Jalan Semeru.
Sayangnya, saat itu kami tak bisa dengan mudah menemukan kesamaan dua bangunan itu. Kedua bangunan tertutup papan iklan besar hingga untuk mengabadikan keistimewaan dua bangunan jelas tak mungkin. Kami hanya celingak-celinguk dan memperkirakan titik mana yang dikatakan kembar.
Untung saja kami punya banyak waktu karena sore itu, polisi menahan arus yang menyeberang ke arah Jalan Semeru. Pak polisi mengatakan kepada para pengguna jalan bahwa ada rombongan Ibu Megawati segera melintas dengan kencang. Rupanya, putri proklamator RI itu akan hadir dalam kongres partainya di Bali.
Perkampungan
Seusai rombongan lewat, kami melanjutkan perjalanan menuju Jalan Semeru. Tidak lama melangkah, kami masuk ke dalam Gang I. Semeru Gang I merupakan salah satu titik masuk menuju kawasan permukiman Kayutangan Malang (di belakang pertokoan Kayutangan/Jalan Basuki Rahmat).
Perkampungan ini cukup bersih dan rapi. Hampir di sepanjang jalan tak kami temukan sampah berserakan. Bahkan, aliran irigasi (anak sungai Brantas), yang membelah kampung, tampak bebas sampah. Beberapa kali kami jumpai anak-anak muda dan wisatawan mancanegara berkeliling dan berfoto di beberapa lokasi.
”Sudah dapat peta dan foto bangunan lama?” tanya seorang perempuan bernama Aini mendekati kami. Aini rupanya salah seorang penjaga gerbang masuk perkampungan Kayutangan. Oleh Aini, kami diminta mengisi daftar hadir, diberi kartu pos dan peta kawasan, setelah membayar uang Rp 5.000 per orang.
Secara singkat, Aini menunjukkan beberapa titik menarik untuk dikunjungi. ”Ada 30-an bangunan cagar budaya di sini. Semuanya bangunan lama. Silakan nanti dibuktikan sendiri,” kata Aini mengarahkan. Aini mengatakan, rumah-rumah kuno di kawasan Kayutangan ditata mencakup RW 009 dan 010 Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen.
Ada 30-an bangunan cagar budaya di sini. Semuanya bangunan lama. Silakan nanti dibuktikan sendiri.
Kami pun kembali melangkah, ingin membuktikan omongan Aini. Ada beberapa rumah kuno diberi label dan keterangan mengenai kekunoan bangunan. Bangunan tampak baru saja dicat.
”Kira-kira baru setahun ini perkampungan Kayutangan ditata. Dampaknya besar karena orang sudah tidak buang sampah sembarangan. Tak ada lagi orang buang sampah di sungai,” kata Edi Hermanto, Ketua RW 009. Kawasan Kayutangan ditata pada tahun 2017-2018.
Keroncong
Langkah kami kembali berjalan meniti gang di antara bangunan rumah warga. Gang hanya cukup untuk roda dua, itu pun motor harus dituntun, kalau tidak ingin dimaki-maki warga.
Di salah satu sudut gang, kami mendengar alunan musik keroncong mengalun syahdu. Ah, saya benar-benar serasa hidup di zaman eyang saya (almarhum). Langkah kami pun terhenti di depan warung kopi Hamur Mbah Ndut yang memutar musik keroncong. Warung kopi itu sangat menarik karena memajang aneka benda kuno sebagai hiasan. Mulai dari piring kuno, cangkir, teko, radio, dan peralatan lain.
Kami memilih singgah dan memesan kopi hitam. Kapan lagi kami akan menikmati sore, mengobrol dengan orang yang tidak kami kenal. Lagi pula, kami berpikir, menjelajahi Kayutangan tentu tak akan berkesan jika tidak berinteraksi dengan warga kampungnya.
”Semua ini milik ibu saya. Mbah Ndut, orang-orang memanggil ibu saya itu. Ibu saya selalu berpesan, akan lebih baik punya barang-barang pecah belah ini daripada saat nanti butuh malah pinjam dan merepotkan tetangga,” kata Rudi (62), anak ketiga Mbah Ndut, saat ditanya asal barang-barang antik yang dipajangnya. Rudi tinggal sendiri di rumah yang dibangun pada 1923 itu. Anak-anaknya memilih membeli rumah di luar kampung, di mana mobil bisa lewat.
Perkampungan sempit Kayutangan, Malang, memang menurut sejarahnya adalah hunian warga pribumi di era kolonial. Lokasinya di sekitar alun-alun, yaitu kampung Kebalen, Temenggungan, Jodipan, Talun, dan Klojenlor.
Pada era kolonial, wilayah barat daya alun-alun (tepi jalan) menjadi pusat permukiman orang Eropa, meliputi wilayah Tongan, Talun, Sawahan, dan sepanjang Jalan Kayoetangan. Adapun wilayah permukiman China berada di sekitar Pasar Besar dan Kotalama.
”Kampung ini jadi tambah nyaman sejak rumah-rumahnya ditetapkan sebagai cagar budaya. Rumah yang tidak dirombak, sudah didata, dan katanya nanti akan bebas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),” kata Rudi.
Pria itu sangat ramah. Dengan senang, ia menceritakan masa kecilnya, mengisahkan soal pertokoan Kayutangan di ujung gang dan menceritakan betapa pernah ada tiga orang asal Malaysia langsung mencari rumahnya begitu melihat foto rumahnya di Instagram. ”Wisata heritage memang sedang digemari,” katanya.
Kampung ini jadi tambah nyaman sejak rumah-rumahnya ditetapkan sebagai cagar budaya. Rumah yang tidak dirombak, sudah didata, dan katanya nanti akan bebas Pajak Bumi dan Bangunan.
Gotong royong
Rudi senang karena kampungnya menjadi ramai pengunjung. Hal itu, menurut dia, membuat warga merasa memiliki kampung dan berusaha menjaga kebersihan serta kesehatan lingkungan di sana.
”Bapak-bapak warga sini pada malam hari lebih senang kumpul dan gotong royong membenahi kampung. Seperti mengecat, memasang lampu, atau kegiatan lain. Yang penting kumpul-kumpul, sekaligus melaksanakan siskamling,” katanya. Penetapan kawasan Kayutangan sebagai cagar budaya rupanya menjadikan warga kampung pun turut berbenah.
Meski begitu, satu hal patut dicermati dalam obrolan dengan Rudi adalah bahwa kemajuan Kota Malang juga berdampak buruk bagi kawasan pertokoan Kayutangan. ”Hampir semua toko di Kayutangan yang dulu ramai tiba-tiba saja habis setelah munculnya Gajah Mada Plaza. Mulai dari toko kain, bahan makanan pokok, peralatan dan onderdil aneka mesin, yang ada di Kayutangan, sebagian besar tutup. Hanya tersisa dua-tiga toko saja,” katanya.
Rudi pun mencatat, tampilan fisik Kota Malang juga tak banyak berubah. Bahkan, jalan besar di Malang hanya bertambah dua ruas saja, yaitu Jalan Panji Suroso dan Jalan Soekarno-Hatta.
”Hanya dua itu saja jalan baru di Kota Malang. Saya rasa Kota Malang butuh membangun jalan baru. Kalau tidak dibangun jalan baru, ya seperti ini mulai macet di mana-mana,” katanya.
Obrolan dengan Rudi seperti tak ada habisnya. Senja mulai memerah. Kami pun berpamitan melanjutkan perjalanan.
Langkah kaki kami pun sampai ke ujung pertokoan Kayutangan. Menurut sejarahnya, pertokoan Kayutangan diperkirakan dibangun pada 1930-1940. Pada umumnya, bangunan-bangunan di sana disebut nieuwe bouwen, Yaitu beratap datar, bangunan berbentuk kubus, dan gevel berbentuk horizontal (bagian atap yang menaungi bangunan, juga bisa untuk hiasan), di mana biasa ada pada bangunan kolonial. Sayangnya, tidak banyak sisa arsitektur kolonial tersebut bisa kami lihat sore itu. Papan-papan iklan besar menutupi keelokan asli bangunan.
Di ujung jalan Kayu Tangan (Jalan Basuki Rahmat), kami bergegas naik ke jembatan penyeberangan. Lokasinya berada di depan Telkom Kayutangan. Kami memilih mengabadikan Gereja Katolik Hati Kudus Yesus dari sana. Gereja tersebut merupakan salah satu landskap utama di kawasan Kayutangan.
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus dibangun pada 1905. Gereja tersebut dibangun oleh arsitek Marius J Hulswit. Ia adalah pelopor arsitektur kolonial modern di Belanda sesudah tahun 1900. Arsitektur gereja tersebut bergaya neogotik yang digandrungi di Eropa pada abad ke-19.
Dari kejauhan, tampak gedung Societeit Concordia, sebuah gedung pertunjukan/pertemuan/hiburan kaum berada era kolonial. Juga tampak bangunan Bank Indonesia, dulu disebut sebagai Javasche Bank. Bank itu didirikan Belanda pada 1 Desember 1916. Bangunan tersebut merupakan salah satu penanda pusat perdagangan pertama di sepanjang area Kayutangan hingga Tjelaket (sekarang bernama Jalan Jaksa Agung Suprapto). Saat ini gedung tersebut menjadi pusat perbelanjaan Sarinah.
Tahun 2018, Pemerintah Kota Malang mulai serius menggarap revitalisasi kawasan Kayutangan. Wali Kota Malang Sutiaji bertemu dengan manajemen Sarinah membahas upaya mengembalikan nilai kesejarahan gedung Societeit Concordia. Saat itu, Sutiaji bertemu langsung dengan Presiden Direktur Sarinah GNP Sugiarta Yasa.
Dalam sejarahnya, Sarinah sebelumnya merupakan rumah bupati pertama Malang Raden Tumenggung Notodiningrat (1820-1839). Setelah dikuasai Belanda, gedung diubah menjadi gedung Societeit Concordia atau gedung rakyat. Gedung menjadi tempat berkumpul, berdansa, menonton pertunjukan kesenian, dan makan malam.
Setelah merdeka, gedung tersebut menjadi tempat kongres Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25 Februari 1947-5 Maret 1947. KNIP merupakan cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejumlah tokoh nasional hadir, seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, Edward Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, Dr Soetomo, Jenderal Soedirman, dan Bung Tomo.
”Melihat nilai tinggi kesejarahan, maka sayang bilang bangunan itu jangan kita abaikan. Terlebih pada satu kawasan tersebut juga ada gedung-gedung lain bernilai heritage, seperti Gedung Bank Indonesia, Kantor Kas dan Perbendaharaan Negara, kantor pos, Hotel Pelangi, Bank Mandiri, Masjid Agung Jami, gereja, dan Toko Oen,” kata Wali Kota Malang Sutiaji.
Melihat nilai tinggi kesejarahan, maka sayang bilang, bangunan itu jangan kita abaikan. Terlebih pada satu kawasan tersebut juga ada gedung-gedung lain bernilai heritage, seperti Gedung Bank Indonesia, Kantor Kas dan Perbendaharaan Negara, kantor pos, Hotel Pelangi, Bank Mandiri, Masjid Agung Jami, gereja, dan Toko Oen.
Presiden Direktur Sarinah GNP Sugiarta Yasa, dalam siaran pers yang dikeluarkan Pemkot Malang, mengatakan bahwa ide untuk menghidupkan kembali nilai kesejarahan Sarinah Malang telah menjadi diskusi panjang manajemen Sarinah selama ini. ”Ide itu semakin kuat saat kami (manajemen) mencermati dan memperhatikan dalam berbagai informasi. Rupanya kami akhirnya tahu bahwa Wali Kota Malang Sutiaji memang berkomitmen membangun Malang Kota Heritage,” kata Sugiarta Yasa.
Pindah
Berkejaran dengan gelap, kami pun melanjutkan perjalanan melewati Jalan Kahuripan. Tampak beberapa kafe baru mulai muncul di sana. Pusat-pusat ekonomi baru tersebut coba menjadi penghubung antara pusat pemerintahan ”lama” dan ”baru” Kota Malang.
Buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Koloial Belanda di Malang karya Handinoto dan Paulus H Soehargo menyebutkan bahwa tahun 1914, alun-alun masih menjadi pusat Kota Malang. Gementee (Kota) Malang dilegalkan oleh Belanda sebagai sebuah kota (bukan lagi bagian kabupaten) pada 1 April 1914.
Alun-alun (Jalan Merdeka) di awal berdirinya masih mengadopsi pola khas masyarakat Jawa, di mana di sekelilingnya berdiri bangunan-bangunan penting, seperti masjid dan gereja sebagai pusat peribadatan, rumah bupati, dan penjara.
Dan, pusat perkembangan kota pun coba dipindah oleh generasi muda Belanda yang ingin membangun kota dengan lebih bercorak Belanda (lepas dari bayang-bayang pribumi atau indisch). Oleh karena itu, dibangunlah Alun-alun Bunder sesuai dengan perencanaan perluasan kota kedua (bowplan-II) yang diputuskan pada 26 April 1920. Perluasan kota kedua itu terealisasi pada 1922.
Munculnya pusat pertumbuhan baru membuat orang harus melalui dua jalur penghubung, yaitu Jalan Majapahit (Tumapel) (dahulu bernama Maesuuckerstraat) dan Kahuripan (dahulu bernama Riebeeckstraat) untuk bisa mengakses kedua lokasi. Kedua jalan itu membelah aliran anak Sungai Brantas. Jalur tempuh yang tidak mudah itu, menurut Handinoto dan Soehargo, menjadi penyebab buruknya hubungan dua pusat kota tersebut sejak zaman Belanda (bisa diibaratkan hubungan antara Kota Malang dan Kabupaten Malang saat ini).
Pada era kekinian, hubungan tidak harmonis itu tampak nyata dalam sengketa perebutan mata air Sumber Pitu di Tumpang, Kabupaten Malang. Kedua wilayah (Kota dan Kabupaten Malang) belum memiliki kesepakatan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan air di sana. Pemkot Malang bahkan saat ini mulai meluncurkan wacana mencari sumber mata air baru, yaitu aliran sungai Rolak (anak Sungai Brantas).
Secara umum, Kayutangan masih tidak banyak berubah dibandingkan dengan puluhan tahun lalu. Kita masih akan menemukan lanskap bangunan kuno meski di beberapa titik mulai ada yang diubah. Masih ditemui pula orang Belanda berjalan kaki di sepanjang trotoar (menapaktilasi jejak nenek moyangnya). Pemisahan permukiman masyarakat sebagai dampak UU Wilayah (Wijkenstelsel) yang dibuat Belanda pun masih tersisa samar-samar. Kala itu, permukiman warga pribumi, Belanda, dan Arab dibedakan di beberapa lokasi.
Namun, mulai ramainya Jalan Kahuripan, sebagai penghubung antara ”dua pusat kota”, memberikan harapan hubungan Kota dan Kabupaten Malang akan kian membaik dari waktu ke waktu. Seiring dengan terus tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru di sana.
Perjalanan kami sore itu saya tutup dengan memotret warna-warni lampu gedung Balaikota Malang menjelang petang. Sungguh, pengalaman luar biasa mengenali Kota Malang, yang tak akan saya temui saat berkendara....
Baca Juga: Pesona Kayutangan