Penjaga Pintu Air dan Bendungan di Jabar, Jatuh Bangun Menjaga Pangan
Peran penjaga pintu air dan bendungan vital menjaga kebutuhan pangan Jawa Barat. Namun, masa depan hidup mereka masih belum pasti. Banyak status kerja mereka masih sebatas kontrak.
Para penjaga pintu air dan bendungan turut berperan mencegah banjir serta meningkatkan produksi padi di Jawa Barat. Tidak jarang dingin malam hingga golok mengancam tubuhnya. Namun, mereka tetap setia dengan profesinya meski ketidakpastian menyelimuti masa depannya.
Lebih dari 1.000 penjaga pintu air dan bendungan se-Jabar berkumpul di Waduk Darma, Kabupaten Kuningan, Jabar, Rabu (15/3/2023). Mereka duduk melantai di atas karpet bersama Gubernur Jabar Ridwan Kamil berdialog dalam rangkaian peringatan Hari Air Sedunia.
Selain bercengkerama dengan petugas, Emil, sapaan Kamil, juga berbagi hadiah. Salah satu syaratnya, petugas yang punya anak tujuh.
Baca juga: Habiskan Rp 30 Miliar, Revitalisasi Waduk Darma untuk Destinasi Wisata Internasional
Sontak, Jumali (51), penjaga pintu air daerah irigasi Cibacang, Kuningan, unjuk tangan dan naik ke panggung. Riuh tepuk tangan hadirin terdengar.
Emil terkejut saat Jumali merinci nama ketujuh anaknya. Jumlah itu melebihi rata-rata kelahiran di Jabar, yakni 2,1 per keluarga. Ia pun menanyakan rencana Jumali punya anak lagi.
”Sebenarnya, kalau ngikutin nafsu, enggak ada cukupnya,” ujar Jumali disambut tawa hadirin.
”Kekuasaan juga kalau ngikutin nafsu enggak ada cukupnya. Makanya dibatasi,” ujar Emil yang masa jabatannya sebagai gubernur akan usai akhir tahun ini.
Penasaran, mantan Wali Kota Bandung ini kemudian menanyakan cara Jumali memenuhi kebutuhan keluarga besarnya.
”Alhamdulillah, semua bisa dikasih makan. Yang satu saya kuliahkan di Semarang (Jawa Tengah),” jawab Jumali diiringi tepuk tangan hadirin.
Emil pun menghadiahinya sepeda baru. Saking senangnya, Jumali langsung mencoba kendaraannya sambil melambaikan satu tangannya.
Beberapa kali ia berterima kasih kepada Emil. Namun, ia mengaku masih khawatir dengan pekerjaannya.
”Saya masih (pegawai) kontrak. Kalau bicara masalah nasib, kami enggak tahu. Semoga bisa terus dipertahankan,” ujar Jumali yang sudah bekerja 15 tahun sebagai penjaga air.
Sejak 2008, Jumali menjaga di Cibacang, Kecamatan Cilimus, Kuningan. Tugasnya tidak hanya memelihara pintu air dan membabat rumput di sekitar saluran irigasi, tetapi juga memastikan air menjangkau 814 hektar sawah petani dari wilayah Sampora hingga Sarewu, Pancalang.
Jumali dan dua rekannya harus membuka dan menutup pintu air. Jika musim hujan, ia mengalihkan air ke sungai agar sawah tidak kebanjiran. Tidak jarang, ia harus terjaga di ujung malam jika hujan tak kunjung reda. Gemuruh petir kerap menemaninya saat menjaga pintu air.
Sebaliknya, ketika kemarau atau masa tanam gadu pada April-September seperti saat ini, ia membagi air ke persawahan. Ia mengakui, kadang berdebat dengan petani yang berebut air untuk mengairi sawahnya. Sebisa mungkin, Jumali menghadapinya dengan kepala dingin.
”Kalau perbedaan pendapat itu wajar. Mereka enggak tahu jadwal tata gilir air. Padahal, setiap desa sudah ada mandor air yang ikut mengatur tata gilir. Jadi, kadang saya kumpulin orang mereka untuk mencari solusi bersama,” ujarnya.
Pengairan pertanian kian kompleks, tidak hanya karena belum semua sawah teraliri irigasi, tetapi juga perubahan iklim. Masa tanam Oktober-Maret dan April-September tidak lagi teratur karena cuaca tak menentu.
”Akhirnya, tata tanam kita enggak berurutan, enggak jelas,” ungkap Jumali.
Terlebih ketika kemarau, petani di daerah hilir kerap mengeluh karena tidak kebagian air. Ia pernah mendengar ada warga yang membawa golok agar meminta petugas membuka pintu air.
”Alhamdulillah, di sini enggak begitu, jangan sampai,” kata Jumali ingin tetap di profesinya.
Rian Muhammad Ramdhan (36) juga punya suka-duka menjaga pintu air. Ketika bertugas di daerah irigasi Cikembang-Cimaragas, Kabupaten Ciamis, beberapa tahun lalu, pria berbadan tambun ini pernah ditemui warga yang membawa golok karena polemik tata gilir air di sawah.
Baca juga: Guru Honorer Lelah ”Digantung”
Beberapa warga saat itu, katanya, mendesak agar pintu air terus dibuka untuk sawah. Padahal, jadwal gilir air hanya empat jam sehari.
”Untungnya, semua bisa dibicarakan. Jadi, tidak sampai berbenturan,” ungkapnya.
Tidak hanya di pintu air, saat bertugas di Situ Bojongmengger, Ciamis, Rian pun menghadapi aneka persoalan. Selain menjaga situ seluas 3,6 hektar itu dari sampah, ia juga kerap berdebat dengan warga yang ingin berdagang di sekitar situ. Padahal, sempadan sungai adalah zona hijau.
”Sulitnya (mengatur pedagang itu) minta ampun. Sampai saya dibilang memotong rezeki orang,” ujar Rian yang kerap naik sepeda motor lebih dari 15 kilometer untuk menjaga situ, termasuk mencegah banjir. Padahal, ia hanya berusaha menjalankan aturan agar ekosistem situ lestari.
Rian bekerja sama dengan aparat desa hingga petugas pengukur curah hujan untuk menjaga situ. Jika intensitas hujan tinggi, misalnya, petugas akan berkoordinasi dengannya untuk membuka pintu air. Saat kemarau, situ itu juga berperan penting dalam mengairi lahan pertanian warga.
Di tengah peran pentingnya, Rian dan rekan-rekannya di Jabar kini khawatir dengan masa depannya. Alasannya, status mereka masih honorer. Menurut dia, formasi penerimaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja belum memprioritaskan petugas teknis seperti mereka.
”Sekarang ini, kami lagi deg-degan. Loyalitas kami belasan tahun harus kalah dalam satu hari (tes PPPK). Kami minta diutamakan lolos. Selama ini, penerimaan pegawai banyak di bidang pendidikan. Apakah kami tidak dilihat?” ujar Rian yang 11 tahun terakhir menjadi penjaga pintu air.
Kepala Dinas Sumber Daya Air Jabar Dikky Achmad Siddiq mengatakan, lebih kurang 4.000 petugas dari enam wilayah sungai di Jabar berperan penting. ”Petugas ini bekerja 24 jam untuk menjaga ketersediaan air di sawah sehingga capaian produksi (padi) terjaga sekitar 9 juta ton,” katanya.
Bahkan, Emil mengatakan, para penjaga pintu air dan bendungan berkontribusi membuat Jabar surplus 1,3 juta ton beras per tahun. Tahun lalu, produksi beras di provinsi berpenduduk hampir 50 juta jiwa itu mencapai 5,3 juta ton. Capaian itu berasal dari 1,6 juta hektar sawah yang terairi.
”Berkat Anda semua, pertanian Jabar swasembada nasional. Beras-beras yang dimakan di meja-meja rumah rakyat Jabar sebagian datang dari kerja-kerja Anda,” ujar Emil kepada petugas pintu air dan bendungan. Terlebih, ketika harga beras melonjak beberapa bulan terakhir.
Terkait masa depan status mereka, Emil akan mencari tahu persoalannya dan menemukan solusinya. Ia berterima kasih kepada petugas penjaga pintu air dan bendungan atas pengabdiannya. Ia pun berharap, mereka tetap setia berjuang di profesinya.
Emil mendorong kawasan air, seperti waduk atau bendungan, agar tidak hanya mengairi sawah dan mencegah banjir, tetapi juga memiliki daya tarik wisata. Pemprov Jabar, misalnya, menghabiskan sekitar Rp 30 miliar agar Waduk Darma menjadi destinasi wisata internasional.
Waduk seluas 425 hektar itu kini memiliki dermaga apung, gazebo, kawasan pedestrian, hingga kawasan kuliner. Panorama bukit dan langit biru menjadi pemandangan menarik di waduk itu. Jumali, Rian, dan petugas lainnya berharap masa depan mereka bisa seindah waduk itu.
Baca juga: Presiden Resmikan Bendungan Kuningan, Warga Terdampak Berharap Untung