Jatim Targetkan 800 Proklim Baru hingga Akhir Tahun 2023
Indonesia berkomitmen kuat terhadap pengendalian perubahan iklim global. Upaya yang dilakukan di tingkat tapak antara lain dengan memperbanyak Program Kampung Iklim, salah satunya di Jatim.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Jawa Timur menargetkan penambahan 200-300 lokasi untuk terlibat dalam Program Kampung Iklim di 38 kota/kabupaten pada tahun ini. Keberadaan kampung itu diharapkan mampu mendukung mitigasi dan adaptasi ideal bagi masa depan dunia yang lebih baik.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Provinsi Jatim Muhammad Gunawan Saleh dalam Rapat Kerja Teknis Pengendalian dan Perubahan Iklim Regional Jawa Bali dan Nusa Tenggara di Surabaya, Senin (3/4/2022), mengatakan, hingga akhir tahun 2022, tercatat ada 500 lokasi yang ikut dalam Program Kampung Iklim (Proklim) di Jatim. Tahun ini, ditargetkan ada 700-800 lokasi baru yang terlibat dalam Proklim.
Menurut dia, Proklim merupakan bentuk dukungan Pemprov Jatim terhadap upaya pengendalian perubahan iklim yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Program tersebut memerlukan sinergi atau kolaborasi dengan berbagai pihak karena tantangannya cukup banyak.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanti mengatakan, secara nasional Proklim ditargetkan terlaksana di 20.000 lokasi pada 2024. Saat ini, baru terdapat 5.000 Proklim.
”Tahun ini, mudah-mudahan ada penambahan 7.000 lokasi. Tahun depan, targetnya juga sama, ada penambahan 7.000 lokasi. Mudah-mudahan upaya pengendalian perubahan iklim, baik mitigasi maupun adaptasi, lebih semarak di tingkat tapak oleh berbagai komunitas,” tutur Laksi.
Dia menambahkan, Kementerian LHK telah merumuskan strategi pengendalian iklim melalui dua cara, mitigasi dan adaptasi. Adapun implementasi Proklim di lapangan sangat beragam sesuai dengan tantangan perubahan iklim yang dihadapi daerah tersebut.
Implementasi Proklim antara lain efisiensi penggunaan air, konservasi tanah dan air, serta peningkatan ketahanan pangan. Selain itu, penanggulangan bencana banjir dan longsor, pola pertanian berkelanjutan, serta perlindungan terhadap penyakit. Bisa juga mengembangkan bank sampah, memanen air hujan, dan ”menghidupkan” kembali mata air yang kering.
”Syarat Proklim ini, masyarakat harus punya aksi nyata untuk mengendalikan perubahan iklim, seperti menurunkan gas efek rumah kaca,” kata Laksmi.
Menurut Laksmi, Proklim bisa dilakukan secara mandiri dengan cara mendaftar pada sistem register nasional. Cara lainnya adalah diusulkan oleh pemerintah daerah tingkat provinsi ataupun kabupaten dan kota.
Upaya meningkatkan jumlah Kampung Iklim di Tanah Air bukan perkara mudah. Masih banyak tantangan, terutama literasi dan edukasi kepada masyarakat. Pemahaman masyarakat terhadap upaya penurunan gas rumah kaca dan konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat tapak masih perlu ditingkatkan.
Selain itu, ada tantangan sumber daya manusia, teknologi, dan sumber pendanaan. Dinamika tantangan di tingkat tapak sangat unik sehingga tidak bisa membuat program yang sifatnya seragam untuk mengatasi kendala tersebut. Pemerintah pusat dan daerah sebagai pemangku kebijakan harus melihat persoalan di setiap lokasi secara detail.
Contohnya, membangun sinergi dengan Kementerian Kesehatan melalui program Desa Sehat Indonesia. Selain itu, bersinergi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui program Desa Tangguh Bencana (Destana). Program di kementerian atau lembaga lain yang sudah ada tersebut diisi dengan menu Proklim.
Laksmi menambahkan, sinergi lain yang ditempuh adalah dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan. Lembaga ini mendapatkan mendat untuk mengelola kegiatan-kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dia berharap BPDLH ada opsi-opsi pendanaan yang menjadi komplemen terhadap APBN dan APBD provinsi ataupun kabupaten dan kota.
Dunia saat ini mengalami kenaikan suhu 1,1 derajat celsius dan akan mencapai lebih dari 2 derajat celsius pada akhir abad jika tidak ada upaya serius untuk mengendalikan perubahan iklim. Padahal, saat kenaikan suhu secara global telah mencapai lebih dari 2 derajat celsius, makhluk hidup, termasuk manusia, akan sulit bertahan hidup.
Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen melakukan upaya pengendalian perubahan iklim sejak tahun 2009. Komitmen tersebut dipertegas Presiden Joko Widodo dengan mencari sumber pembiayaan yang inovatif. Salah satu instrumen yang dikembangkan adalah carbon pricing atau nilai ekonomi karbon.