Harga jual merah Rp 20.000 per kg jauh meningkat dibandingkan tahun 2019, sebelum pandemi Covid-19, yakni Rp 12.000 per kg. Bahkan saat pandemi Covid-19 pernah terjun ke harga Rp 7.000 per kg.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS— Produksi kopi Gayo di Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh, cenderung menurun karena pengaruh perubahan iklim. Pada saat yang sama, harga jual di pasar ekspor perlahan naik.
Seorang petani kopi asal Kabupaten Aceh Tengah, Romadani (34), dihubungi Jumat (31/3/2023), mengatakan, tahun ini kebun kopi milik keluarganya seluas 1 hektar hanya menghasilkan 600 kg buah merah, padahal biasanya sampai 1 ton.
Kopi merah yang baru dipetik itu dijual kepada pengepul dengan harga Rp 20.000 per kilogram. ”Kami langsung menjual merah, tidak kami olah menjadi gabah,” kata Dani.
Dani menambahkan, harga jual merah Rp 20.000 per kg jauh meningkat dibandingkan tahun 2019, sebelum pandemi Covid-19, yakni Rp 12.000 per kg. Bahkan saat pandemi Covid-19, pernah terjun ke harga Rp 7.000 per kg.
”Dengan harga Rp 20.000 sangat menguntungkan bagi petani, tetapi justru saat harga tinggi, panen tidak maksimal,” ujar Dani.
Dani tidak tahu pasti penyebab menurunnya produktivitas. Dia menduga karena kekurangan pupuk atau pengaruh perubahan cuaca.
Petani dari Bener Meriah, Sri Wahyuni, mengatakan, dia menemukan rata-rata mengalami penurunan produksi hingga 40 persen. Menurut Sri, perubahan iklim memengaruhi produktivitas kopi di Gayo. Namun, perlu riset mendalam terkait kenaikan suhu di Gayo yang berdampak pada produksi kopi.
Diserang hama
Sri mengatakan, hama pengebor biji kopi (Hypothenemus hampei) mulai menyerang kebun kopi. Sebagian tanaman kopi kering dan berakhir dengan kematian. Alhasil produksi juga menurun.
Pusat produksi kopi Gayo terdapat di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Luas tanam di dua kabupaten tetangga itu mencapai 99.105 hektar.
Badan Pusat Statistik Aceh juga mencatat terjadi penurunan produksi kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah dalam dua terakhir. Pada tahun 2020, produksi kopi arabika dua kabupaten itu sebanyak 64.429 ton dan robusta sebanyak 1.429 ton. Terjadi penurunan produksi jika dibandingkan tahun 2018, yakni panen arabika 62.005 ton dan robusta sebanyak 1.172 ton.
Dengan harga Rp 20.000 sangat menguntungkan bagi petani, tetapi justru saat harga tinggi panen tidak maksimal. (Romadani)
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Aceh Armia Ahmad mengatakan, sejak setahun setelah pandemi Covid-19, harga kopi Gayo kembali naik. Saat ini harga ekspor kopi specialty Rp 130.000 per kg, padahal saat pandemi pernah jatuh ke harga Rp 60.000 per kg.
Pada saat Covid-19, banyak negara menerapkan penutupan wilayah atau lockdown sehingga para eksportir tidak bisa mengirimkan barang.
Seusai pandemi, kopi Gayo kembali menjadi primadona. Kini persoalannya permintaan pembeli dari luar negeri tidak mampu dipenuhi sepenuhnya. Beberapa eksportir yang telah mengikat kontrak dengan pembeli harus bekerja keras untuk memenuhi kuota yang diminta.
Di saat yang sama, konsumsi kopi Gayo jenis arabika di dalam negeri juga mulai meningkat. Akibatnya, tidak semua kopi arabika specialty dijual ke luar negeri. Kondisi membuat daya tawar harga kopi Gayo ke luar negeri semakin tinggi.