Pada masa konflik bersenjata di Aceh, kawasan Tangse sungguh mencekam. Kontak tembak kerap terjadi, petani tidak berani ke kebun. Tanaman tidak terawat. Namun, sebagian kopi tetap tumbuh dan berbuah.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
KOMPAS/ZULAKRNAINI
Edi Azhari (41), warga Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, pelaku usaha kopi dan petani kopi Tangse.
Kopi dari Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, belum setenar kopi dari Gayo, Aceh Tengah, dan Bener Meriah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir kopi Tangse kian populer. Usaha Edi Azhari (41) dan para petani perlahan berbuah hasil.
Lahir dari keluarga petani, ikut merawat kopi semasa kecil, tetapi baru sekarang Edi menyadari kopi adalah ”emas hitam” yang menjanjikan. Edi menginginkan kopi Tangse harus naik kelas dan bisa bersanding dengan kopi lain di Nusantara.
”Kopi Tangse pernah populer. Karena konflik, (akhirnya) banyak petani tidak sempat merawat kebun. Namun, sekarang kami kembali fokus merawat kopi,” ujar Edi, Kamis (2/2/2023), saat ditemui di kedai kopi miliknya di Tangse.
Tangse adalah sebuah kecamatan di Pidie. Jarak dari dari pusat kota Pidie sekitar 60 kilometer. Dengan ketinggian 600 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut, Tangse memiliki tanah yang subur. Durian dan beras menjadi komoditas primadona di tanah ini. Namun, jangan lupakan keberadaan kopi yang juga pernah menjadi idola petani.
Edi lahir dan besar di Tangse. Ibu dan ayahnya petani. Saat masih SD, dia sering ke kebun menemani ayahnya memetik kopi. Setelah kopi dibersihkan dan dijemur, ibunya bertugas menyangrainya. Saban pagi dia menyaksikan ayahnya menyesap kopi.
Di Tangse terdapat dua jenis kopi: liberika dan robusta. Sebagian ada juga yang menanam arabika, tetapi kualitasnya tidak sebaik arabika Gayo. Oleh karena ketinggian kawasan Tangse lebih cocok untuk kopi liberika dan robusta.
Namun, pada tahun 1990-an kakao naik daun. Harga kakao yang melonjak membuat petani meninggalkan kopi. Batang kopi ditebang, digantikan dengan kakao. Namun, masa jaya kakao tidak berlangsung lama karena diserang hama.
Pada masa konflik bersenjata di Aceh, kawasan Tangse sungguh mencekam. Kontak tembak kerap terjadi, petani tidak berani ke kebun. Tanaman tidak terawat, tetapi sebagian kopi tetap tumbuh dan berbuah.
Kuliah
Di masa konflik Aceh, Edi mendapatkan beasiswa kuliah ke Yogyakarta. Namun, belum sempat menyelesaikan studi, bencana gempa dan tsunami menyeret langkahnya untuk pulang lebih cepat. Dia lalu aktif di beberapa lembaga swadaya masyarakat, memulihkan Aceh pascabencana.
Tsunami disusul perdamaian, 2005. Kondisi keamanan yang kondusif mendorong petani kembali ke kebun. Mereka mulai merawat kembali tanaman yang telantar. Edi kaget menyaksikan tanaman kopi milik orangtuanya masih berbuah. Muncul keinginan untuk merawat kembali kebun keluarga.
”Kopi di sini sangat bandel, tidak dirawat saja tumbuh, apalagi dirawat,” kata Edi.
Tahun 2015 hingga 2017, Edi mulai serius belajar tentang kopi. Dia bolak-balik dari Tangse ke Takengon, Aceh Tengah. Perjalanan itu sering dilakukan Edi untuk mempelajari segala hal terkait kopi, mulai dari budidaya kopi, pengolahan pascapanen, hingga ilmu barista.
Merasa sudah cukup mumpuni soal ilmu tentang kopi, Edi bersama dua teman patungan membuka kedai kopi di pusat kota Tangse. Di kedai yang diberi nama H2E Kopi itu, mereka menjual ragam kopi, seperti liberika, robusta, dan arabika.
Edi menginginkan kedai itu bukan hanya sebagai tempat berjualan, melainkan juga menjadi ruang bersama belajar kopi. Edi dengan tekun menjelaskan tentang kopi Tangse kepada tamu yang datang. Sejarah kopi Tangse dari hulu ke hilir telah dikuasai.
Sebuah mesin sangrai (roasting) dia letakkan di dekat dapur racik agar pengunjung juga bisa melihat proses pengolahan kopi. ”Mesin ini hibah dari Pemerintah Kabupaten Pidie, pemerintah mendukung usaha kami memajukan kopi Tangse,” ujar Edi.
Sore itu suasana kedainya tidak begitu ramai. Beberapa anak muda sedang menyeruput kopi sambil bermain gawai. Dari kedai kopi itu pegunungan yang hijau dan hamparan padi yang menguning meneduhkan mata.
Semua kopi di kedainya adalah hasil produksi petani Tangse. Edi menampung biji kopi mentah atau green bean dari petani di sana. Edi memiliki petani binaan dan membeli lebih mahal dari harga pasaran. Robusta Rp 35.000 per kilogram dan liberika Rp 33.000 per kilogram.
DOK EDI AZHARI
Edi Azhari (41), warga Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, pelaku usaha kopi dan petani kopi Tangse.
Uniknya, kedai H2E Kopi tidak menyajikan kopi saring, tetapi pakai mesin espreso. Padahal, biasanya di Aceh, kopi robusta dan liberika disajikan dengan cara disaring. Adapun kopi arabika jamak disajikan dengan mesin espreso.
Edi justru melawan kebiasaan itu. Dia ingin memperlakukan kopi dengan adil. Bahwa setiap kopi punya aroma dan rasa yang berbeda itu sesuatu yang alamiah.
”Kami juga menjual kopi original, saat pengolahan tidak dicampur dengan jagung dan gula,” kata Edi.
Sebelum kehadiran kedai H2E, kopi Tangse dijual ke luar daerah kepada usaha kecil menengah pengolahan kopi. Setelah menjadi bubuk, dijual dengan nama merek lain tanpa ada embel-embel Tangse sedikit pun. Ibaratnya, ayam punya telur, sapi punya nama, sebagaimana dalam kasus telur mata sapi.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Bubuk kopi Tangse yang sudah dikemas dalam paket khusus dengan merek Kopi Tangse H2E.
Oleh karena itu, Edi juga memproduksi bubuk kopi. Pada kemasan tertulis ”Kopi Tangse” premium, ini bagian dari usaha Edi memopulerkan kopi Tangse. Penjualan juga dilakukan melalui toko dalam jaringan. ”Kami harus mem-branding kopi Tangse agar terkenal,” ujarnya.
Usaha keras Edi mulai membuahkan hasil. Belakangan, kopi Tangse mulai dihadirkan dalam pameran kopi tingkat provinsi dan nasional. Selain itu, beberapa kali Edi jadi dewan juri lomba kopi.
Edi membuka jaringan ke pasar nasional dan internasional. Tahun lalu dia mengirimkan contoh kopi liberika ke Malaysia. Pembeli di sana meminta persediaan 10 ton per tiga bulan, tetapi Edi tidak menyanggupi.
”Kalau stoknya barangkali ada, tetapi kualitas belum sanggup saya jamin,” ucap Edi.
Luas lahan kopi di Tangse sekitar 1.500 hektar, tetapi tingkat produktivitas rendah. Meski demikian, petani antusias untuk memperluas lahan tanam. Edi berharap banyak pihak yang mau terlibat mengembangkan kopi Tangse agar suatu saat dapat bersanding dengan kopi-kopi lain yang sudah duluan terkenal.