Kisah Sedulur Sikep Melawan Perusakan Lingkungan
Dari generasi ke generasi, komunitas Sedulur Sikep memilih menjadi petani agar bisa hidup selaras dengan alam. Namun, saat lingkungan di sekitar ruang hidup mereka dirusak, para pengikut ajaran Samin itu bangkit melawan.

Anak muda Sedulur Sikep menampilkan kesenian gejog lesung untuk memeriahkan acara budaya dan peringatan 116 tahun penangkapan Samin Surosentiko di Desa Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Rabu (15/3/2023). Samin Surosentiko merupakan tokoh perlawanan pada era kolonial Belanda yang melahirkan ajaran Samin atau Saminisme. Para pengikut ajaran Samin itu dikenal dengan nama Sedulur Sikep.
Yen kong sia, yen kong sia kekayon ing pagungungan rinusakan kongsi gundul kabeh//
Eling-eling bebayane/ erosi kang akibate/ mahanani banjir sak kiwa tengene//
Eee...mula becik ditanduri/ eee...kang tetela murakabi/ bener tur diatur, tinata rintik-rintik/
eee...kang asile weh raharjaning nagari//
Tembang berjudul ”Penghijauan” dari Ki Narto Sabdo itu dinyanyikan secara akapela oleh belasan anak di Desa Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Rabu (15/3/2023). Lagu itu bercerita soal ancaman erosi dan banjir jika manusia melakukan penggundulan hutan di pegunungan. Di dalam lagu itu juga disebutkan pentingnya penanaman vegetasi secara teratur agar bisa menghasilkan kesejahteraan.
Meski tak diiringi instrumen, lagu itu mampu membuat orang-orang yang hadir terkesima. Suasana yang mulanya ramai mendadak hening dan syahdu ketika tembang itu dilantunkan dalam pembukaan acara timbanggunem untuk memperingati 116 tahun penangkapan Samin Surosentiko.
Samin Surosentiko merupakan pelopor ajaran Samin atau Saminisme. Lelaki dengan nama asli Raden Kohar itu lahir dari keluarga priyayi pada 1859 di Desa Kediren. Namun, dia kemudian memilih meninggalkan kehidupan priyayi dan menjadi petani. Sosok Samin dikenal karena menggelorakan perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan cara menolak membayar pajak.
Pada 1907, Samin dan beberapa pengikutnya ditangkap pemerintah kolonial lalu dibuang dan dijadikan buruh tenaga kerja paksa di Sawahlunto, Sumatera Barat. Meski Samin telah meninggal pada 1914, ajaran-ajarannya tetap dilestarikan para pengikutnya yang dikenal dengan nama Sedulur Sikep. Salah satu ajaran Samin yang terus dipegang oleh pengikutnya adalah hidup selaras dengan alam.
Baca Juga: Ajaran Komunitas Samin Masih Relevan hingga Kini

Salah seorang tokoh Sedulur Sikep, Gunretno (berdiri), menjadi moderator dalam diskusi budaya untuk memperingati 116 tahun penangkapan Samin Surosentiko di Desa Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Rabu (15/3/2023).
Salah seorang tokoh Sedulur Sikep, Gunretno, menuturkan, timbanggunem diikuti para Sedulur Sikep dari berbagai wilayah untuk bertukar kabar sekaligus merembuk masalah yang sedang mereka hadapi beserta alternatif solusinya. Dalam acara itu, hadir ratusan Sedulur Sikep dari beberapa wilayah di Jateng, yakni Pati, Kudus, Blora, dan Rembang, serta Bojonegoro, Jawa Timur.
Salah satu isu yang dibahas dalam timbanggunem pada pertengahan Maret lalu adalah masalah pangan. Isu itu dinilai relevan karena dunia sedang menghadapi ancaman krisis pangan. Isu itu juga sangat relevan dengan kondisi para Sedulur Sikep yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
”Kegigihan menanam dan merawat yang menjadi pilihan hidup Sedulur Sikep itu tetap terus dilakoni. Ini juga sekaligus mengingatkan pemerintah yang sembrono karena menggunakan lahan produktif sebagai kawasan industri yang mengancam keberlangsungan ketahanan pangan,” ujar Gunretno.
Terdampak
Sebagai petani, Sedulur Sikep ikut merasakan dampak kerusakan lingkungan di sekitar mereka. Kondisi itulah yang dialami Widyaningrum (20), keturunan Sedulur Sikep asal Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Dia menyebut, kerusakan alam yang terjadi di Pegunungan Kendeng, Jateng, telah memicu banjir yang menyebabkan petani seperti dirinya gagal panen.
”Pegunungan Kendeng sekarang banyak ditanami jagung. Akar jagung itu kan tidak kuat, jadi tidak bisa menahan air. Akibatnya, tanah dari pegunungan mudah terbawa air hujan, masuk ke sungai. Sungai yang sudah penuh dengan tanah membuat air meluap kemudian merendam lahan pertanian,” kata Widyaningrum.
Pada November 2022, Widyaningrum menanam padi di sawah milik keluarganya. Seharusnya, padi itu sudah bisa dipanen pada Maret 2023. Namun, sawah itu terendam banjir yang tak kunjung surut sejak awal tahun ini. Akibatnya, lahan pertanian itu mengalami puso sehingga Widyaningrum harus menanggung kerugian belasan juta rupiah.
Baca Juga: Sikap Luhur Sedulur Sikep

Lahan pertanian jagung mendominasi area Pegunungan Kendeng di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (16/3/2023).
Anggit Pratiwi (17), keturunan Sedulur Sikep asal Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan, Kudus, juga prihatin dengan banjir yang melanda wilayahnya. Di Karangrowo, banjir yang merendam lahan pertanian maupun permukiman masyarakat tak pernah surut sejak awal tahun. Akibatnya, aktivitas masyarakat terganggu.
Anggit berharap masyarakat dan pemerintah memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan untuk mencegah bencana. Dia menambahkan, untuk mengatasi kerusakan di Pegunungan Kendeng, perlu ada penanaman tanaman keras yang mampu menahan air. Selain itu, dia menilai, kegiatan penambangan di Kendeng juga harus dihentikan.
Baca Juga: Salam ”Seger” Waras dari Wong Samin
Sehari-hari, Anggit juga berupaya menjaga lingkungan dengan menerapkan prinsip antisampah, terutama sampah yang tak bisa terurai atau bersifat merusak. Untuk membungkus makanan, misalnya, dia tidak menggunakan plastik, tetapi memakai dedaunan. Anggit juga menghindari membeli minuman kemasan. Minum air langsung dari kendi menjadi pilihannya.
”Menjaga lingkungan itu penting karena kita hidup di atas bumi, minum dan makan dari bumi. Bumi itu sumber kehidupan. Bumi menghidupi kita, jadi kita harus menghidupi bumi,” tuturnya.

Lahan persawahan berubah menjadi area rawa-rawa akibat banjir di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (16/3/2023).
Di sisi lain, Anggit tak mau diam begitu saja melihat perusakan lingkungan di sekitarnya. Sebagai penganut ajaran Samin, dia berupaya melawan. Tidak dengan kekerasan, Anggit melawan dengan lembut melalui nyanyian, seperti yang dilakukannya bersama Sedulur Sikep lainnya dalam acara timbanggunem di Blora.
Sementara itu, Widyaningrum mengombinasikan perlawanan melalui nyanyian dan media sosial. Widyaningrum rajin menyuarakan pesan-pesan terkait pentingnya menjaga alam secara santun melalui media sosialnya.
”Kalau Mbah Samin di masa lampau berjuang melawan penjajahan, generasi kami berjuang melawan perusakan lingkungan. Dulu lawannya Belanda, kalau sekarang lawannya orang kita sendiri,” ujar Widyaningrum.
Sesungguhnya jantung ajaran Samin adalah kebaikan.
Konsisten
Pastor Keuskupan Agung Semarang, Romo Aloysius Budi Purnomo, mengatakan, para Sedulur Sikep memang konsisten melawan perusakan lingkungan. Beberapa tahun terakhir, misalnya, Sedulur Sikep kukuh menolak penambangan karst dan pendirian pabrik semen di sekitar Pegunungan Kendeng karena aktivitas itu dikhawatirkan memperparah kerusakan lingkungan.
Untuk menyuarakan protes itu, sebagian Sedulur Sikep bahkan memilih menyakiti diri dengan menyemen kaki di depan Istana Merdeka, Jakarta. Menyakiti diri sendiri merupakan wujud dari puncak kemarahan Sedulur Sikep karena mereka dilarang keras menyakiti orang lain.

Komunitas Sedulur Sikep dan warga mengikuti tradisi Lamporan di Desa Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Rabu (15/3/2023). Lamporan merupakan tradisi tolak bala dengan membawa obor dan mengucapkan mantra kuno untuk menyambut musim tanam.
Budi mengatakan, perlawanan itu merupakan bentuk dari penghayatan ajaran Samin yang menyebut manusia harus menjaga bumi. ”Saya menemukan fakta bahwa Sedulur Sikep di Pati, Blora, Rembang, dan Kudus punya sikap sama. Mereka bergerak bersama menjaga kawasan Kendeng Utara tetap lestari,” ucap pengajar di Program Doktor Ilmu Lingkungan di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, itu.
Sejarawan JJ Rizal menyebut, perlawanan Sedulur Sikep saat ini merupakan sambungan dari perlawanan leluhur mereka di masa lalu. Dia menyebut, para Sedulur Sikep sebenarnya hanya ingin hidup tenang sebagai petani. Namun, pada masa kolonial, kehidupan mereka tiba-tiba diusik oleh penjajah yang memungut pajak.
”Ketidakadilan, eksploitasi, dan penindasan itu terjadi lagi hari ini. Mereka punya masalah yang harus dihadapi terkait aktivitas pabrik semen yang berimplikasi pada masyarakat petani,” ujar Rizal.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, semangat perlawanan Samin terhadap ketidakadilan harus terus dirawat dan dihidupkan.
”Sesungguhnya jantung ajaran Samin adalah kebaikan. Ketika berhadapan dengan penguasa zalim, misalnya, tentu ajaran kebaikan ini bisa mengeras sehingga kemudian terlihat sebagai perlawanan. Namun, ajarannya sendiri tetap mengenai kebaikan,” tutur Hilmar dalam acara timbanggunem di Blora.