Diversifikasi Pangan di NTT Terbentur Sejumlah Tantangan
Diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras di NTT menemui berbagai tantangan, seperti kebiasaan, persepsi yang keliru, serta minimnya dukungan regulasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Ketergantungan pada beras memaksa masyarakat di Nusa Tenggara Timur membeli beras dengan harga mahal seperti yang terjadi saat ini. Diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan itu pun menemui berbagai tantangan, seperti kebiasaan, persepsi yang keliru, serta minimnya dukungan regulasi.
Harga beras medium di NTT merangkak naik selama dua bulan terakhir. Hingga Kamis (22/3/2023), di wilayah perkotaan, seperti Kota Kupang, harga beras medium mencapai Rp 14.000 per kilogram (kg), sementara di wilayah perdesaan menembus Rp 17.000 per kg. Bahkan, di daerah kepulauan, harga beras menyentuh Rp 25.000 per kg.
Kendati demikian, masyarakat tetap berusaha membelinya. ”Kita orangtua bisa makan ubi atau pisang, tetapi anak-anak tidak mau makan. Makanya, kami beli beras buat anak-anak saja,” tutur Yati (55), buruh serabutan di Kupang.
Yati menuturkan, sejak harga beras naik, dalam satu hari ia hanya membeli 1 kilogram beras untuk makan lima anaknya. Pembagian makan pagi, siang, dan malam ia atur sehemat mungkin agar cukup. Idealnya, 1 kilogram beras hanya cukup untuk makan lima orang satu kali.
Keluarga Yati merupakan bagian dari 1,15 juta jiwa penduduk NTT yang hidup di bawah garis kemiskinan menurut hasil survei Badan Pusat Statistik periode September 2022. Persentase penduduk miskin di NTT sebanyak 20,23 persen dari total penduduk. Garis kemiskinan di NTT dipatok Rp 490.909 per kapita per bulan.
Zadrak Mengge dari Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) memaparkan, NTT kaya jenis pangan selain beras. Berdasarkan pemetaan di empat pulau, yakni Lembata, Rote, Sabu, dan sebagian Timor, didapatkan setidaknya 36 jenis pangan lokal. Ini belum termasuk Pulau Sumba, Flores, Kepulauan Alor, dan sejumlah pulau kecil lainnya.
Jenis pangan selain beras itu adalah jagung, pisang, umbi-umbian, sorgum, dan kacang. Setiap jenis memiliki turunan yang sudah dibudidayakan turun-temurun. ”Sebelum beras masuk secara masif di zaman Orde Baru, masyarakat di NTT sudah punya pangan sendiri. Seiring waktu, beras menciptakan ketergantungan,” ujarnya.
Menurut dia, butuh upaya bersama untuk lepas dari ketergantungan tersebut. Kebiasaan mengonsumsi beras menjadi faktor yang paling sulit ditinggalkan. Mereka yang beralih dari beras pun karena faktor penyakit, bukan karena kesadaran. Penderita penyakit tingginya gula dalam darah biasanya menghindari beras.
Faktor lainnya adalah persepsi. Banyak orang menganggap beras adalah makanan kelas satu. ”Kalau ke kampung-kampung, masyarakat malu menghidangkan ubi atau pisang untuk tamu. Mereka akan berusaha membeli beras. Mereka menganggap makanan lokal mereka adalah makanan kelas dua,” ucap Zadrak.
Selain itu, faktor berikutnya adalah minimnya keberpihakan pemerintah kepada pengembangan pangan lokal. Pemerintah selama ini hanya fokus pada padi, jagung, dan kedelai. Fokus kebijakan itu otomatis berimplikasi pada pengolahan lahan hingga pasar yang tidak berpihak kepada pangan selain padi, jagung, dan kedelai.
Pernah kami bikin ubi yang dipotong segi empat lalu ditusuk seperti sate. Anak-anak senang sekali.
Ete Umbu Tara, yang juga dari Pikul, menambahkan, upaya membangkitkan kembali kejayaan pangan lokal bukan mustahil dilakukan. Pikul pernah menggelar festival pangan lokal di pedalaman Pulau Timor. Kini, masyarakat desa menggelar sendiri festival tersebut setiap tahun. Festival yang melibatkan generasi muda itu mengubah kebiasaan dan persepsi terhadap pangan lokal.
Menurut Ete, kunci utama mengajak generasi muda mencintai pangan lokal adalah pada pengolahan. ”Variasi bentuk dan rasa itu penting. Pernah kami bikin ubi yang dipotong segi empat lalu ditusuk seperti sate. Anak-anak senang sekali,” ucapnya.
Senada dengan itu, anggota DPR asal NTT, Andreas Hugo Pareira, mendorong agar diversifikasi pangan menjadi solusi di tengah terbatasnya produksi beras. Menurut data Badan Pusat Statistik, angka produksi beras di NTT pada 2022 sebesar 442.842 ton, sedangkan tingkat konsumsinya mendekati 1 juta ton per tahun.
”Pemerintah daerah perlu mendorong masyarakat untuk melakukan diversifikasi pangan. Bahwa mengonsumsi kebutuhan karbohidrat tidak selalu harus beras, kita juga bisa mengonsumsi jagung, pisang, singkong, umbi-umbian. Tidak benar kalau dikatakan belum makan nasi artinya belum makan,” kata Andreas.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Lecky F Koli menegaskan, pemerintah selalu meminta masyarakat melakukan diversifikasi pangan. Mengangkat kembali pangan lokal akan membuat ketahanan pangan di NTT semakin kuat.
Menurut dia, keberadaan infrastruktur pendukung pertanian yang dibangun pemerintah, seperti bendungan dan alat-alat pertanian, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan lokal.