Beras Murah Tak Menjangkau Masyarakat Perdesaan di NTT
Masyarakat desa yang paling menderita dengan kenaikan harga beras yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga di kota belum menikmati operasi pasar beras.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
FRANSISKUS PATI HERIN
Suasana operasi pasar beras murah di halaman Kelurahan Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (20/3/2023).
KUPANG, KOMPAS — Operasi pasar beras murah yang digelar Perum Bulog Wilayah Nusa Tenggara Timur telah memasuki hari kedelapan pada Senin (20/3/2022). Lebih kurang 16 ton beras terjual. Namun, kegiatan itu belum menjangkau wilayah perdesaan yang justru paling terdampak kenaikan harga beras.
Operasi pasar pada Senin berlangsung di kantor Kelurahan Oebobo, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang. Sejak pagi, warga menyerbu tempat tersebut. Mereka berebutan mendapatkan kupon belanja beras. Setiap orang hanya boleh mendapatkan satu kupon.
Setiap kupon dijatah 5 kilogram beras dengan harga Rp 9.000 per kg. Harga itu jauh di bawah harga beras medium di pasaran Kota Kupang, yakni sekitar Rp 13.000 per kg. ”Operasi pasar sangat membantu kami ekonomi lemah,” kata Kristin (45), buruh serabutan.
Menurut Kristin, dengan membeli 5 kg beras di pasar murah, ia bisa menghemat hingga Rp 20.000. Uang itu bisa digunakan untuk belanja kebutuhan sayur dan lauk seperti tempe untuk dikonsumsi keluarga selama dua hari. Ia pun berharap masih bisa berbelanja lagi di pasar murah.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Warga mencelupkan jari ke tinta sebagai bukti telah berbelanja dalam operasi pasar yang digelar Perum Bulog di Kota Kupang, NTT, Senin (13/3/2023).
Namun, Perum Bulog memberlakukan satu kali belanja bagi setiap orang. Setiap kali belanja, mereka wajib mencelupkan ujung jari pada tinta sebagai penandanya. Alasan pihak Bulog adalah demi pemerataan. Kuota beras yang tersedia terbatas sehingga pembeliannya pun dibatasi.
Tak hanya masyarakat biasa, tampak juga beberapa pegawai berseragam, diduga honorer atau aparatur sipil negara, yang ikut berbelanja di pasar murah. Mereka membeli beras dan juga kebutuhan lain, seperti minyak goreng, gula pasir, dan telur ayam.
”Kami ini pegawai dengan golongan rendah. Jangan mengira kesejahteraan kami terjamin. Apalagi, sekarang pemerintah daerah melakukan penghematan, banyak pemotongan,” ujar seorang pegawai ASN salah satu kantor di Kota Kupang.
Sekitar 182 kilometer arah utara Kota Kupang, tepatnya di Kampung Noemuti, Kabupaten Timor Tengah Utara, masyarakat mengeluh akan harga beras yang mencapai Rp 16.000 per kg. Harga yang naik sejak dua bulan belakangan ini belum direspons pemerintah dan Perum Bulog.
”Mana ada operasi pasar di sini. Beras murah, subsidi minyak goreng, dan banyak bantuan selama ini hanya ada di kota. Semua untuk orang kota saja. Padahal, kami di desa ini yang mengalami kenaikan harga lebih tinggi,” kata Kasimirus Bano (45), warga Kampung Noemuti.
Ia berharap Perum Bulog juga menggelar operasi pasar di daerah mereka. Sebagai kompensasi, mereka rela jika harus membayar sedikit lebih mahal dibandingkan harga yang dijual Bulog di Kota Kupang saat ini. Bano mengusulkan Rp 10.000 per kg.
Justru masyarakat perdesaan yang lebih menderita dengan harga beras yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga di perkotaan.
Kondisi yang dialami warga Noemuti itu tidak berbeda jauh dengan warga perdesaan lainnya di NTT. Hal ini bahkan juga dirasakan warga yang tinggal di sentra produksi beras, seperti di Kabupaten Manggarai di Pulau Flores dan Kabupaten Malaka di Pulau Timor.
Manajer Bisnis Perum Bulog Kantor Wilayah NTT Melky Lakapu mengatakan, pihaknya masih fokus melakukan operasi pasar di Kota Kupang. Suplai beras ke pasar murah pun dibatasi, yakni 2 ton per hari. Artinya, dalam sehari pasokan hanya cukup untuk 400 pembeli. Menurut dia, operasi pasar di setiap kabupaten menjadi tanggung jawab Bulog setempat.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Di bawah terik matahari, warga mengantre untuk mendapatkan kupon pembelian beras murah dalam operasi pasar yang digelar Perum Bulog di Kota Kupang, NTT, Senin (13/3/2023).
Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Tuti Lawalu, mendorong Perum Bulog NTT untuk memimpin operasi pasar dengan menggerakkan Bulog di seluruh kabupaten/kota. Dengan begitu, masyarakat di desa dan di kota dapat terbantu.
Menurut Tuti, justru masyarakat perdesaan yang lebih menderita dengan harga beras yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga di perkotaan. ”Dan memang selama ini masyarakat perkotaan mendapatkan banyak bantuan dan kemudahan. Ini yang harus jadi pertimbangan,” ujarnya.
Jika berkaca pada data Badan Pusat Statistik, masyarakat ekonomi lemah lebih banyak berada di wilayah perdesaan. Pada September 2022, kemiskinan di NTT naik 0,18 persen dibandingkan Maret 2022. Sebanyak 20,23 persen penduduk di NTT hidup di bawah garis kemiskinan.
Dari jumlah tersebut, penduduk miskin di perkotaan sebanyak 131.360 jiwa atau 9,0 persen, sedangkan penduduk miskin di perdesaan sebanyak 1.004.830 jiwa atau 24,11 persen. Adapun garis kemiskinan di NTT sebesar Rp 490.909 per kapita per bulan.