Alih Fungsi Lahan Pertanian Mengancam Ketahanan Pangan Bangsa
Laju alih fungsi lahan pertanian di Indonesia tercatat tinggi. Kondisi ini rawan mengancam ketahanan pangan bangsa.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Seorang petani menggarap lahan sawah di Kecamatan Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Selasa (7/12/2021). Sebagai provinsi penghasil beras, Sumsel masih dilanda data lahan baku sawah yang timpang.
PALEMBANG, KOMPAS — Ketahanan pangan bangsa rawan terancam oleh tingginya potensi alih fungsi lahan di seluruh Indonesia yang mencapai 100.000 hektar per tahun. Butuh regulasi yang tepat untuk meminimalkan dampak buruknya untuk generasi yang akan datang.
Hal itu terungkap dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Bidang Ketahanan Pangan se-Sumatera di Palembang, Senin (20/3/2023). Hadir pada pertemuan itu Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian Jan S Maringka bersama 350 perwakilan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum dari sejumlah kawasan di Pulau Sumatera.
”Jika tidak dilakukan sekarang, 5-10 tahun ke depan, penerus kita akan merasakan dampaknya,” ujar Jan.
Salah satu yang terdampak adalah ruang untuk pemenuhan pangan warga. Banyak lahan pertanian kini berubah fungsi menjadi permukiman dan kawasan industri.
Pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera, misalnya, yang sebagian kawasannya menggunakan lahan pertanian. Jika lahan pertanian di sepanjang jalan tol tidak dilindungi, dikhawatirkan sawah akan berubah fungsi menjadi SPBU, perumahan, dan restoran.
Foto udara Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar Km 33 di Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Sabtu (15/10/2022). Kehadiran Jalan Tol Trans-Sumatera mulai Lampung hingga ke Palembang dan beberapa wilayah lainnya semakin menyingkat perjalanan. Lampung ke Palembang yang sebelumnya butuh waktu 12 jam perjalanan kini dengan Jalan Tol Trans-Sumatera bisa dipersingkat menjadi 3,5-4 jam.
Oleh karena itu, perlu ada regulasi setingkat peraturan daerah yang dibuat untuk mencegah adanya alih fungsi lahan pertanian. Sampai saat ini, baru beberapa daerah yang sudah menerbitkan perda terkait lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
”Tahun ini kami terus melakukan sosialisasi agar penerbitan perda tentang LP2B bisa diterapkan secara serentak tidak hanya per daerah saja,” ungkap Jan.
Dalam aturan itu, jika suatu kawasan pertanian yang sudah dilindungi dengan perda LP2B, tidak boleh dialihfungsikan menjadi kawasan non-pertanian. Harapannya dalam penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) juga harus memperhatikan posisi kawasan pertanian. Kalaupun mendesak, perlu ada lahan pengganti.
Jan berharap, langkah ini didukung aparat penegak hukum. Petugas bisa mengingatkan pemda untuk tidak mengubah fungsi kawasan yang sudah ditetapkan dalam LP2B. Tujuannya agar kelak tidak memicu masalah hukum.
”Lahan pertanian juga tidak terus tergerus,” ungkap Jan.
RHAMA PURNA JATI
Beberapa petani memantau hamparan sawah yang sudah panen di Desa Sri Karang Rejo, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (10/4/2021). Walau hasil panen melimpah, harga gabah tetap terjungkal bahkan menjadi yang terendah sejak tiga tahun terakhir.
Gubernur Sumsel Herman Deru menuturkan, perlindungan kawasan pertanian sangat penting. Saat ini, Sumsel adalah salah satu lumbung pangan nasional. Produksi gabah kering giling mencapai 3,9 juta ton atau setara 2,7 juta ton beras.
”Selain menekan alih fungsi lahan, ekstensifikasi lahan juga akan kami terapkan untuk mendorong produksi gabah. Salah satunya memanfaatkan lahan rawa yang tidak produktif,” katanya.
Sejauh ini, kata Herman, ada tiga daerah yang rentan mengalami alih fungsi, Palembang dan dua daerah penyangganya, Banyuasin dan Ogan Ilir. Lahan pertanian di ketiga daerah itu rawan tergusur pertambahan penduduk, kebutuhan permukiman, dan industri.
Ke depan, ia berharap, semua daerah itu segera membuat Perda LP2B untuk mencegah alih fungsi lahan kian masif di tiga wilayah itu. Aturan itu nantinya dapat disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sudah ada.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Seorang petani tengah memanen padi di kawasan dekat lokasi pembangunan perkantoran Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan di Jalan Mayjen Yusuf Singadekane, Palembang. Kantor pemerintahan provinsi, termasuk kantor Gubernur Sumsel, akan dipindahkan dari Jalan A Rivai, Palembang, Selasa (13/10/2020). Pembangunan dilakukan dengan menggusur lahan pertanian seluas 40 hektar. Pembangunan ini akan rampung pada 2023.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Bambang Pramono mengatakan, kini tercatat 470.602 hektar lahan baku sawah. Namun, baru 369.343 hektar yang sudah berstatus LP2B. Sebanyak 101.259 hektar masih dalam proses pengajuan.
Sejauh ini, Sumsel menjadi daerah terbanyak dengan total luas sawah dan sawah yang berstatus LP2B. Dari 17 kabupaten/kota, sudah sembilan daerah yang telah membuat perda LP2B. Sebanyak empat daerah masih dalam proses, sedangkan empat lainnya tengah didorong melakukan hal serupa.
Menurut Bambang, sejumlah tantangan dalam pelaksanaan LP2B. Dia mencontohkan, belum jelasnya status lahan lantaran belum terdata dengan optimal. Selain itu, ada perubahan RTRW yang sangat cepat, terutama di perkotaan yang tingkat pembangunannya sangat masif.
Di Kota Palembang, misalnya, tercatat sekitar 5.400 hektar sawah di tahun 2019 tetapi berkurang menjadi lebih kurang 3.500 hektar setahun kemudian. Sejauh ini, sawah berstatus LP2B baru mencakup 1.500 hektar.