Produktivitas Lahan Pertanian di Sumsel Masih Rendah
Produktivitas lahan sawah di Sumatera Selatan masih rendah bahkan di bawah Lampung. Kondisi lahan yang kurang memadai dan belum menunjangnya penerapan tekonologi pertanian menjadi penyebab utama.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS—Produktivitas lahan sawah di Sumatera Selatan masih rendah. Bahkan jauh di bawah provinsi tetangga yakni Lampung. Kondisi lahan yang kurang memadai dan belum menunjangnya penerapan teknologi pertanian menjadi penyebab utama.
Permasalahan ini mengemuka dalam Pembukaan Rapat Kerja Daerah Pembangunan Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Selasa (23/2/2021) di Palembang. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanain, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Bambang Pramono, Selasa memaparkan pada tahun 2020, Sumatera Selatan berada di posisi ke lima sebagai provinsi penghasil gabah terbesar di Indonesia dengan produksi total mencapai 2.696.953 ton gabah kering giling (GKG).
Angka ini masih di bawah Jawa Timur sebesar 9.989.291 ton GKG, Jawa Tengah 9.655.654 ton GKG, Jawa Barat 9.051.103 ton GKG, dan Sulawesi Selatan 4.671.983 ton GKG. Walau didapuk sebagai daerah lumbung pangan nasional, produktivitas lahan pertanian Sumsel masih sangat rendah yakni sekitar 5,7 ton GKG per hektar.
Angka itu masih di bawah produktivitas Lampung yang mencapai 7,2 ton GKG per hektar dan Sumatera Utara yang mencapai 6,5 ton GKG per hektar. Padahal kedua provinsi ini berada di posisi keenam dan ketujuh daerah penghasil gabah nasional.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab produktivitas sawah di Sumsel masih rendah yakni belum optimalnya intensitas pertanaman di Sumsel. Dari 470.602 hektar lahan sawah di Sumsel hanya 10 persen yang melakukan musim tanam kedua (musim tanam gadu) periode April- Juli.
“Sebagian besar petani di Sumsel masih melakukan penanaman satu kali setahun yakni pada musim tanam utama pada periode Oktober-Maret,” ucap Bambang.
Petani enggan menanam pada musim tanam kedua karena pada masa itu sebagian besar lahan pertanian di Sumsel yang berjenis lahan rawa lebak dan pasang surut, tidak bisa ditanami lantaran tergenang air. Padahal, ujar Bambang, jika lahan tersebut dikelola dengan baik utamanya terkait sistem pengairan maka lahan itu bisa dimanfaatkan untuk dua atau bahkan tiga kali penanaman.
Sebagian besar petani di Sumsel masih melakukan penanaman satu kali setahun yakni pada musim tanam utama pada periode Oktober-Maret
“Itu dibuktikan di sejumlah titik lahan sawah di Ogan Komering Ilir dan Banyuasin yang yang petaninya bisa menanam hingga dua atau bahkan tiga kali per tahun dengan produktivitas lahan mencapai 8 ton-10 ton per sekali panen,” ucapnya.
Ketimpangan data
Masalah lain yakni pendataan lahan baku sawah yang masih belum optimal. Akibatnya, penyaluran kuota pupuk bersubsidi dari pemerintah pusat ke petani masih timpang.
Situasi ini terjadi pada pada tahun 2019, ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat luas lahan baku sawah di Sumsel hanya 470.602 hektar. Angka ini berbeda dengan data Survei Pertanian tahun 2017 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan luas lahan baku sawah di Sumsel mencapai 621.903 hektar.
Setelah tim gabungan yang terdiri dari pemerintah daerah, BPN dan BPS melakukan verifikasi lahan sawah, ujar Bambang didapati bahwa luas lahan baku sawah di Sumsel sebesar 539.814 hektar.
Menurutnya, data luas lahan baku memiliki relevansi yang erat dengan peningkatan produksi padi. Itu karena penentuan kuota pupuk bersubsidi mengacu pada luas lahan pertanian di suatu daerah. Jika pupuk bersubsidi langka maka produktivitas lahan juga akan turun.
Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumsel, Zain Ismed berpendapat, peningkatan produktivitas lahan pertanian di Sumsel sangat bergantung pada ketersediaan bahan penunjang pertanian seperti pupuk, bibit padi, dan pestisida yang berkualitas dan bisa dijangkau petani. “Selama ini petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Itu karena jumlah pupuk tidak pernah sebanding dengan luas lahan yang tersedia,” ungkapnya.
Belum lagi, sulitnya memperoleh bibit yang berkualitas karena penentuan bibit tidak disesuaikan dengan kondisi lahan pertanian. “Setiap lahan pertanian memiliki karakteristik yang berbeda. Karena itu pemberian bibit tidak bisa digeneralisasi,” ucap Zain.
Permasalahan lain adalah infrastruktur dari daerah sentra produksi menuju ke pabrik pengolahan atau pasar kurang memadai. Banyak petani yang tinggal di daerah perairan masih kesulitan untuk menyalurkan hasil komoditasnya. “Mereka harus menyewa kapal yang tentu membutuhkan biaya angkut yang tidak sedikit,” jelas Zain.
Terakhir adalah tentang budaya tanam . Ada perbedaan budaya tanam antara petani di Lampung dan Sumsel. Petani Sumsel sudah terbiasa dengan sistem penanaman satu kali tanam per tahun karena kondisi lingkungan yang tidak memadai untuk melakukan lebih dari itu. Berbeda dengan petani di Lampung yang telah terbiasa memanfaatkan lahan lebih dari satu kali tanam per tahun.
Belum lagi ekosistem pertanian di Lampung yang sudah lebih terpadu di mana selain menaman padi, petaninya juga berternak sapi. Kemudian kotoran sapi tersebut diolah menjadi pupuk kandang. Hal ini tentu akan mengurangi ongkos produksi yang berpengaruh pada pendapatan petani.
Kehilangan hasil
Menanggapi permasalah tersebut, Gubenur Sumatera Selatan Herman Deru berkomitmen untuk membenahi sistem pengelolaan lahan pertanian di Sumsel. Mulai dari pembenahan data luas lahan baku sawah sehingga kuota pupuk bersubsidi bisa mendekati kebutuhan petani.
Selain itu, ujar Heman, pemerintah akan menambah tenaga penyuluh pertanian di Sumsel agar setiap desa setidaknya memiliki satu penyuluh pertanian. Penambahan ini sudah dimulai sejak tahun 2020 dengan mengangkat 1.000 penyuluh pertanian. “Tahun ini, ada 400 tenaga penyuluh lagi yang akan direkrut,” ujarnya.
Mereka bertugas untuk mendampingi petani dalam mengelola sawah dengan memanfaatkan teknologi pertanian. Tujuannya agar tidak ada lagi hasil padi yang terbuang.
Selama ini, tingkat kehilangan hasil (losses) padi di Sumsel masih sekitar 11 persen. Dengan pemanfaatan teknologi dan disokong infrastruktur pertanian, Herman berharap tingkat losses padi bisa turun menjadi lima persen.
Dengan demikian produktivitas lahan pertanian bisa meningkat. Target produksi padi pun meningkat dari yang semula sekitar 2,7 juta ton GKG di tahun 2020 menjadi 3,1 juta ton GKG di tahun 2021.