Polresta Banyumas Ringkus Enam Mucikari Prostitusi Daring di Purwokerto
Enam tersangka prostitusi daring diringkus Polresta Banyumas. Mereka memakai aplikasi Michat untuk menggaet lelaki hidung belang.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Kepolisian menangkap enam mucikari yang terlibat dalam kasus prostitusi daring di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Para pelaku yang memanfaatkan aplikasi Michat untuk menjalankan usaha prostitusi itu dijerat dengan tindak pidana perdagangan orang.
”Enam pelaku diduga melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan cara booking order (BO) melalui aplikasi Michat,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Banyumas Komisaris Agus Supriadi dalam keterangan tertulis, Selasa (14/3/2023).
Para pelaku itu berinisial MA (22), RH (26), FA (19), I (23), LW (23), dan FA (24). MA (22) dan RH (26) merupakan warga Bekasi, Jawa Barat. Adapun pelaku lain merupakan warga Banyumas.
Enam pelaku tersebut menggunakan sebuah hotel yang berada di Jalan Merdeka, Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas, sebagai tempat untuk menjalankan kegiatan prostitusi.
Agus menjelaskan, pada Sabtu (11/3/2023) sekitar pukul 16.00, pihaknya mendapat informasi bahwa hotel tersebut sering dijadikan tempat prostitusi. Tim kepolisian kemudian memantau dan melakukan penyelidikan di hotel itu.
Sekitar pukul 23.00, petugas mengecek kamar 369 di lantai tiga hotel itu dan menemukan pelaku bersama perempuan yang dimanfaatkan untuk prostitusi. ”Setelah interogasi awal terhadap pelaku, kemudian berkembang ke pelaku lainnya yang ada di kamar lain,” ujar Agus.
Enam pelaku diduga melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan cara booking order (BO) melalui aplikasi Michat.
Agus menyebutkan, para pelaku membuat akun Michat dengan nama perempuan, lalu menawarkan prostitusi. Setelah ada orang yang akan memesan melalui akun Michat, mereka membuat kesepakatan harga. Sang pemesan lalu diminta datang ke kamar hotel yang telah disediakan pelaku.
”Harga yang ditawarkan kepada calon tamu bervariasi, mulai dari Rp 300.000 sampai dengan Rp 1.000.000. Setelah terjadi kesepakatan, tamu diarahkan menuju ke kamar yang sudah disiapkan. Pelaku menerima upah jasa operator antara Rp 50.000-Rp 100.000 per tamu,” paparnya.
Dari penangkapan tersebut, petugas menyita barang bukti berupa enam telepon seluler berbagai merek, alat kontrasepsi jenis kondom, kunci akses kamar hotel, dan uang tunai Rp 4 juta. Dalam kasus ini, para perempuan yang dimanfaatkan untuk prostitusi berstatus sebagai saksi, sedangkan para pelaku ditahan untuk proses hukum lebih lanjut.
”Dari pemeriksaan, kami sudah menetapkan enam tersangka mucikari. Sementara yang lima orang perempuan sebagai saksi korban. Kasus ini bentuk tindak pidana perdagangan manusia,” tutur Agus.
Atas perbuatan tersebut, para pelaku dijerat dengan pasal dugaan tindak pidana perdagangan orang atau kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Badan Pimpinan Cabang Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Banyumas Irianto menyampaikan, hotel yang digunakan untuk tempat prostitusi itu belum masuk dalam keanggotaan PHRI Banyumas.
”Masih banyak hotel di Banyumas yang belum masuk PHRI, termasuk yang di Jalan Merdeka itu. Total anggota saat ini ada 158 hotel,” kata Irianto.
Irianto menyatakan, PHRI Banyumas rutin memberikan pembinaan dan sosialisasi kepada pengelola hotel untuk mencegah terjadinya prostitusi di hotel. Namun, untuk penggunaan aplikasi Michat itu, pihak hotel memang tidak bisa mendeteksi secara langsung.
”Beberapa kali, kepada anggota PHRI sudah dilakukan sosialisasi terkait prostitusi dan narkoba. Dalam pembinaan, terutama security (petugas keamanan), front office (resepsionis), dan lain-lain diberi pemahaman untuk mendeteksi adanya gelagat-gelagat apa yang dilakukan pengunjung hotel,” paparnya.
Ia menambahkan, jika ada hotel anggota PHRI yang melanggar hukum, PHRI akan menyerahkan kasus itu kepada kepolisian untuk ditindaklanjuti. ”Apabila memang ada indikasi seperti itu, memang harus diproses secara hukum,” ujarnya.