Perempuan-perempuan Perkasa di Beringharjo
Pasar Beringharjo, Yogyakarta, menyimpan cerita para perempuan perkasa yang bekerja sebagai buruh gendong. Mereka melakoni pekerjaan fisik yang menguras tenaga hingga usia senja demi menopang perekonomian keluarga.
Pasar Beringharjo di Kota Yogyakarta menyimpan cerita ihwal para perempuan perkasa yang bekerja sebagai buruh gendong. Meski harus melakoni pekerjaan fisik yang menguras tenaga hingga usia senja, mereka tetap bertahan demi menopang perekonomian keluarga.
Tengah malam baru saja lewat. Suasana di sekitar Pasar Beringharjo terasa sangat sunyi. Hanya terang lampu jalan dan dingin angin malam yang masih setia terjaga. Di emperen ruko seberang pasar, belasan perempuan berbaring tertidur.
Mereka terlelap beralaskan matras tipis atau bekas karung beras. Sejumlah kaus yang dimasukkan ke dalam tas jinjing menjadi bantal untuk menopang kepala. Embusan angin malam hanya dilawan dengan selimut dan payung-payung yang ditata membentengi badan.
Sekitar pukul 01.00, satu per satu perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh gendong itu mulai terbangun. Tak lama kemudian, mereka mulai bekerja menggendong sayuran yang baru saja datang ke pasar dengan diangkut mobil bak terbuka dari luar kota. Salah seorang buruh gendong yang telah terjaga dini hari itu adalah Pariyem (67).
Dengan mata terkantuk, Pariyem bergerak bolak-balik naik turun tangga pasar sambil menggendong sayuran. Sekali angkut, beban sayuran yang digendongnya bisa mencapai 30-50 kilogram (kg).
Sayur-sayur itu dimasukkan ke keranjang rotan, lalu diikat dengan selendang di punggung. Sambil berjalan pelan, sesekali ia mengusap keringat yang mengalir di dahinya yang keriput.
Baca juga: Buruh Gendong, Wajah Sahaja di Tengah ”Cendol” Beringharjo
“Ya, sehari-harinya memang tidur di emperan toko seperti ini. Dibilang dingin, memang dingin. Tetapi, bagaimana lagi? Ini biar tetap bisa pulang bawa uang,” kata Pariyem saat ditemui, Selasa (7/3/2023) dini hari.
Perempuan asal Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu merasa tidak punya pilihan. Pendapatannya sebagai buruh gendong sangat terbatas, terutama setelah pandemi Covid-19. Dalam sehari, dia hanya bisa meraup Rp 35.000 hingga Rp 50.000. Padahal, ongkos pulang pergi dari rumahnya ke Pasar Beringharjo mencapai Rp 20.000 per hari.
Sebelumnya, Pariyem sempat indekos di dekat Pasar Beringharjo. Namun, itu hanya bertahan beberapa waktu saja. Menurut Pariyem, indekos tidak praktis. Sebab, ia harus mulai mengangkut sayur-sayuran milik pedagang sekitar pukul 01.30 setiap harinya. Waktunya bisa habis untuk perjalanan jika ia memilih indekos.
“Lebih baik menginap di pasar saja. Bisa langsung angkat-angkat. Tinggal bangun, cuci muka, ganti baju, lalu siap bekerja. Tidur juga nyaman-nyaman saja kok. Wong badannya sudah capek. Hahaha,” tutur Pariyem yang telah menjadi buruh gendong sejak berusia 18 tahun.
Menurut Pariyem, sehari-hari, suaminya bekerja sebagai petani bawang merah. Namun, penghasilan dari bertani itu tak langsung bisa didapat setiap hari. Itulah kenapa, dia memilih bekerja sebagai buruh gendong. “Untuk sehari-hari, saya harus jadi buruh gendong supaya kebutuhannya terpenuhi,” ujar Pariyem.
Lebih baik menginap di pasar saja. Bisa langsung angkat-angkat. Tinggal bangun, cuci muka, ganti baju, lalu siap bekerja (Pariyem)
Kontrakan
Lain lagi kisah Sutinem (48), buruh gendong yang juga berasal Kulon Progo. Perempuan yang akrab disapa Merit itu mengontrak rumah di dekat pasar bersama dua buruh gendong lain. Ongkos kontrakan itu sekitar Rp 1,8 juta per tahun.
Oleh karena itu, Merit hanya perlu membayar Rp 600.000 per tahun. Pilihan itu lebih irit dibanding pulang pergi tiap hari ke rumahnya di Kulon Progo dengan ongkos sekitar Rp 600.000 per bulan.
Jarak kontrakan Merit dan Pasar Beringharjo kurang dari 1 km. Biasanya, ia pergi ke pasar dengan berjalan kaki dengan waktu 10 menit. Lokasi kontrakan sederhana itu berada di permukiman padat wilayah bantaran Sungai Code.
Luas kontrakan Merit sekitar 3 meter x 6 meter. Kamar kontrakan langsung penuh diisi tiga dipan untuk Merit dan dua temannya. Hanya tersisa ruang selebar badan orang dewasa guna lalu lalang penghuni. Kamar itu tak memiliki langit-langit. Genting-gentingnya sudah berjarak. Maka, jika hujan deras, air menetes ke dalam kamarnya.
Baca juga: Bantuan Pembaca ”Kompas” Menjangkau Ratusan Buruh Gendong di DIY
“Jujur saja, sering terpikir bagaimana anak-anak di rumah. Tetapi, kalau melaju dari Kulon Progo tiap hari, rasanya capek sekali,” kata Merit yang pulang kampung setidaknya seminggu sekali.
Merit bekerja sebagai buruh gendong sejak 15 tahun terakhir. Pekerjaan itu ikut menopang perekonomian keluarganya karena sang suami hanya bekerja serabutan. Di sisi lain, Merit sebenarnya punya pilihan pekerjaan lain, yakni menjadi perajin tas anyaman di kampung.
Namun, dia enggan melakoni pekerjaan itu karena tak bisa langsung mendapat uang. Setelah tas anyamannya selesai, dia mesti menunggu beberapa waktu sebelum mendapat bayaran. Sementara itu, sebagai buruh gendong, dia bisa langsung mendapat uang setelah selesai menggendong.
“Ingin juga suatu saat berhenti buat buka usaha sendiri. Tetapi, kok rasanya dari dulu bekerja sampai sekarang, uangnya seperti tidak pernah terkumpul,” tutur Merit sambil tertawa.
Tak terpisahkan
Buruh gendong merupakan bagian tak terpisahkan dari Pasar Beringharjo. Eksistensi mereka juga punya sejarah panjang. Konon, keberadaan buruh gendong berawal dari sekelompok orang yang mengabdi kepada para priyayi untuk mengantar barang-barang kebutuhan dapur dan belanjaan lain ke Keraton Yogyakarta.
Kini, jumlah buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo sekitar 210 orang. Mereka tergabung dalam Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun Pasar Beringharjo. Usia para buruh gendong itu bervariasi, mulai dari 30 tahun hingga lebih dari 70 tahun. Oleh karena itu, sebagian dari mereka adalah perempuan lanjut usia.
Kebanyakan buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo berasal dari Kulon Progo. Umumnya, mereka terjun ke profesi itu setelah mendapat informasi lewat getok tular dari tetangganya. Selain menginap di pasar atau indekos, sebagian buruh gendong itu juga ada yang melaju dari Kulon Progo setiap hari.
Ketua II Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun Pasar Beringharjo, Isah Ponirah (49), menuturkan, para buruh gendong di pasar itu sudah memiliki area kerja masing-masing. Pembagian area kerja itu dilakukan berdasar jenis dagangan, yaitu pakaian, daging, sayuran dan palawija, serta kerajinan.
Jam kerja para buruh gendong itu juga berbeda-beda. Sebagian di antaranya memulai aktivitas pada dini hari, tetapi ada juga mulai bekerja pada pagi hingga sore hari. Rata-rata pengguna jasa mereka adalah pedagang dan pembeli di pasar.
Menurut Isah, untuk sekali angkut dengan beban sekitar 30-50 kg, buruh gendong di Pasar Beringharjo rata-rata menerima bayaran Rp 5.000. Namun, jika ada pelanggan yang baik hati, mereka juga bisa mendapat bayaran lebih.
Pedagang sayuran di Pasar Beringharjo, Tari (30), mengaku sangat terbantu dengan keberadaan buruh gendong yang menginap di lingkungan pasar. Sebab, ia harus datang pagi-pagi buta untuk menggelar lapaknya. Para buruh gendong itulah yang biasanya membantunya membongkar muatan.
“Saya kan sering bawa anak ke pasar dan malah simbah-simbah buruh gendong itu sering bantu momong. Mereka kan baik-baik juga, jadi anak saya bisa nempel. Sudah seperti simbah sendiri,” kata Tari.
Kepala Bidang Pasar Rakyat Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta Gunawan Nugroho Utomo menilai, buruh gendong merupakan entitas yang tak terpisahkan dari pasar tradisional. Keberadaan mereka juga menjadi bagian dari sejarah panjang Pasar Beringharjo yang merupakan pasar tertua di DIY.
“Buruh gendong itu merupakan bagian dari entitas pasar rakyat. Keberadaan mereka juga tidak lepas dari sejarah Pasar Beringharjo. Meskipun ini adalah sebuah bentuk jasa, keberadaan buruh gendong itu juga heritage menurut saya,” tutur Gunawan.