Polisi Terdakwa Kekerasan terhadap Anak Tiri di Cirebon Divonis 1 Tahun 10 Bulan
Majelis hakim Pengadilan Negeri Sumber Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, memvonis penjara 1 tahun 10 bulan terhadap Brigadir Satu Chumaedi Saefudin, terdakwa kasus kekerasan fisik dan seksual terhadap anak tirinya.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Sumber Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, memvonis penjara 1 tahun 10 bulan terhadap Brigadir Satu Chumaedi Saefudin, terdakwa kasus kekerasan fisik dan seksual terhadap anak tirinya. Putusan itu jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan 15 tahun penjara dari jaksa. Majelis hakim menilai terdakwa tidak terbukti melakukan kekerasan seksual, tetapi terbukti dalam dakwaan kekerasan fisik.
Ketua Majelis Hakim PN Sumber Kabupaten Cirebon Soni Nugraha bersama dua hakim anggota lainnya, Harry Ginanjar dan Ranum Fatimah Florida, membacakan putusan itu di Ruang Sidang Cakra, Kamis (9/3/2023). Sejumlah aparat kepolisian mengamankan jalannya sidang yang turut dihadiri keluarga terdakwa dan korban.
”Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. Dan, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 1 tahun 10 bulan,” ujar Soni. Vonis pidana itu juga akan dikurangi masa tahanan yang telah dijalani terdakwa.
Vonis hakim tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum, yakni 15 tahun penjara. Jaksa menilai terdakwa melanggar Pasal 81 Ayat 3 juncto Pasal 76 D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terkait Perlindungan Anak dan Pasal 5 UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Sebelumnya, kasus itu terungkap setelah ibu korban melaporkan kekerasan fisik oleh suaminya pada 25 Agustus 2022. Pada 5 September, ibu korban resmi membuat laporan terkait dugaan kekerasan seksual oleh Chumaedi terhadap anaknya. Pada 8 September, terdakwa ditahan. Persidangan berjalan sejak November lalu.
Dalam pembacaan putusannya, hakim menilai dakwaan jaksa penuntut umum terkait kekerasan seksual sesuai Pasal 81 Ayat 3 jo Pasal 76 D tidak terbukti. Hakim tidak menemukan bukti kuat adanya empat kali pencabulan oleh terdakwa terhadap korban yang berusia 11 tahun. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 18, 19, 20, dan waktu lainnya pada Agustus 2022.
Berdasarkan fakta persidangan, termasuk memeriksa setidaknya sembilan saksi dan tiga saksi ahli, majelis hakim menyimpulkan, tidak ada pencabulan pada tanggal 18, 19, dan 20 Agustus. Sebab, menurut saksi yang merupakan atasan dan rekan terdakwa di kepolisian, Chumaedi saat itu sedang bertugas dan tidak bersama korban.
Majelis hakim pun menilai kejadian keempat, yang hari dan waktunya tidak diketahui korban, tidak pernah ada. Korban juga tidak bisa menjelaskan secara detail kejadian tersebut. Menurut hakim anggota Harry Ginanjar, keterangan korban soal kekerasan seksual pun tidak konsisten berdasarkan keterangan saksi ahli psikolog.
Menurut Ginanjar, hasil visum dari Rumah Sakit Paru Sidawangi pada 8 September lalu menunjukkan adanya robekan selaput dara alat vital korban karena benda tumpul. Namun, penyebabnya bisa karena kekerasan seksual, bawaan dari lahir, atau jatuh. ”Hakim menilai, visum tidak mempunyai keterkaitan bukti persetubuhan,” ujarnya.
Sebaliknya, hakim meyakini adanya kekerasan fisik terdakwa terhadap korban. Dari hasil visum di RS Sumber Hurip, terdapat luka lecet merah kehitaman pada bagian batang hidung korban sepanjang 0,4 sentimeter. Ada juga sejumlah luka lecet kemerahan pada bibir atas bagian dalam dan bibir atas bagian bawah ukuran 0,2 cm.
Majelis hakim tidak menemukan hal-hal penghapusan tindak pidana (kekerasan fisik), maka terdakwa harus dinyatakan bersalah.
”Majelis hakim tidak menemukan hal-hal penghapusan tindak pidana (kekerasan fisik), maka terdakwa harus dinyatakan bersalah. Terdakwa harus diberi hukuman,” katanya. Menurut majelis hakim, hal yang memberatkan adalah terdakwa merupakan ayah sambung korban. Seharusnya, lanjutnya, terdakwa melindungi korban.
Hal yang memberatkan lainnya, terdakwa merupakan anggota Kepolisian Resor Cirebon Kota. Seharusnya, menurut hakim, terdakwa menjaga nama baik institusi yang mengayomi warga. Adapun hal meringankan putusan hakim adalah terdakwa belum pernah dihukum dan memiliki tanggungan keluarga.
Penasihat hukum terdakwa, Abdi Mujiono, mengapresiasi putusan hakim yang jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum. ”Harapan kami bahwa pencabulan dan persetubuhan tidak terbukti berdasarkan fakta persidangan. Namun, dalam pembelaan, kami meminta (terdakwa) bebas. Makanya, kami masih pikir-pikir atas putusan itu,” ujarnya.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon Ivan Yoko Wibowo menghormati putusan majelis hakim atas perkara tersebut. Menurut dia, jaksa penuntut umum telah berupaya membuktikan kasus kekerasan seksual terdakwa terhadap korban dengan menghadirkan saksi-saksi dan visum. ”Jadi, upaya kami sudah maksimal,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, dua visum menyebutkan ada luka di alat vital korban karena trauma benda tumpul. Menurut Ivan, keterangan korban juga merupakan salah satu bukti kasus kekerasan seksual.
Pihaknya pun akan mengajukan banding. ”Apakah nanti ada dasar hukum yang lain, kami akan lihat di memori banding,” katanya.
Hetta Mahendrati, penasihat hukum korban, menyayangkan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan keterangan korban. Padahal, lanjutnya, korban mengalami trauma akibat kekerasan fisik dan seksual oleh terdakwa. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga telah menyetujui pendampingan traumatis korban.
Pihaknya juga sudah mengajukan saksi ahli psikolog meski ditolak majelis hakim. Ia berharap jaksa penuntut umum dapat mengajukan banding atas putusan hakim tersebut. ”Kami mohon kepada Pengadilan Tinggi (Bandung) bisa memberikan rasa keadilan bagi korban,” ucap Hetta.