Hadir sejumlah sosok yang menggerakkan usaha kecil menengah untuk mempertahankan pangan lokal Papua di Kota, Jayapura. Tujuannya membangun semangat berwirausaha dengan memanfaatkan sumber daya alam dari kampung halaman.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·7 menit baca
Kota Jayapura diterjang aneka komoditas pangan dan kuliner dari luar Papua yang masif selama satu dekade terakhir. Hal ini berdampak pada masyarakat setempat yang mulai menjauh dari kuliner lokal di kampung halamannya. Kondisi ini memantik sejumlah sosok pemuda-pemudi asli Papua untuk kembali menggugah selera masyarakat atas masakan setempat sekaligus melestarikan komoditas lokal melalui usaha mikro, kecil, dan menengah.
”Selamat datang di Isasai. Silakan belok kanan menuju ke arah restoran,” kata Orius Kogoya saat menyambut tamu di pintu masuk Restoran Isasai yang terletak di daerah Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura. Pemuda asal Kabupaten Lanny Jaya yang biasa disapa Ois bekerja sebagai resepsionis di Restoran Isasai yang dimiliki Ulin Epa dan suaminya, Fredi Bartholomeus.
Cuaca di Isasai sangat sejuk karena embusan angin tak henti dari Danau Sentani. Isasai sesuai dengan nama sebuah kali yang terletak di samping kanan restoran tersebut. Restoran ini terdiri dari rumah panggung yang berdiri di pinggiran Danau Sentani.
Restoran Isasai sangat luas dan berkapasitas 500 orang ini. Restoran yang dikelola wirausaha asli Papua ini mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor dan berada daerah di Waena yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Jayapura.
Saat tiba di meja makan, datanglah pelayan yang mengenakan kemeja rapi dengan corak khas Papua dengan membawa daftar menu makanan. Semua makanan yang disajikan merupakan kuliner lokal dari Sentani, Kabupaten Jayapura, kampung halaman Ulin, sang pemilik restoran.
Terdapat sekitar 12 kuliner lokal yang dapat dinikmati warga setempat maupun pengunjung dari luar Papua. Kuliner lokal itu antara lain papeda panas atau dalam bahasa Sentani disebut fi naunge, papeda bungkus atau finukhu, dadar sagu atau dikenal dengan nama sinole, ikan gabus kuah kuning, ikan gabus kuah hitam, ubi ungu, keladi tumbuk, dan sayur genemo lilin santan.
Berbagai menu itu disiapkan dalam bentuk prasmanan dan ada juga yang baru dimasak seperti ikan kuah kuning serta sinole atau dadar sagu dengan campuran gula merah. Semua bahan untuk pembuatan kuliner di Isasai langsung dibeli dari mama-mama Papua yang berjualan di Pasar Phara Sentani.
Siang itu, dua karyawan Isasai, yakni Mey Felle dan Zapira Alwolmabin, menyiapkan makanan dadar sagu yang dipesan salah seorang pengunjung di dapur. Pembuatan dadar sagu atau sinole hanya memakan waktu sekitar lima menit. Mei bertugas menyiapkan adonan sagu dan Zapira menyiapkan gula merah untuk dicampurkan ke dalam adonan sagu sebelum dibakar di atas api kompor.
”Sa (saya) sudah bekerja di Isasai sejak tahun lalu. Kitorang (kami) senang dapat bekerja di sini untuk mendapatkan pemasukan dan juga mengenalkan makanan khas dari Jayapura kepada masyarakat,” kata Mey, Jumat (3/3/2023).
Sambil menikmati makanan khas Jayapura, para pengunjung tidak hanya melihat panorama Danau Senani. Terdapat juga seni lukisan kulit kayu dari UMKM Reymay Art. Hasil karya ini dihasilkan oleh para seniman asal Kampung Asei, Kabupaten Jayapura, yang tergabung dalam Reymay Art.
Selain itu, ada lukisan tentang gambar hewan-hewan endemik di Danau Sentani, seperti ikan gabus, belut berbintik, dan belut sirip pendek. Isasai juga memiliki tiga lokasi konservasi ikan endemik di danau yang dalam bahasa Sentani disebut Bhukere. Fasilitas ini berupa pagar terdiri dari deretan kayu jenis suang dipasang secara melingkar untuk menangkap ikan gabus.
”Isasai adalah restoran yang hanya menyajikan kuliner khas Jayapura dan tempat konservasi ikan gabus. Kami ingin mempertahankan tradisi mengonsumsi kuliner lokal yang dikemas secara menarik dan disajikan di sebuah restoran. Terdapat 14 pekerja di Isasai yang mayoritas para pemuda setempat,” kata Ulin.
Wanita berusia 36 tahun tersebut menuturkan, Isasai menjadi tempat usaha miliknya yang kedua bersama suami dengan menu andalan kuliner lokal khas Papua. Sebelumnya, Ulin bersama sang suami, Fredi, telah membuka sebuah kafe bernama Sundshine pada tahun 2017 yang menyajikan aneka olahan sagu, seperti papeda, dadar sagu, dan ikan kuah kuning.
Berkaca dari respons yang positif dari pelanggan, saya dan Fredi pun memutuskan membuka restoran Isasai agar masyarakat dalam jumlah yang lebih banyak dapat menikmati kuliner khas kampung kami.
Ide untuk melahirkan Kafe Sunsdshine lima tahun lalu tebersit karena kuliner lokal yang semakin sulit ditemukan setelah kehadiran berbagai kuliner dari luar Papua yang begitu masif. Kondisi tersebut juga disebabkan belum adanya ide untuk menampilkan kuliner di rumah makan dari pelaku usaha setempat yang merupakan warga asli Jayapura.
Saat ini omzet penjualan di Isasai sekitar Rp 60 juta per bulan dengan kunjungan paling ramai oleh pada hari kerja. Sementara omzet penjualan di Kafe Sundshine dapat mencapai maksimal Rp 30 juta per bulan.
”Sundshine menjadi salah satu pelopor rumah makan yang dimilik pengusaha asli Papua yang mengenalkan kuliner dari Jayapura. Banyak masyarakat Kota Jayapura maupun dari luar Papua yang menggemari kuliner lokal yang disajikan di Sundshine. Berkaca dari respons yang positif dari pelanggan, saya dan Fredi pun memutuskan membuka restoran Isasai agar masyarakat dalam jumlah yang lebih banyak dapat menikmati kuliner khas kampung kami,” kata Ulin.
Ia berharap, banyak pelaku usaha setempat turut melahirkan ide rumah makan dengan kuliner lokal seperti yang telah disajikan di Kafe Sundshine dan Restoran Isasai di kota-kota lainnya di wilayah Papua.
”Janganlah ragu untuk menampilkan kuliner lokal Papua ke publik karena banyak diminati masyarakat. Hanya dengan cara inilah, kita bisa mempertahankan tradisi kuliner lokal dari tanah Papua,” ujar Ulin.
Kopi Papua Pegunungan
Selain Ulin, terdapat juga sosok Yafet Wetipo yang melahirkan usaha kafe dan sangrai kopi Papua sejak tahun 2018 lalu di daerah Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura. Tempat usaha Yafet yang dikenal dengan nama Highland Roastery Coffe Papua hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Restoran Isasai.
Yafet bersama salah seorang karyawannya sedang menyangrai 2 kilogram biji kopi arabika dari daerah Papua Pegunungan dengan panas 197 derajat celsius saat ditemui di tempat kerjanya, Sabtu (4/3/2023). Dengan telaten, Yafet membina karyawannya ketika menggunakan mesin sangrai yang dapat menampung hingga 6 kilogram biji kopi.
Tempat usaha Yafet memperkerjakan lima karyawan yang mengelola sangrai biji kopi dan kafe. Tempat ini tidak hanya menjalankan usaha sangrai biji kopi, tetapi juga menjual biji kopi yang belum disangrai dan telah disangrai kepada pelangannya di 17 kedai kopi dan tiga tempat usaha sangrai kopi yang tersebar di Kota Jayapura, Kabupaten Manokwari, dan Kota Sorong.
Highland Roastery Coffe Papua dapat menjual produk kopi yang telah disangrai dan yang belum disangrai hingga 300 kilogram per minggu, sedangkan omzet penjualan rata-rata Rp 25 juta per bulan. Sumber pemasok biji kopi bagi Yafet dari sekitar 100 petani yang tersebar di empat kabupaten dari Provinsi Papua Pegunungan, yakni Jayawijaya, Yahukimo, Lanny Jaya, dan Pegunungan Bintang.
Yafet membeli biji kopi arabika dari petani di wilayah Jayawijaya, Lanny Jaya, dan Yahukimo seharga Rp 120.000 per kilogram. Ia mendapatkan biji kopi arabika dari daerah Pegunungan Bintang dengan kisaran Rp 125.000 hingga Rp 130.000 per kilogram.
”Saya menjadi salah seorang wirausahawan asli Papua yang pertama kali merintis usaha sangrai kopi dengan menggunakan modal sendiri di Kota Jayapura pada tahun 2018. Melalui usaha ini, saya ingin menghilangkan stigma bahwa orang Papua tidak bisa menjadi seorang pengusaha dengan memanfaatkan kopi arabika dari tanah Papua yang kualitasnya diakui banyak orang,” tutur Yafet.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Jayapura Robert Awi mengapresiasi upaya dari UMKM yang dikelola anak asli Papua demi terus melestarikan pangan lokal di tengah tantangan persaingan bisnis yang semakin ketat.
Ia mengaku sangat senang karena berkat UMKM seperti Isasai, telah melahirkan lagi kuliner-kuliner lokal khas Jayapura, seperti dadar sagu dan papeda ikan kuah kuning yang sebelumnya tidak mudah ditemukan di tengah masyarakat.
Robert memaparkan, industri rumah tangga di bidang kuliner dan olahan pangan lokal di Kota Jayapura telah mencapai 2.100 pelaku UMKM hingga tahun 2023. Jumlah ini mencapai hampir 30 persen dari total 7.800 UMKM di Kota Jayapura.
”Setiap tahun kami terus mendata jumlah UMKM dan menyiapkan program pendampingan, pelatihan, hingga pemberian bantuan bagi pelaku UMKM yang telah berjasa bagi pertumbuhan ekonomi di Kota Jayapura. Kami juga bersinergi dengan Dinas Pariwisata untuk mempromosikan setiap produk UMKM di setiap hotel di Kota Jayapura dan Bandara Sentani,” kata Robert.
Sudah saatnya memang, kekayaan daerah berupa kuliner lokal kembali dibumikan dengan racikan dari bahan pangan lokal lewat tangan warga setempat. Tak sekadar melestarikan masakan tradisional, tetapi juga melestarikan budaya lokal berikut memutar ekonomi rakyat setempat.