Muryanto: Partai Politik Gagal Bertransformasi di Era Digital
Pidato pengukuhan Muryanto Amin menjadi Guru Besar di USU mengupas gagalnya parpol bertransformasi di era digital. Tidak hanya gagal memanfaatkan ”digital space” atau kecerdasan buatan, tetapi jauh dari ”digital value”.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pidato pengukuhan Muryanto Amin menjadi Guru Besar di Universitas Sumatera Utara mengupas gagalnya partai politik bertransformasi di era digital. Parpol tidak hanya gagal memanfaatkan digital space, kecerdasan buatan, data raksasa, atau komputasi awan. Partai juga jauh dari digital value, yakni transparansi, interaktif, adaptif, dan responsif.
”Partai politik masih mempertahankan cara-cara lama hanya untuk kepentingan elektoral, seperti strukturisasi, popularitas, keputusan sentralistis, dan oligarkis,” kata Muryanto yang merupakan Rektor Universitas Sumatera Utara itu saat menyampaikan pidato pengukuhannya, di Kampus USU, Medan, Senin (6/3/2023).
Muryanto dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Politik dengan pidato berjudul ”Politik Digital: Transformasi Partai Politik Menjadi Organisasi Partai di Era Digital untuk Penguatan Demokrasi”.
Muryanto menjelaskan, digital space (ruang digital) kini menjadi konsep ruang publik baru. Melalui digital space, ruang publik bisa didapat dan dikelola kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Jika pada ruang publik sebelumnya sumber kekuasaan berasal dari tuan tanah, penguasa ruang digital adalah tuan data.
”Menguasai data berarti menguasai urusan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang bahkan melebihi kekuatan negara,” kata Muryanto.
Ketika parpol tidak cepat merespons perubahan manual menjadi digital, Muryanto menyebutkan, akan tercipta sebuah ironi. Ironi ini menggambarkan situasi yang menuntut parpol menghasilkan pemimpin dan perwakilan politik untuk merespons perubahan yang cepat dan mendadak. Akan tetapi, parpol justru mempertahankan cara analog yang sudah sangat usang.
”Model partai politik yang hierarkis, tersentralisasi, serta pengambilan keputusan yang oligarkis sering menambah masalah di masyarakat,” katanya.
Muryanto menyebutkan, transformasi partai politik pada era digital tidak semata untuk kerja-kerja elektoral partai, tetapi juga dalam perumusan kebijakan pemerintah yang memerlukan interaksi dengan partai politik.
Partai politik masih mempertahankan cara-cara lama hanya untuk kepentingan elektoral seperti strukturisasi, popularitas, keputusan sentralistis, dan oligarkis
Ia mencontohkan, perumusan rencana pembangunan nasional ataupun daerah. Meskipun parpol memiliki infrastruktur kelembagaan sampai tingkat ranting, yakni desa/kelurahan, sulit menemukan pengurus atau kader partai paling bawah memiliki usulan. Di ruang digital, hal ini seharusnya sangat mudah dilakukan.
Muryanto menekankan, penggunaan ruang digital untuk perumusan kebijakan atau pengambilan keputusan sangat penting karena bersifat dinamis dan real time, serta sangat berbeda jika dilakukan dengan manual.
Transformasi parpol pada era digital, kata Muryanto, memerlukan prakondisi, yakni sumber daya manusia berkualitas, integrasi dengan ilmu pengetahuan, kolaborasi dengan masyarakat dan tokoh lokal, serta lembaga yang agile (bergerak cepat).
Untuk bertransformasi, kesenjangan generasi di internal partai politik harus jadi perhatian serius. Elite partai politik yang menjadi pengurus inti saat ini berasal dari generasi baby boomer (kelahiran 1946-1967) dan generasi X (1968-1980). Mereka menghadapi kompleksitas masalah yang berbeda dari masa lalu dan harus membuat keputusan sesuai keinginan pemilih generasi milenial (1981-1994) dan generasi Z (1995-2010) yang kini mendominasi dunia digital.
Parpol menghadapi kesenjangan tentang harapan dan cara kerja yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh, generasi milenial dan generasi Z menyampaikan aspirasi selalu menggunakan platform media sosial ketimbang cara-cara manual. ”Kelompok generasi ini pula yang kesulitan mendapatkan tempat sebagai aktor di partai politik, tetapi mendapat porsi sangat besar di perusahaan start-up (rintisan),” kata Muryanto.
Muryanto menggarisbawahi, transformasi ke era digital bukan hanya soal efisiensi. Tujuan yang lebih utuh, yakni meningkatkan inovasi, produktivitas, dan daya saing mengelola peluang di dunia global. Melalui digital space seperti analisis big data, kecerdasan buatan (AI), dan lainnya, parpol dapat membuat desain program tidak hanya untuk kebutuhan elektoral, tetapi memperkuat jejaring komunikasi internal partai politik, mengelola kompetisi antarparpol, dan menciptakan tata kelola parpol yang sistemik.
Pengukuhan itu dihadiri Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, Wakil Gubernur Sumut Musa Rajeksah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Pejabat Gubernur Sulawesi Barat yang juga Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, dan Wali Kota Medan Bobby A Nasution.
Setelah acara pengukuhan, Ganjar mengatakan, transformasi parpol di era digital sebagaimana disampaikan Muryanto perlu diterapkan oleh partai politik agar semakin modern. Transformasi itu juga membuat komunikasi dan penyerapan aspirasi lebih baik. Ganjar menyebutkan, ia datang sebagai sahabat Muryanto yang merupakan Rektor USU itu.