Menggagas Partai Digital
Partai ditantang memproyeksikan diri menjadi lebih modern di era digital politik saat ini. Kebutuhan untuk menjadi partai digital menjadi penting seiring laju e-demokrasi, e-politik makin kencang melanda dunia saat ini.
Jadwal pendaftaran partai politik sebagai peserta Pemilu Legislatif dan Pilres 2024 telah berlangsung pada 1-13 Agustus 2022. Beberapa parpol melakukan selebrasi elektoral dengan berpawai untuk mendaftarkan diri ke kantor KPU RI. Selebrasi elektoral ini untuk menunjukkan kesiapan mereka sebagai peserta Pemilu 2024.
Sesuai regulasi pemilu, parpol harus mengunggah dokumen persyaratan administratif ke dalam aplikasi Sistem Informasi Parpol (Sipol). Semua dokumen profil administrasi parpol dinyatakan memenuhi syarat jika ada kesesuaian antara data digital dan data fisik parpol. Parpol yang belum memenuhi persyaratan administrasi diberi waktu untuk melengkapi data mereka hingga lengkap sesuai sinkronisasi fakta digital dan administrasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Partai digital
Dalam konteks penerapan aplikasi Sipol sebagai instrumen bantu untuk pendataan parpol peserta Pemilu 2024, sejatinya Sipol dapat dijadikan acuan pembenahan tata kelola organisasi parpol menuju model partai digital (digital party). Secara fleksibel, partai digital merujuk kepada konstruksi organisasi partai yang mengorientasikan diri kepada model pertautan antara organisasi dan massa berbasis media digital.
Baca juga: Partai Modern atau Partai Gagal
Partai digital mendasarkan diri kepada poros kekuatan internet sebagai instrumen tata kelola organisasi yang praksisnya untuk menyebarkan pesan-pesan politik, sosialisasi politik, rekrutmen, membangun elektabilitas untuk kompetsisi elektoral, pencitraan, memperluas dan memperkuat mobilisasi massa, serta merespons dan mengolah tuntutan publik menjadi energi kompetisi elektoral (Gerbaudo, Paulo 2019).
Menariknya, konsep partai digital ini diproyeksikan untuk mengubah tata kelola partai yang konvensional ke arah yang terbarukan dalam menggerakkan mesin elektoral secara nasional yang tidak lagi sebatas koneksitas berbasis fisik. Dalam hal ini, Gerbaudo menggambarkan bagaimana perubahan harus dilakukan dalam diri partai digital, yaitu sebagai antitesis terhadap keorganisasian partai yang lamban dan terbirokrasitasi pada oligark-elitism atau self-serving politicians.
Jadi, partai digital adalah model resistensi terhadap oligarkisme partai terhadap kemapanan partai dalam membangun demarkasi sentimen partisan politik yang mengedepankan fisik elektoral, seperti basis daerah pemilihan, basis politik identitas tertentu, dan basis ideologi politik tertentu.
Partai digital adalah konsekuensi dari praksis demokrasi tanpa batas ruang, waktu, dan tautan-tautan fisik.
Jika diselami lebih jauh, partai digital adalah konsekuensi dari praksis demokrasi tanpa batas ruang, waktu, dan tautan-tautan fisik. Partai digital diorientasikan menghasilkan tautan serba luas tanpa batas (post-fisical engagement) yang dalam politik keseharian bermanifes kepada e-democracy, online democracy, cyber-democracy, e-goverment, e-voting atau e-election atau yang terbarukan melalui tele-democracy (Gerbaudo, hal. 60).
Upaya KPU dalam menerapkan aplikasi elektronik ke dalam tata kelola pemilu dapat dilihat sebagai langkah menghadirkan salah satu dari digitalisasi politik tersebut. Hanya saja, dalam tahapan ini masih terbatas sebagai alat bantu untuk mempercepat penyimpanan, pengolahan, dan penyampaian data kepemiluan khususnya parpol secara transparan. Misalnya, melalui Sipol parpol tidak saja ”dipaksa” untuk membenahi administrasi elektoralnya agar lebih baik, tetapi juga parpol diharuskan makin adaptif untuk menstranformasi kelembagaannya menuju partai modern dan profesional melalui pemanfaatkan teknologi digital.
Artinya, penerapan Sipol dapat digunakan sebagai acuan pembenahan tata kelola organisasi parpol sebagai institusi perwakilan politik modern. Untuk menstranformasi menjadi parpol modern dibutuhkan rasionalisasi organisaasi, konsistensi menjalanan undang-undang partai (AD/ART) sesuai fungsinya, mampu melakukan rekrutmen secara melembaga dan stabil hingga mampu menciptakan budaya berpartai yang paralel dengan implementasi program-program partai dalam arena politik praksis.
Tata kelola partai
Mengacu kepada pola yang selama ini terjadi, tata kelola internal parpol cenderung dikelola secara ”darurat”. Parpol giat melakukan pendaftaran kepengurusan, anggota, dan mencari siapa yang akan dijadikan calon anggota legislatif, serta melakukan mobilisasi jaringan organisasi elektoral hanya pada saat mendekati jadwal pemilu.
Hal tersebut sudah menjadi tradisi lima tahunan yang harus ditinggalkan. Parpol harus segera melakukan penataan keorganisasian yang profesional dari tingkat kantor pusat partai hingga cabang-cabangnya seraya mengembangkan strategi untuk memobilisasi sumber-sumber pendanaan untuk operasional harian parpol.
Kelemahan parpol kita saat ini adalah terlalu mengandalkan pendanaan kilat ”ala sinterklas”, yaitu pendanaan dari kantor pusat partai atau elite utama dalam DPP guna membiayai operasional mesin elektoral menjelang pemilu. Untuk itu, partai harus menyusun strategi guna menggali sumber daya sosial politik baru yang tanpa batas di era digital untuk memperkuat kelembagaannya baik secara administrasi keorganisasian, pendanaan, keanggotaaan, maupun perangkat penunjang demokrasi perwakilan yang ada.
Baca juga: Mendorong Transparansi Keuangan Partai Politik
Penguatan kelembagaan ini meniscayakan parpol harus adaptif dengan kultur modern, profesional, rasional, dan responsif yang sejatinya dibutuhkan untuk menepis persepsi publik yang saat ini menganggap partai tidak hadir dalam masyarakat.
Dalam konteks besar, penerapan teknologi pemilu selain Sipol, Sistem Pencalonan (Silon), Sistem Data Pemilih (Sidalih), Sistem Dana Kampanye (Sidakam), ataupun Sistem Rekapituasi Suara (Sirekap) dapat dijadikan acuan membenahi tata kelola internal keorganisasian parpol.
Jika terjadi sengketa antara KPU versus parpol terkait masalah administrasi atau terjadi gugatan hukum terhadap KPU, tentu teknologi pemilu sebagai alat bantu tidak boleh mengalahkan substantif hak-hak parpol, apalagi mendelegitimasi administrasi parpol yang sudah susah payah melakukan seluruh proses pendaftaran secara digital. Pihak parpol pun harus menyadari, sistem aplikasi berbasis digital yang diterapkan KPU harus dijadikan energi positif guna menghadirkan tata kelola organisasi parpol yang modern dan profesional.
Parpol pun harus menyadari, sistem aplikasi berbasis digital yang diterapkan KPU harus dijadikan energi positif guna menghadirkan tata kelola organisasi parpol yang modern dan profesional.
Peran KPU dalam penerapan aplikasi teknologi data digital dalam tata kelola pemilu harus ditempatkan sebagai ”virus positif” yang diharapkan mampu mengubah mentalitas budaya berpartai yang saat ini seolah-olah asal menjadi peserta pemilu. Juga gaya manajemen berpartai para elite saat ini perlu ditransformasi guna menghadapi perubahan-perubahan sosietal yang masif, seperti perubahan klas ekonomi, pengaruh generasi Z yang tak bisa ”ditangkap” oleh janji-janji surga parpol serta bangkitnya kekuatan digital sebagai instrumen elektoral baru.
Misal, dalam menyusun keanggotaan di cabang-cabang atau untuk menyusun daftar caleg, parpol tidak siap dengan sumber daya kader. Hal ini terjadi karena mekanisme untuk memetakan sumber daya sosial kader lemah dan tidak konsisten. Proses mobilisasi dan rekrutmen sumber daya untuk menjadi anggota, kader, atau calon anggota legislatif sifatnya tambal sulam, asal cari kader dan caleg di saat batas registrasi parpol atau pencalonan akan berakhir.
Tentu saja manajemen keorganisasian seperti itu tidak ideal menuju era partai digital. Untuk menuju pada taraf digital partai, masalah internal partai sudah harus paripurna di mana data keanggotaan terpantau publik, transparan dalam pengelolaan pendanaan, visi misi partai dapat diakses publik, dan tak kalah penting tautan partai dengan massa (political engagement) diefisiensikan oleh kehadiran digital politics. Misalnya, langkah praksis yang dapat dilakukan, yaitu parpol memetakan basis dan anggota secara digital untuk nanti dijadikan sumber kekuatan elektoral menjelang pemilu.
Partai juga dituntut mampu memanfaatkan segala tautan-tautan digital, seperti Facebook, Instagram, Line, Whatsapp, dan tautan-tautan politik digital lain, untuk mengembangkan kapasitas kelembagaannya sahingga partai hadir dalam setiap seluk-beluk berbincangan deliberasi politik perwakilan yang serba tanpa batas lagi. Pemanfaatkan dunia politik digital ini sudah berlangsung, seperti kampanye via media sosial, pemasaran calon atau debat calon yang dipancarkan melalui TV dan tautan-tautan (platform) digital.
Baca juga: Menjaga Citra Partai Politik di Media Sosial
Dalam praksis yang tak substansial, embrio partai digital ini dapat dijumpai pada pilkada. Misalnya, calon kepala daerah membentuk tim pemenangan yang diperkuat dengan pemanfaatan media sosial. Media sosial sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari arena kompetisis kekuasaan elektoral. Dalam beberapa pemilu, media sosial sudah menjelma menjadi post-institutional engagement, artinya berada di luar konstruk institusi dengan pengaruh super dahsyat dalam memengaruhi kesadaran publik. Pertarungan Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan Pemilu 2019 membuktikan bagaimana post-institutional engagement ini menimbulkan efek pembelahan elektoral massa yang mengancam kohesi sosial kita.
Dalam konteks partai digital, energi yang terbangun dibayangkan untuk menegakkan peluang-peluang partai dalam menggerakkan segenap sumber daya sosial politiknya. Dalam bahasa Randal dan Svasand (2009), parpol ditantang untuk membentuk narasi sentimen politik yang berdampak penguatan eksistensinya pada ranah publik.
Tantangan
Masalahnya, apakah era politik digital sudah paralel menghasilkan pendalaman pengaruh dibenak publik seiring era digital politik? Transformasi menuju partai digital sangat kompleks, tidak hanya semata KPU menerapkan sistem aplikasi kepemiluan berbasis digital/internet lalu semua menghasilkan partai digital.
Ada persoalan kebijakan dan regim regulasi yang harus dibenahi pada tataran lapangan. Misalnya UU 7/2017 maupun UU 10/2016 memberi peluang untuk kampanye via media sosial. Namun, implementasinya terhalang oleh berbagai masalah teknis dan nonteknis, seperti ketaktersedian akses internet sebagai tulang punggung digitalisaasi politik. Dampaknya, justru parpol tidak maksimal dalam memanfaatkan platform media sosial untuk kampanye.
Produk kebijakan yang hanya memperhatikan untung rugi dalam bisnis digital juga bisa menjadi faktor penghambat digitalisasi politik yang tentu menghambat pertumbuhan partai digital di tingkat pelosok. Hal ini berarti pendalaman pengaruh partai tidak akan muncul ketika halangan-halangan regim kebijakan masih terjadi.
Ide tentang transformasi menuju partai digital harus diletakkan pada konteks komprehensif terkait arena kompetisi politik dan elektoral yang makin meluas tanpa batas.
Ide tentang transformasi menuju partai digital harus diletakkan pada konteks komprehensif terkait arena kompetisi politik dan elektoral yang makin meluas tanpa batas. Di era politik digital saat ini, siapa pun dapat menjadi ”aktor politik” untuk dirinya sendiri. Bahkan, individu bisa menjadi aktor politik yang mengubah arah narasi politik tertentu berkat pesan-pesan politik yang terus-menerus diviralkan. Hal ini mendorong kita untuk masuk pada suatu tahapan dimana peristiwa-peristiwa politik seputar kita sejatinya tidak otonom satu sama lainnya.
Masa depan parpol di Indonesia pun demikian. Parpol tidak dapat berpijak terus-menerus pada ego politik sentrisme berbasis elite-oligarkis. Era politik digital saat ini meniscayakan parpol mengembangkan strategi baru guna meraih publik yang barangkali masih partylessmenghadapi Pemilu 2024.
Generasi milenial atau genersi Z atau entah apalagi julukannya, yang memersepsi parpol tidak hadir dalam urusan-urusan publik karena urusan publik sudah atau bisa diselesaikan melalui protes atau petisi via media sosial, harus diperhitungkan sebagai kekuatan baru dalam demokrasi internet.
Baca juga: Pemilu sebagai Ajang Mengembalikan Marwah Partai
Artinya, pengelolaan parpol yang saat ini bercorak oligarks menghadapi tantangan baru di saat makin kencangnya otonomisasi politik era politik digital saat ini. Pro dan kontra aborsi yang makin panas di politik Amerika Serikat (AS) menjadi contoh bagaimana kemapanan pandangan hidup versus pragmatisme kepentingan individu pemilih bertarung yang mengancam keambrukan basis tradisional partai. Fenomena ini perlu menjadi pembelajaran parpol di Indonesia bahwa kekuatan digital dapat berfungsi sebagai pendobrak tatanan kepartaian yang sudah mapan.
Dua tahun menjelang Pemilu 2024 bukanlah perkara mudah bagi partai untuk membenahi tata kelolanya untuk menjadi partai modern dan profesional. Namun, setidaknya, di era politik digital saat ini parpol secara bertahap melakukan pembenahan keorganisasian yang paralel dengan era digital saat ini. Parpol dapat membangun konstelasi data induk (big data) terkait kekuatan akar rumput elektoralnya dari pemilu ke pemilu demi keberlangsungan ketahanan elektoralnya.
Kris Nugroho, Ketua Program Studi dan Pengajar pada Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Anggota Konsorsium Pendidikan Magister Tata Kelola Pemilu Bekerja Sama dengan KPU RI