Masyarakat adat Dayak punya jalan pangan yang dipertahankan sejalan dengan rimba tersisa. Di tengah sistem pangan modern, di ujung barat Kalteng aroma sedap pangan lokal kian mekar dan dijaga masyarakat adat Riam Tinggi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·6 menit baca
Sepanjang perjalanan dari Kota Palangkaraya menuju Lamandau, Kalimantan Tengah, pohon sawit akan menemani pengendara di jalan. Hampir tak ada wilayah tanpa pohon sawit. Namun, begitu masuk ke wilayah Kecamatan Delang di Lamandau, tiba-tiba udara menjadi segar segera setelah melihat perbukitan hijau dengan ketinggian 150 meter di atas permukaan laut.
Udara kian sejuk ketika masuk ke Desa Riam Tinggi, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau. Desa wisata ini terletak sekitar 40 kilometer dari perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Selain sejuk, desa ini memiliki berbagai objek wisata yang bisa diakses bahkan hanya dengan berjalan kaki, mulai dari riam Sungai Delang, jembatan gantung, situs-situs adat, hingga Lubang Kilat, bukit dengan ketinggian 215 meter di atas permukaan laut.
Wisata alam memang menjadi objek utama di desa itu. Namun, keasrian alam itu melahirkan pengetahuan pangan yang begitu luar biasa. Resina (30), Minggu (27/2/2023) pagi-pagi benar, sudah keluar dari hutan di sekitar rumahnya mengumpulkan berbagai bahan masakan mulai dari sayuran hingga lauk.
Bahkan, ia tak perlu menembus rimba untuk mendapatkan bahan pangan, cukup berjalan kaki beberapa ratus meter saja dari dapur ke belakang rumahnya. Ia sudah mendapatkan jahe merah (Zingiber Officinale Var Rubrum Rhizoma), daun sangkubak (Pycnarrhena cauliflora Miers Diels), lalu tebu telur (Saccharum edule), dan salah satu jenis sayur yang dalam Bahasa Dayak Tomun disebut daun ritian. Daun yang terakhir disebut itu cukup sulit dicari padanan dalam Bahasa Indonesia, namun Resina yakin itu hanya tumbuh di hutan-hutan sekitar kampungnya.
Bumbu dan sayur sudah, ia hanya perlu menunggu suaminya pulang mencari ikan di riam Sungai Delang yang hanya berjarak 400 meter dari rumahnya. Suaminya pergi membawa alat tembak ikan. Alat itu memang seperti pistol, hanya saja terbuat dari kayu dengan besi sepanjang hampir 30 sentimeter dengan kail di bagian ujung. Lalu, besi itu akan ditarik dengan karet merah, hingga dilepas saat sudah melihat ikan di dalam sungai yang begitu jernih.
Sambil menunggu, Resina menyiapkan tempoyak, fermentasi durian, yang bakal ia campur dengan ikan. Ketika suaminya datang, semuanya sudah siap.
“Di sini memang hampir setiap hari begini, karena hampir tidak ada tukang sayur kayak di Jawa yang masuk ke sini. Kalau ada pun jarang, sayur dan ikan melimpah di sini,” ungkap Resina.
Masak pun dimulai. Resina ingin menunjukkan bagaimana cara ibu, nenek, dan nenek buyutnya memasak. Dari kebunnya, ia mengambil beberapa potong bambu yang masih hijau. Bambu itu ditutup daun-daun di bagian dalamnya. Sebagian merupakan daun sengkubak, yang dikenal sebagai penyedap rasa alami. Penyedap rasa ini dikenal masyarakat adat jauh sebelum micin hadir. Mereka mengenalnya dengan berbagai nama, sengkubak, sungkai, mekai, dan banyak lagi.
Resina meracik bumbu dan menyiapkan bambu, ibu-ibu lainnya membersihkan ikan. Ikan dipotong lalu direndam ke dalam tempoyak. Lalu dicampur ke dalam wadah kayu yang sudah diisi racikan bumbu seperti cabai merah, jahe merah, dan beberapa jenis daun-daunan.
Potongan-potongan ikan itu kemudian dimasukkan ke dalam bambu, lalu dibakar. Satu orang khusus menjaga api agar tidak menghanguskan bambu, serta tentunya segala masakan di dalamnya.
Ibu-ibu lain menyiapkan kandas, atau sambal khas Dayak. Sambal ini tak sekadar cabai, tetapi ada juga beberapa sayuran yang dicampur langsung dengan cabai, ditumbuk, lalu ditambahkan batang potok alias kecombrang. Rasa kecombrang bakal menciptakan ledakan gurih di ujung lidah.
Hanya butuh 20-30 menit hingga ikan matang, sambal siap, nasi-nasi yang juga sudah ditanak dalam bambu siap. Semua dihidangkan dan disantap ramai-ramai. Proses masak, mulai dari menyiapkan bumbu, mencari ikan, hingga menyiapkan bara api mungkin butuh waktu berjam-jam, tapi tentu saja menyantapnya akan jauh lebih cepat. Ludes masuk perut.
Biodiversitas
Kekayaan alam dan pangan di Riam Tinggi itu yang menginspirasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah membuat pemetaan potensi desa. Hasilnya, dari hutan di sekitar desa terdapat setidaknya 10 jenis biji-bijian, delapan jenis umbi-umbian, 26 jenis sayuran, dan 26 jenis buah-buahan. Semuanya merupakan pangan liar dan budidaya masyarakat sekitar.
Walhi bersama Kelompok Sadar Wisata Desa Riam Tinggi kemudian menggelar Festival Kampung Riam Tinggi yang dilaksanakan pada 26-28 Februari 2023 lalu. Dalam festival itu, memasak masakan lokal menjadi menu utama festival. Mereka tak hanya memasak tetapi juga ikut mengidentifikasi pangan lokal mereka sendiri dan menggunakan segala peralatan tradisional dalam memasak. Tentunya tanpa micin.
Dari hasil identifikasi itu kian menguatkan kandungan gizi yang terkandung dalam panganan mereka. Kajian Daisy Irawan dan tim dalam di jurnal Tropics (2016) menyebut, kandungan gizi sayur kelakai di antaranya zat besi atau Fe (41,53 ppm) dan beta karoten (66,99 ppm), (Kompas, 1 September 2022).
Para ilmuwan dari Royal Botanic Gardens dan Imperial College London dalam laporan di jurnal Nature Plants pada Kamis (24/2/2022) mengidentifikasi lebih dari 1.000 tanaman jarang dimanfaatkan, tapi kaya zat gizi mikro, termasuk Durio kutejensis atau durian liar Kalimantan. Durian ini kaya serat dan vitamin C. Durian ini digunakan ibu-ibu di Riam Tinggi untuk memasak ikan dengan membuat durian menjadi tempoyak.
Kalau kami kehilangan satu benih saja kami dapat tulah
Untuk protein, warga Desa Riam Tinggi mengandalkan ikan sungai dan aneka kulat atau jamur. Setidaknya terdapat 17 jenis ikan sungai dan lima jenis jamur yang bisa dikonsumsi. Semuanya mereka nikmati di ladang dan hutan di sekitar ladang mereka.
Mantir Adat Desa Riam Tinggi atau pemuka kepercayaan Kaharingan, Thomas Ragum (67) mengungkapkan, berladang merupakan hidup orang Dayak, termasuk Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau. Tanpa berladang hidup jadi susah, semuanya jadi serba beli. Hal itu terjadi sejak dilarang membakar. Namun, kini warganya masih terus berladang namun agak jauh dari tempat mereka biasa berladang.
“Semua ada. Mau sayur, buah, ada di ladang. Mau ikan, bisa mencari di sungai,” ungkap Thomas.
Thomas menambahkan, mereka tetap membakar saat berladang karena belum memiliki alternatif lain. Di satu sisi, mereka bertanggung jawab melestarikan benih padi titipan leluhur.
“Kalau kami kehilangan satu benih saja kami dapat tulah. Jadi saat berladang semua benih padi ditanam, jenis apapun mau yang tidak dimakan manusia pun tetap ditanam, dari pada kena tulah. Itu titipan,” ungkap Thomas.
Larangan membakar memang masih jadi masalah yang dihadapi warga Dayak saat ini. Pasalnya mereka harus sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan aparat, namun tetap bisa mengisi perut dan memenuhi gizi anak-cucu mereka.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kalteng Achmad Rasyid mengungkapkan, pihaknya menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengendalian Kebakaran. Di dalamnya, masyarakat hukum adat masih bisa membakar dengan batas tak lebih dari dua hektar dan bukan di lahan gambut.
“Ini suara masyarakat, karena kami melihat memang banyak perubahan terjadi setelah larangan membakar,” ungkap Rasyid.
Warga di Riam Tinggi tak banyak mengetahui keberadaan perda itu. Namun mereka senang masih bisa memanfaatkan hutan dan ladang untuk kehidupan mereka. Sedapnya masakan dari rimba Riam Tinggi tak hanya mengenyangkan perut tetapi juga dahaga kelestarian hutan.