Mengubah Paradigma dengan Sampah
Berawal dari kepedulian sejumlah komunitas berupaya mengolah sampah menjadi barang bernilai ekonomi. Satu visinya, yakni menciptakan lingkungan asri sebagai warisan bagi generasi masa datang.
Sejumlah kelompok masyarakat di Sumatera Selatan memanfaatkan sampah untuk memperbaiki alam dan mengambil manfaat ekonomi dari dalamnya. Tujuan mereka hanya satu, mengubah pola pikir masyarakat untuk tidak sekadar membuang sampah, tetapi mulai memilah sampah dan memanfaatkannya.
Dengan bangga Ruslina, warga 1 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, menunjukkan salah satu hasil karyanya, yakni sebuah topi dari anyaman batang eceng gondok, Jumat (3/3/2023). Bukan hanya topi, Ruslina juga membuat kotak tisu dan tas anyaman yang dipadukan dengan kain khas Sumsel, jumputan.
Kemampuan menganyam ini ia peroleh dari Semarang, Jawa Tengah, kala mengikuti pelatihan untuk memanfaatkan sampah menjadi barang berharga. ”Saya mengikuti pelatihan selama 10 hari dan sekarang sudah bisa membuat beragam barang kerajinan tangan,” ujar Ruslina.
Selama ini, di aliran anak sungai yang mengalir dekat dengan tempat tinggalnya kerap ditumbuhi eceng gondok (Eichhornia crassipes). Karena dianggap tidak bernilai, tanaman air itu tidak pernah dimanfaatkan. ”Hanya dibiarkan tumbuh liar dan mengganggu pemandangan,” katanya.
Namun sejak bergabung dengan Komunitas Bank Sampah Kebumen Gemilang Sejahtera (KGS), pada tahun 2017, setiap anggota bank sampah diberi pelatihan untuk meningkatkan kemampuan. Dengan pelatihan tersebut, perspektif Ruslina tentang eceng gondok pun berubah, dari yang semula hanya sampah, kini menjadi komoditas yang bisa mendatangkan ”cuan”.
Untuk bisa mengubah eceng gondok menjadi kerajinan tangan, Ruslina mengambil beberapa batang eceng gondok, lalu menjemurnya selama tiga minggu. Setelah kering, batang eceng gondok pun diolah menjadi kerajinan tangan yang sangat indah. ”Ya, kerajinan tangan yang ia buat dihargai beragam, mulai dari Rp 50.000-Rp 250.000,” kata Ruslina.
Baca juga : Berpotensi Ekonomi Besar, Pengelolaan Sampah di Palembang Belum Optimal
Sekretaris Bank Sampah KGS Siti Muzayana menuturkan, keresahan sekelompok orang terhadap sampah yang tidak dikelola menjadi dasar pembangunan bank sampah ini. Pada awal pembangunannya, anggota dari bank sampah ini hanya memilah sampah, lalu menjualnya.
Mulanya hanya ada tujuh anggota, kini menjadi 30 orang. Sebagian besar adalah ibu rumah tangga.
Sejak 2017, sudah ada kemauan dari setiap anggota untuk mulai mengelola eceng gondok menjadi kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomi. Selain kerajinan tangan berbasis eceng gondok, setiap anggota juga dibekali kemampuan untuk mengolah koran bekas, kaleng bekas, hingga bungkus minuman saset yang diubah menjadi karpet.
Hasil karya dari setiap anggota kemudian dipasarkan melalui pasar daring atau ke sejumlah pameran. Omzet yang didapat tidak begitu besar, hanya Rp 7 juta-Rp 10 juta per bulan. Namun, itu sudah lumayan. Dengan kegiatan ini, ungkap Siti, jumlah anggota bank sampah pun bertambah.
”Mulanya hanya ada tujuh anggota, kini menjadi 30 orang. Sebagian besar adalah ibu rumah tangga,” ujar Siti.
Namun, inti dari pembangunan bank sampah ini bukan sekadar mencari keuntungan, melainkan lebih pada menanamkan rasa cinta lingkungan pada warga yang tinggal di sekitar Bank Sampah. ”Kami terus mengajak warga untuk mulai memilah dan mengolah sampah dengan benar. Bukan membuangnya ke sungai,” ujar Siti.
Menanamkan rasa cinta lingkungan juga dilakoni oleh Juta yang memanfaatkan sampah organik untuk menyuburkan tanah dengan mekanisme olah sampah satu menit menggunakan biowash promic.
Juta menjelaskan, promic adalah minuman yang mengandung konsorsium mikroba baik yang juga berperan sebagai katalisator yang mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos untuk berfungsi untuk menyubur tanah.
Juta pun mempraktekan proses penanaman, yakni dengan menuang semua jenis sampah organik, seperti sisa nasi, kulit buah atau sayur, tahu, tempe, dan cangkang telur, setelah itu disiram dengan biowash. dengan komposisi 200 mililiter cairan promic yang mengandung konsorsium mikroba baik dengan 5 liter air.
Lalu sampah organik tersebut dilapisi dengan media tanam yang terdiri dari campuran kotoran hewan, tanah, dan sekam. Setelah itu, baru ditanami sejumlah komoditas, seperti cabai, pisang, pakcoy, bayam merah, dan beragam tanaman lain.
Baca juga : Beroperasi 2024, PSEL di Palembang Masih Kekurangan Bahan Baku
Skema ini terbukti ampuh setelah ia mengubah lahan gersang seluas 1,2 hektar menjadi kebun beragam jenis tanaman sebagai tempat untuk sosialisasi dan edukasi. Kebun itu dinamakan Buddhi (Pusat Budaya Baru) yang terletak di Talang Buluh, Kecamatan Talang Kelapa Banyuasin.
”Kami ingin masyarakat tahu bahwa sampah makanan pun bisa menjadi pupuk yang baik untuk kesuburan tanah,” kata Juta.
Sampah organik tersebut ia peroleh dari 17 rumah makan di Palembang. Dalam satu kali pengambilan, ia bisa mengumpulkan sekitar 700 sampah organik dari restoran tersebut.
”Sampah itu saya dapatkan secara gratis. Mereka juga mendapat keuntungan dari sampah yang tidak menumpuk,” ujarnya.
Nantinya, ia akan bekerja sama dengan pemerintah Kabupaten Banyuasin untuk mengajarkan warga di setiap kelurahan untuk mulai menerapkan pola ini di lingkungannya masing-masing.
Mengurangi sampah
Bupati Banyuasin Askolani Jasi berharap pola ini dapat mengurangi tumpukan sampah di Kabupaten Banyuasin. Ia mengatakan, dalam satu hari, warga di Banyuasin dapat memproduksi sekitar 400 ton per hari.
Dari jumlah tersebut hanya 20 persen yang bisa dikelola. Oleh karena itu, dengan skema ini diharapkan masyarakat bisa mulai memilah sampah dan memanfaatkannya untuk mulai bertani di rumah atau menciptakan produk yang bisa bernilai ekonomi.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, selama ini sistem pengelolaan sampah yang diketahui hanya berupa sampah dibuang dan ditumpuk di lokasi yang cekung, kemudian dipadatkan dan ditimbun di dalam tanah (sanitary landfill). Cara ini memang terdengar mudah, tetapi di baliknya menyimpan risiko yang luar biasa, seperti polusi air dan tanah di sekitarnya serta ledakan akibat gas metan yang dihasilkan.
Karena itu, jika warga mulai sadar untuk memilah dan mengolah sampah sejak dari rumah, risiko pencemaran dapat ditekan. Herman juga berharap, sampah nonorganik juga limbah bahan berbahaya dan beracun dapat juga dikelola agar tidak mencemari lingkungan.
Direktur Waste Plant Tropic Indonesia Andrew Hayim De Vries berharap agar kesadaran warga untuk mulai mengelola sampah terus tumbuh mengingat Indonesia sudah berada di peringkat teratas negara yang tingkat polusi tertinggi di dunia. ”Sadari bahwa polusi, baik air, udara, maupun tanah, sangat berbahaya bagi kesehatan,” ujarnya.
Pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang tegas untuk mengurangi tingkat polusi. ”Karena hanya melalui regulasi yang tegas, masyarakat akan sadar untuk mulai mencintai lingkungan,” kata Hayim.
Di sisi lain, gerakan dari komunitas yang fokus pada pengelolaan sampah juga harus didukung karena mereka adalah mitra pemerintah dalam upaya mengurangi polusi di daerahnya masing-masing.
”Karena jika polusi dan sampah dibiarkan, yang terancam bukan hanya kita, melainkan juga generasi bangsa selanjutnya,” ujarnya.