Tujuh Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Kakak-Beradik di Baubau Bebas Berkeliaran
Sebanyak tujuh orang terduga pelaku kekerasan seksual kakak-beradik di Baubau, Sulawesi Tenggara, masih bebas berkeliaran hingga saat ini. Sementara itu, polisi bersikukuh pelaku adalah kakak tertua korban.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sebanyak tujuh terduga pelaku kekerasan seksual kakak-beradik di Baubau, Sulawesi Tenggara, hingga kini masih bebas berkeliaran. Polisi bersikukuh pelaku adalah kakak tertua para korban. Padahal, kedua korban konsisten menyebut pelaku adalah tujuh orang lain, bukan kakak mereka.
”Berdasarkan konfirmasi berulang kami ke kedua korban, pelaku ada tujuh orang yang saat ini semuanya masih bebas berkeliaran. Mereka inilah yang menurut korban melakukan tindak kekerasan seksual fisik terhadap korban pada hari yang bersamaan,” kata Safrin Salam, kuasa hukum korban dalam konferensi pers virtual, Senin (27/2/2023).
Hadir dalam konferensi tersebut Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, kuasa hukum tersangka Sutrimansyah, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Baubau Fanti Fridayanti, serta Kepala UPTD Perlindungan dan Perlindungan Anak (PPA) Sultra Sumartin.
Safrin menjelaskan, kedua korban yang berumur 4 tahun dan 9 tahun mengaku mengalami tindak kekerasan seksual oleh sejumlah orang di lingkungan perumahan mereka, Sabtu (24/12/2022). Korban menyebut para pelaku adalah pekerja bangunan di perumahan mereka, termasuk kontraktor perumahan tersebut.
Tidak hanya dicabuli, keduanya juga diancam akan dibunuh dengan todongan senjata berupa pistol. Mereka akhirnya takut mengadukan kekerasan seksual yang menimpa mereka itu kepada ibu mereka, S (41). Ayah mereka telah meninggal sejak dua tahun lalu.
”Berdasarkan hasil visum, terjadi kekerasan seksual secara fisik terhadap korban. Jadi, ini bukan pelecehan, tapi kekerasan seksual secara fisik. Terduga pelaku ada tujuh orang dan semuanya adalah orang dewasa. Para pelaku ini masih belum tersentuh sampai saat ini,” kata Safrin.
Akan tetapi, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap para korban ini, ada proses penegakan hukum yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Salah satu yang utama, keterangan korban tidak menjadi rujukan utama penyidik untuk menangkap pelaku.
Kedua korban telah menyebut sejumlah terduga pelaku, tetapi polisi malah menetapkan kakak tertua mereka AL (19) sebagai tersangka. Saat kejadian yang disangkakan, kakak tertua korban diketahui berada di pasar berjualan sayur bersama ibunya. AL memang rutin membantu ibunya berjualan setiap hari.
Bahkan, dalam pengambilan keterangan kedua korban, mereka tidak mendapatkan pendampingan dari psikolog klinis. Seharusnya, sesuai aturan yang berlaku, para korban harus didampingi psikolog, hingga dianggap layak untuk dimintai keterangan.
”Korban kekerasan seksual, apalagi anak, wajib mendapatkan assesment dahulu dari psikolog. Kami menganggap status keterangan korban itu tidak sah dan tidak diakui,” katanya.
Seto Mulyadi menuturkan, kasus yang menimpa dua bersaudara ini akan menjadi preseden buruk jika tidak ditangani dengan baik oleh kepolisian. Kasus kekerasan terhadap anak harus diselesaikan, dituntaskan, dan memenuhi keadilan terhadap korban.
Ia berharap kasus ini betu-betul dikaji dan ditelaah, hingga penyelidikan bisa mengarah kepada terduga pelaku sebenarnya. Terlebih lagi, kedua tersangka telah menyebutkan sejumlah terduga pelaku dalam kesaksian mereka di kepolisian.
”Kami akan koordinasi dengan Kepala Polres Baubau, Kepala Polda Sultra, dan kalau perlu kami akan membawa kasus ini ke Mabes Polri. Keluarga mereka juga harus mendapatkan perlindungan agar aman dari ancaman,” terangnya.
Sekretaris Dinas P3A Baubau Fanti Fridayanti menyampaikan, saat ini keluarga korban telah mendapatkan pendampingan dari UPTD PPA Baubau. Selain pendampingan psikologis, tim telah turun untuk mencari rumah aman bagi keluarga korban yang saat ini mengungsi.
Meski begitu, Fanti mengakui pendampingan oleh psikolog baru berjalan sekitar dua pekan terakhir. Ia mengaku tidak begitu tahu teknis pendampingan hingga sejak awal korban tidak didampingi oleh psikolog.
”Dalam pemeriksaan di kepolisian, korban itu seharusnya mendapatkan pendampingan dahulu dari psikolog klinis, apalagi kami punya tim. Kalau itu tidak dilakukan, ada cacat prosedur dalam pemeriksaan,” tuturnya.
Dugaan rekayasa
Sementara itu, Sutrimansyah, kuasa hukum tersangka AL, menjelaskan, sampai saat ini kliennya masih berstatus tersangka dan dalam tahapan penyidikan kepolisian. Sejak ditetapkan tersangka akhir Januari lalu, AL ditahan di Polres Baubau hingga sekarang.
Menurut Sutrimansyah, penetapan tersangka kliennya ini sangat ganjil dan diduga rekayasa. Sebab, kedua korban tidak pernah menyebut nama kakak mereka sebagai pelaku, tetapi sejumlah nama lain. Seharusnya keterangan tersebut dijadikan patokan utama dalam proses penyelidikan.
”Karena itu kami telah mengajukan praperadilan dan akan sidang dalam beberapa hari mendatang. Kami meminta agar penetapan tersangka terhadap AL dicabut,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Kepala Polda Sultra Brigadir Jenderal Waris (Pol) Argono mengungkapkan, proses penyidikan kasus sedang berjalan. Meski begitu, penyidik tidak bisa membuka detail kasus ke publik karena termasuk delik khusus dengan korban anak anak di bawah umur dan termasuk informasi yang dikecualikan.
Saat ditanya terkait keterangan korban yang harusnya menjadi rujukan utama sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Waris beralasan kasus ini memakai UU Perlindungan Anak, bukan di ranah TPKS, yaitu alat bukti itu ada lima, bukan hanya keterangan saksi korban.
”Dan penyidik sudah mengumpulkan kelima alat bukti tersebut. Polda (Sultra) melakukan asistensi dan monitor kasus ini sejak awal,” tambahnya, Senin (20/2/2023).
Kapolres Baubau Ajun Komisaris Besar Bungin Misalayuk yang dihubungi selama beberapa hari terakhir tidak menjawab panggilan dan pertanyaan yang dikirimkan.
S (41), ibu korban dan tersangka, sangat terpukul dengan kejadian ini. Sebab, belum selesai duka anaknya dicabuli, anak tertuanya malah ditetapkan tersangka. Ia sangat bingung mencari keadilan untuk anak-anaknya.
”Dua anak saya tidak pernah menyebut kakaknya sebagai pelaku, sampai hari ini. Tapi orang lain. Saya sangat yakin anak saya itu bukan pelakunya,” tuturnya menahan emosi.
Bersama tiga anaknya, saat ini ia mengungsi di sebuah kamar kos. Sebab, ia merasa tidak aman menetap di rumah sendiri, sementara pelaku utama masih berkeliaran di sekitar lingkungannya.
”Anak-anak saya mengaku ditodong pistol oleh pelaku. Ada yang ditodong di dada, jidat, dan mulut. Katanya, kalau melaporkan kejadian (pencabulan) itu ke saya, kami sekeluarga akan dibunuh,” katanya.