Bekas Guru Pencabul Murid di Surabaya Dijerat Pelanggaran Perlindungan Anak
Tersangka kejahatan seksual dan bekas guru madrasah ibtidaiyah swasta di Surabaya, Jawa Timur, dijerat pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak karena telah mencabuli sejumlah murid dalam pelajaran.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tersangka kasus kejahatan seksual Aris Syaifudin, bekas guru madrasah ibtidaiyah swasta di Surabaya, Jawa Timur, dijerat dengan pelanggaran aturan perlindungan anak.
”Jerat pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016,” kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Ajun Komisaris Wardi Waluyo, Senin (27/2/2023). Regulasi dimaksud mengenai Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.
UU Perlindungan Anak telah mengalami dua perubahan. Pertama melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam perubahan pertama, ada Pasal 76E yang berbunyi setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Menurut Wardi, dalam perubahan kedua, yakni Pasal 82 UU Nomor 17 Tahun 2016 disebutkan, setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Jerat pelanggaran Pasal 82 itulah yang dikenakan terhadap tersangka Aris Syaifudin (38).
Wardi melanjutkan, kasus ini terungkap dari laporan orangtua korban ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polrestabes Surabaya pada Jumat (17/2/2023). Kasus ditindaklanjuti, antara lain dengan pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk pengurus MI swasta tempat tersangka pernah bekerja. Petugas kemudian mencari dan berhasil menemukan lalu menangkap tersangka di wilayah Kecamatan Benowo. Dalam pemeriksaan, tersangka mengakui telah mencabuli sejumlah murid sehingga kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
”Tersangka mengaku kecanduan fantasi seksual dari menonton video pornografi,” kata Wardi. Tim penyidik berencana mendatangkan psikolog atau psikiater dalam kepentingan pemeriksaan tersangka.
Dari laporan, ada tujuh perwakilan korban, yakni orangtua atau kerabat keluarga yang melaporkan tersangka atas dugaan kejahatan seksual. Namun, korban yang dicabuli itu diduga lebih banyak.
Secara terpisah, AH Rachman, Kepala MI swasta tempat tersangka pernah bekerja, mengatakan, Aris Syaifudin telah dipecat. Tersangka pernah bekerja di sekolah itu sebagai guru selama empat tahun.
Rachman mengatakan, kasus bermula dari laporan sejumlah murid kepada orangtua karena dicabuli oleh tersangka saat pelajaran. Ada orangtua yang kemudian datang dan melapor ke sekolah. Rachman sempat memanggil tersangka dan meminta konfirmasinya atas pengaduan orangtua itu dan mendapat pengakuan mengejutkan. ”Atas dasar pengakuan itu, saya memecatnya,” katanya.
Namun, orangtua tidak puas jika penindakan terhadap Aris Syaifudin diselesaikan cuma dengan pemecatan sehingga membuat laporan ke Polrestabes Surabaya. Menurut Rachman, dirinya juga diperiksa sebagai saksi dan dikonfrontasi pernyataannya dengan pengakuan tersangka. ”Pelaku melakukan itu saat memberikan pelajaran,” katanya.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan, kasus di MI swasta itu menjadi perhatian penting dan perlu koordinasi bersama pemangku kepentingan agar tidak berulang lagi. Pemerintah juga terus membuka diri terhadap seluruh pengaduan, termasuk kekerasan dan kejahatan terhadap anak.
Pemerintah telah menyediakan beragam kanal pengaduan. Misalnya, Command Center 112, Sambat Nang Cak Eri, Kepala Perangkat Daerah, Camat, dan Lurah, Media Center Dinas Komunikasi dan Informatika, laman mediacenter.surabaya.go.id, mediacenter@surabaya.go.id, WhatsApp 081230257000, aplikasi Wargaku (Wadah Aspirasi Rukun Warga Rukun Tetangga dan Kampung Unggul), Facebook dan Twitter @SapawargaKotaSurabaya dan @BanggaSurabaya, dan Instagram @SapaWargaSBY dan @ Surabaya.
”Kami terus berupaya menindaklanjuti pengaduan dengan harapan dapat memberikan perlindungan,” ujar Eri.
Eri mengakui kasus kejahatan seksual di MI swasta menjadi salah satu tantangan besar bagi Surabaya yang berambisi menjadi kota layak anak tingkat dunia. Di sisi lain, menurut catatan Forum Anak Surabaya, tren kejahatan terhadap anak di ibu kota Jatim ini meningkat. Sepanjang 2021 tercatat 100 kasus kekerasan yang kemudian menjadi 123 kasus kurun 2022. Kejahatan seksual juga meningkat, yakni 72 kasus pada 2021 menjadi 81 kasus pada 2022.