Rantai Pasok Sulit Dipotong, Harga Beras di Jabar Rawan Melambung Tinggi
Meski menjadi lumbung pangan nasional, harga beras rawan melambung tinggi di Jabar. Rantai pasok yang masih terlalu panjang harus menjadi sorotan bila tidak ingin menambah tinggi kemiskinan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·7 menit baca
Harga beras yang melonjak kerap membuat masyarakat berpenghasilan minim di Jawa Barat resah. Karena itu, mendapatkan beras murah menjadi sumber kebahagiaan mereka. Puluhan ribu rupiah yang disisihkan karena harga yang lebih miring membuka pilihan untuk membeli makanan bergizi dan hidup lebih baik. Namun, panjangnya rantai pasok di kawasan lumbung pangan ini sangat rawan memperburuk keadaan.
Sudah hampir sebulan terakhir Eko (62), warga Kelurahan Derwati, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, akrab dengan nasi, telur serta tahu-tempe. Bukan karena diet. Dia rindu makan daging. Namun, saat harga beras melambung tinggi dan penghasilannya sebagai pembuat tahu bakso tidak kunjung bertambah sejak pandemi, dia harus menahan nafsunya makan enak.
“Selama pandemi, paling banyak saya bisa cuma bisa jual 200 tahu bakso ke warung-warung. Paling tidak sampai Rp 150.000 per hari, itu belum dipotong modal bahan. Apalagi, sekarang ditambah minyak mahal,” ujarnya.
Keresahan Eko ini pun sedikit terobati saat mendapatkan info penjualan beras murah di Perum Bulog Kantor Cabang Bandung. Senyum cerah menghiasi wajahnya di bawah langit mendung yang menyelimuti ibu kota Jabar, Selasa (14/2/2023) pagi itu.
Akhirnya Eko mendapatkan 10 kilogram beras murah setelah antri belasan menit. Harganya Rp 8.500 per kg atau jauh lebih murah dibandingkan harga di warung. Beras itu dia masukkan dengan hati-hati ke tas ransel hitamnya.
“Kalau beli di warung, bisa Rp 11.000 per kg untuk beras medium. Jadi lumayan, ini bisa hemat sampai Rp 30.000 kalau beli 10 kg. Ini cukup untuk kami berlima di rumah sampai dua minggu,” ujarnya.
Sama seperti Eko, keceriaan terlihat dari para pembeli beras murah lainnya. Hampir semuanya membeli dua kantong beras. Kadang gelak tawa terdengar dari antrian. Saat beras didapatkan, tangan mereka memegang erat beras yang bisa menghidupi keluarganya selama beberapa hari ke depan.
Nolda (43), warga Cipamokolan, Kecamatan Rancasari, adalah salah satunya. Dia mendekap erat dua kantong beras usai mengantri selama kurang lebih 15 menit. Suaminya pengemudi ojek daring dengan penghasilan bersih kurang dari Rp 1 juta per bulan.
Nolda merasakan harga mulai tinggi sejak awal tahun 2023. Pengeluarannya semakin membengkak karena sebelumnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) serta minyak goreng semakin mahal.
“Sekarang serba sulit. Apalagi dulu saat pandemi, penumpang tidak banyak. Apalagi pas harga beras naik, kami jadi sering makan nasi pakai telur saja. Sekarang ada beras murah, jadi uang sisanya saya bisa pakai untuk beli lauk pauk lainnya,” ujar Nolda semringah.
Tidak mampu
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bandung Elly Wasliah menjelaskan, operasi pasar beras murah ini dilakukan agar warga tidak terlalu terbebani dengan harga beras yang tinggi. Dia mengakui, harga bahan pokok ini masih lebih tinggi jika dibandingkan eceran tertinggi Rp 9.450 per kg untuk beras medium.
Pemerintah Kota Bandung lalu mengadakan operasi pasar beras murah. Bekerja sama dengan Perum Bulog dan Bank Indonesia, beras medium yang dijual kepada masyarakat mencapai 600 ton. Beras ini akan disebar di 30 kecamatan di Kota Bandung dengan jatah masing-masing 20 ton.
“Kupon disebar di setiap wilayah dengan sasaran yang jelas, yaitu masyarakat kurang mampu. Mereka yang paling terdampak kenaikan harga beras dan adanya operasi pasar ini bisa memudahkan warga dalam mendapatkan harga beras yang terjangkau,” paparnya.
Warga miskin menjadi sasaran karena daya beli yang terpuruk di tengah kenaikan harga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, penduduk miskin di kota ini selama tahun 2022 mencapai 109.820 jiwa. Jumlah ini muncul saat ambang batas garis kemiskinan dilihat dari pengeluaran Rp 545.675 per kapita dalam satu bulan.
Angka tersebut jauh dari angka standar yang dibutuhkan oleh setiap keluarga untuk mendapatkan makanan bergizi. Jika dilihat dari hasil liputan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, dana yang dibutuhkan setiap orang di Indonesia untuk mendapatkan makanan bergizi mencapai Rp 663.791 per kapita per bulan. Nilai tersebut dihitung berdasarkan standar komposisi gizi yang digunakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
Jika menggunakan standar tersebut, ada 68 persen atau 183 juta orang Indonesia tidak mampu memenuhi biaya untuk menikmati makanan bergizi, termasuk warga miskin di Kota Bandung. Kondisi ini semakin berat karena harga beras yang tinggi sehingga membuat masyarakat ini harus mengorbankan makanan bergizi lainnya demi mendapatkan nasi.
“Jika dalam satu kondisi pasokan melimpah, harga menjadi murah. Namun, jika tidak memiliki sumber daya keuangan yang baik, harga pangan juga tidak terakses,” ujar Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Ayip Said Abdullah di Kompas.
Harga makanan pokok, terutama beras yang melonjak terjadi sejalan dengan kenaikan harga gabah di petani. Namun, rantai pasok yang panjang membuat harga beras semakin melambung tinggi.
Menurut Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Jabar Dadan Hidayat, harga gabah dari para petani meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Dia berpendapat, peningkatan ini terjadi karena sejumlah faktor, seperti inflasi hingga kenaikan pupuk dan BBM.
Kondisi ini dianggap menjadi alasan harga beras di masyarakat turut terdongkrak. Padahal, berdasarkan catatan pemerintah, Jabar mengalami surplus gabah hingga 1,3 juta ton di tahun 2022.
Meskipun tidak mengetahui penyebab lonjakan harga secara pasti, rantai pasok yang panjang dalam perdagangan beras juga menjadi sorotan Dadan. Hal ini meningkatkan potensi permainan harga dalam distribusi di tengah isu krisis pangan sehingga berdampak pada harga jualnya di tengah masyarakat.
“Ada banyak faktor pemicu, mulai dari kenaikan harga pupuk, bahan bakar, pestisida, benih, hingga inflasi. Mungkin banyak spekulan yang bermain di tengah isu krisis pangan, tapi ranah itu sulit untuk dibuktikan,” ujarnya.
Apalagi, Jabar adalah salah satu daerah dengan kebutuhan beras yang tinggi di Indonesia. Dadan berujar, konsumsi (beras) masyarakat di Jabar berkisar 82,78 kg per kapita dalam satu tahun.
Sementara itu, BPS mencatat, jumlah penduduk di Jabar per Juni 2022 mencapai 48,6 juta penduduk. Jumlah ini setara dengan 17,66 persen dari total penduduk Indonesia yang menyentuh 275,77 juta jiwa.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga menyebut, pihaknya tengah mencari solusi untuk kembali menstabilkan harga beras di Jabar. “Jabar (panen) surplus. Jadi kunci kenaikan harga bukan di petani, bukan di produksi. Ada sistem berdagang di luar kendali kami, yang membuat konsumen membeli dengan harga tidak wajar,” ujarnya.
Tidak efisien
Guru Besar Ilmu Industri dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Maman Setiawan berpendapat, rantai pasok yang panjang ini membuat distribusi pangan menjadi tidak efisien. Selain faktor alam yang memengaruhi hasil panen, penguasaan harga bukan pada petani, namun ada di pedagang besar dan tengkulak.
“Penguasaan rantai pasok itu ada di tengah-tengah, bukan pada petani. Mereka juga ingin mendapatkan margin tinggi. Belum lagi saat paceklik dan stok berkurang, kondisi ini sangat memengaruhi lonjakan harga beras,” ujarnya.
Walaupun tidak efisien, petani sulit memotong rantai pasok dari tengkulak langsung kepada konsumen. Menurut Maman, kondisi ini terjadi karena yang memiliki akses perbankan adalah pedagang besar dengan modal yang bisa menjadi jaminan.
Karena itu, Maman berharap keberpihakan ada di sisi petani agar bisa memutus ketergantungan tersebut. Perbedaan harga antara petani dengan pasar menjadi kecil jika rantai pasok mengecil.
“Pemerintah bisa memfasilitasi langsung permodalan kepada para petani. Selain itu, ada jaminan untuk menyerap gabah petani juga bisa memastikan penghasilan mereka saat membutuhkan modal,” ujarnya.
Jumlah penduduk Jabar bisa jadi mengalami penurunan pada bulan September 2022. Saat itu, jumlahnya 4,05 juta atau menurun sebanyak 17.360 pada Maret 2022. Namun, hasil itu bukan sekadar angka belaka. Ada nyawa di balik itu semua.
Oleh karena itu, saat petani menjadi berdaya, permainan harga juga bisa ditekan dari rantai pasok yang efisien. Jika beras semakin terjangkau, maka masyarakat kecil pun tidak perlu menahan selera untuk membeli makanan bergizi di saat harga melambung tinggi.