Pembangunan Kolam Retensi di Hulu Diusulkan untuk Atasi Banjir Semarang
Banjir di kawasan Tembalang, Kota Semarang, Jateng, terus berulang akibat kesalahan penataan ruang di wilayah hulu. Upaya darurat terus dilakukan sembari menunggu upaya jangka panjang berupa pembangunan kolam retensi.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kesalahan penataan ruang di wilayah hulu, yakni di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, diduga menjadi penyebab banjir bandang di sejumlah kelurahan di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, beberapa waktu terakhir. Pembangunan kolam retensi diharapkan mampu menahan debit air dan menekan risiko banjir berulang.
Banjir bandang setidaknya sudah lima kali melanda tiga kelurahan di Kecamatan Tembalang, dalam dua bulan terakhir. Tahun ini, banjir bandang pertama kali terjadi pada 6 Januari 2023. Kala itu, ratusan rumah yang ditinggali ribuan jiwa sempat terendam air dengan ketinggian hingga 2 meter.
Hal terbaru, banjir bandang melanda Perumahan Dinar Indah, Kelurahan Meteseh, Senin (20/1/2023) petang. Air dengan ketinggian sekitar 50 sentimeter (cm) merendam puluhan rumah yang ditinggali oleh 139 orang. Pada Senin malam, banjir surut menyisakan lumpur dan sampah.
Akibat banjir tersebut, rumah warga dan lingkungan Perumahan Dinar Indah kotor. Warga pun terpaksa mengungsi di masjid sekitar perumahan atau rumah kerabat mereka.
Banjir bandang dipicu oleh meluapnya debit air Sungai Pengkol, yang merupakan anak Sungai Babon, akibat hujan deras di Kabupaten Semarang. Kondisi itu kian parah karena adanya dua titik tanggul sungai yang jebol.
Sekretaris Daerah Jateng Sumarno menilai, banjir yang terjadi harus ditangani secara menyeluruh dari hulu hingga hilir. Untuk itu, pihaknya menggelar rapat koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Semarang, Pemerintah Kota semarang, dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana, Selasa (21/2). Rapat itu untuk mengidentifikasi persoalan penyebab banjir serta menyiapkan upaya penanganannya.
”Kebanyakan akar problem ini adalah ketidakpatuhan tata ruang di wilayah hulu. Kebetulan, saat ini, Kabupaten Semarang masih dalam tahap revisi tata ruang. Kami berpesan agar tata ruang benar-benar ditaati karena, kalau tidak, bisa berdampak ke masalah lingkungan,” kata Sumarno, Selasa.
Tidakpatuhan tata ruang di Kabupaten Semarang mengakibatkan daerah resapan minim. Hal itu membuat air hujan yang seharusnya bisa terserap sebagian di wilayah hulu langsung mengalir ke hilir.
Tidak hanya di Kabupaten Semarang, Sumarno juga menyebut, ketidakpatuhan terhadap aturan tata ruang juga terjadi di Kota Semarang. Di Kota Semarang, banyak perumahan yang dibangun terlalu mepet dengan sungai. Sumarno meminta pemerintah setempat menegakkan aturan dan memberi sanksi kepada pengembang.
”Masalah (pembangunan perumahan melanggar aturan tata ruang) ini bisa dicegah kalau lebih dulu ada pengawasan kepada pengembang. Masyarakat ini korban, harus kita lindungi bersama,” ujarnya.
Sementara ini, upaya darurat terus dilakukan oleh Pemkot Semarang bersama BBWS Pemali-Juana, yakni pembangunan tanggul menggunakan bambu serta karung berisi campuran pasir dan tanah. Adapun upaya jangka panjang adalah dengan pembangunan kolam retensi.
Kebanyakan akar problem ini adalah ketidakpatuhan tata ruang di wilayah hulu.
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menyebut, kolam retensi akan diusulkan untuk dibangun di hulu sekitar Sungai Mluweh, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang. Selain untuk menahan air hujan agar tidak semuanya turun ke hilir, kolam retensi juga diharapkan bisa menjadi tempat penampungan air yang bisa dimanfaatkan sebagai air baku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kota Semarang.
”Kami semua pararel mendorong percepatan pembangunan kolam retensi ini. Perkembangan terakhir, BBWS Pemali-Juana sudah mengajukan anggaran pembangunan kolam retensi ini ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” tutur Hevearita.
Sementara itu, Pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Semarang Valeanto Soekendro mengatakan, Bupati Semarang Ngesti Nugraha sudah bersurat ke BBWS Pemali-Juwana terkait permohonan pengerukan sedimentasi. Pengerukan sedimentasi diharapkan bisa dilakukan di Sungai Mluweh yang memiliki aliran ke Sungai Babon dan Sungai Pengkol. Dengan begitu, daya tampung sungai itu bisa meningkat dan tidak lagi meluap saat debit air naik.
”Sungai Mluweh ini juga belum ada tanggulnya sehingga banyak menggerus wilayah sekitarnya. Alirannya jadi berbelok dan sudah mengarah ke permukiman warga. Kondisi itu juga kami harapkan bisa segera ditangani,” kata Soekendro.