21 Tahun Warga Oelnasi, Kupang, Merindukan Air Bersih Bendungan Tilong
Hampir 21 tahun warga Desa Oelnasi, Kabupaten Kupang, merindukan air bersih dari Bendungan Tilong. Padahal, bendungan itu ada di tengah desa mereka dan air melimpah.
Hampir 21 tahun Bendungan Tilong hadir di Dusun Tilong, Desa Oelnasi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Namun, sekitar 2.600 warga di desa itu mengalami kekeringan setiap tahun.
Pipa induk yang menyalurkan air baku dari Tilong bagi warga Kota Kupang hanya lewat begitu saja di tengah desa. Sementara warga Oelnasi terpaksa memenuhi kebutuhan air bersih dengan membeli air tangki dan memanfaatkan air hujan.
Melo Natun (42), warga Desa Oelnasi, Selasa (21/2/2023), menarik selang sepanjang 20 meter dari bak penampungan air menuju rumahnya. Air di dalam bak itu baru saja diisi mobil tangki. Natun membeli air tangki itu seharga Rp 150.000 per tangki isi 5.000 liter. Air itu untuk kebutuhan lima penghuni rumah selama satu pekan.
Saat puncak kemarau, Agustus-November, harga air tangki bisa sampai Rp 200.000 per tangki. Bahkan, warga yang tinggal di pinggir desa dengan kondisi jalan yang buruk harus membayar Rp 300.000 per tangki.
Menurut Natun, pipa besar sekitar 10 dim dari Bendungan Tilong lewat begitu saja di depan rumah kediamannya. Pipa itu ditarik sampai Kota Kupang, sekitar 25 kilometer, langsung dari sumber air Tilong. Ayah tiga anak ini pun mempertanyakan, mengapa pihak pengelola bendungan tidak membagikan satu atau dua keran air bagi warga di desa itu.
Baca juga : Debit Air Semua Bendungan di NTT Melimpas
John Kitu (64), warga lain, tinggal sekitar 3 km dari rumah Natun. Ketika Bendungan Tilong diresmikan pada 2002, ia bersama tetangga sekitar sangat gembira. Ia membayangkan, kesulitan air bersih bakal pupus karena kehadiran Bendungan Tilong. Namun, 21 tahun berlalu, air itu tidak pernah masuk Desa Oelnasi.
Sangat irit
Selama itu pula, Kitu bersama istri, enam anak, cucu, dan anak mantu hidup dari air tangki. ”Kami ada 19 orang. Satu air tangki hanya untuk kebutuhan dua hari saja. Itu pun kami sudah sangat irit. Saya sampai mandi tiga kali saja dalam satu minggu. Hanya untuk menghemat air. Tetapi, dampaknya, penyakit kulit muncul di mana-mana,” kata Kitu.
Tahun 2017, Kitu memutuskan menjual sebidang tanah dengan luas 1.000 meter persegi kepada seorang pejabat di Kupang untuk menyewa jasa sumur bor senilai Rp 35 juta per titik. Kehadiran sumur itu sangat membantu keluarga besar Kitu.
”Air ini tidak saja dibutuhkan manusia, tetapi juga ternak peliharaan, tanaman, dan lingkungan sekitar,” katanya.
Bagi warga kurang mampu, membeli air dari mobil tangki adalah suatu kemewahan. Keterbatasan uang membuat mereka hanya bisa bertahan dengan menyiapkan drum dan wadah seadanya untuk menampung air hujan. Upaya ini jelas tidak mencukupi kebutuhan air bersih sepanjang tahun. Mereka ini paling rentan terserang penyakit, terutama penyakit kulit dan lainnya.
Baca juga : Ketika Bendungan Tilong dan Raknamo NTT Mengering
Kepala Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, YusakLeinati mengatakan, bendungan itu terletak di RT 010/RW 005 Dusun 4 Tilong. Desa Oelnasi memiliki lima dusun, dengan jumlah 622 kepala keluarga atau 2.675 jiwa. Kebanyakan warga adalah petani lahan kering dan peternak.
Air ini tidak saja dibutuhkan manusia, tetapi juga ternak peliharaan, tanaman, dan lingkungan sekitar.
Soal air dari Bendungan Tilong, menurut Yusak, sudah dibahas beberapa kali. Pembahasan melibatkan Balai Sungai Wilayah Nusa Tenggara 2 Kupang, Bupati Kupang, camat, dan anggota DPRD Kupang. Dalam musyawarah pembangunan desa, masalah air dari Bendungan Tilong ini pun selalu masuk dalam agenda kerja tahunan. Namun, sampai hari ini air itu belum terealisasi.
Sebelum bendungan ini hadir,ada tiga kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat Oelnasi. Sawah warga seluas 70 hektar boleh dijadikan kolam bendungan dengan syarat tersedia air bersih untukwarga Oelnasi dan air untuk irigasi pertanian milik warga.
”Soal irigasi pertanian ini sudah terealisasi. Sekitar 35 hektar lahan diolah dengan bantuan irigasi Tilong,” kata Yusak.
Akan tetapi, musim tanam tahun ini, air irigasi ke lahan sawah warga tidak jalan. Pihak pengelola bendungan beralasan, pintu air keras, susah dibuka untuk mengalirkan air.
”Kalau soal itu sebenarnya tidak sulit mengatasi. Tetapi, kami tidak bisa bantah. Petani pun tidak lagi mengolah lahan,” lanjutnya.
Baca juga : Berkaca pada Bendungan Tilong, Pengelolaan Bendungan Raknamo Harus Lebih Baik
Membantu warga yang kesulitan air bersih, pada 2022 Yusak mengalokasikan dana desa senilai Rp 35 juta untuk membangun satu sumur bor. Walakin, sumur ini tidak bisa melayani semua warga. Hanya beberapa warga yang benar-benar miskin dan sulit berbelanja air bersih yang bisa memanfaatkannya. Tetapi, mereka ini tinggal terpencar-pencar sehingga tidak semua orang miskin terlayani.
Warga membeli air tangki dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 100.000 sampai Rp 300.000 per tangki. Desa itu pernah mendapat bantuan air tangki selama satu bulan dari Pemerintah Provinsi NTT pada masa Gubernur Piet A Tallo (1998-2008). Setelah itu, tidak ada bantuan air bersih, baik dari Pemprov maupun Pemkab Kupang, sampai hari ini.
Miskin
Pada 2022, warga miskin di Desa Olenasi sebanyak 105 keluarga. Tahun sebelumnya, warga miskin sebanyak 136 keluarga. Gambaran kemiskinan juga terlihat dari angka tengkes, yakni tujuh kasus pada 2022. Selain itu, 25 warga memilih menjadi pekerja migran di luar negeri.
”Jika air cukup tersedia, kemiskinan bisa ditekan, termasuk tengkes. Air itu sumber hidup. Semua manusia, binatang, dan tumbuhan butuh air. Kita sudah susun perdes (peraturan desa) soal air Tilong, tetapi perdes itu tidak bisa menjawab persoalan,” kata Yusak.
Baca juga : Bendungan Tilong Kupang Ditata Lebih Menarik
Frengki Welkis dari Satuan Kerja Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara 2 mengatakan, pihak balai sungai bukannya tidak memperhatikan wargaOelnasi. Pipa-pipa menuju rumah warga dan tujuh bak penampung sudah dibangun pada tahun 2004-2006. Akan tetapi, saat diuji coba, air tidak bisa naik.
Posisi desa itu berada di ketinggian. Untuk mengalirkan air ke desa itu butuh pompa yang cukup besar, bahan bakar, dan fasilitas pendukung lain.
”Ini butuh biaya ratusan miliar rupiah,” kata Frengki.
Alternatif penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk menggerakkan pompa air pernah dihitung. Namun, dibutuhkan panel surya panjang dan luas, lahan yang cukup luas, dan biaya besar. Itu pun belum tentu menghasilkan energi yang cukup karena panas matahari tidak selalu stabil.
”Pipa induk ke Kota Kupang yang melalui desa itu tidak bisa diganggu. Itu ketentuan. Tidak bisa dibagi-bagikan ke warga desa itu,” katanya.
Alhasil, hingga kini warga Desa Oelnasi hanya menjadi penonton, menanti entah kapan air bersih tersalur dengan mudah, meski hampir 21 tahun sudah ada Bendungan Tilong di desanya.
Baca juga : Kekeringan Ekstrem Rawan Terjadi di NTT