Pemberian Gelar Profesor Kehormatan Dikhawatirkan Bersifat Transaksional
Pemberian gelar profesor atau guru besar kehormatan dikhawatirkan bersifat transaksional. Pemberian gelar secara transaksional itu dikhawatirkan membuat semangat para dosen di perguruan tinggi menjadi merosot.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
’
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemberian gelar profesor atau guru besar kehormatan dikhawatirkan bersifat transaksional. Kondisi itu rentan membuat semangat para dosen di perguruan tinggi menjadi merosot.
”Pengangkatan profesor kehormatan tersebut dikhawatirkan didasari relasi transaksional, tekanan, atau kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sigit Riyanto dalam pernyataan tertulis yang diterima Kompas, Rabu (15/2/2023) sore.
Sebelumnya diberitakan, sejumlah dosen UGM membuat pernyataan sikap menolak usulan pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu di sektor non-akademik. Pernyataan sikap para dosen UGM itu tercantum dalam sebuah surat yang beredar di media sosial selama beberapa hari terakhir.
Surat tertanggal 22 Desember 2022 itu ditujukan kepada Rektor UGM serta ketua, sekretaris, ketua-ketua komisi, dan anggota Senat Akademik UGM. Dalam surat tersebut terdapat enam poin pernyataan para dosen.
”Berdasarkan poin-poin di atas, kami dosen-dosen UGM menyatakan menolak usulan pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu-individu di sektor non-akademik, termasuk kepada pejabat publik,” demikian bunyi kutipan surat tersebut.
Di surat itu juga tercantum nama ratusan dosen dari berbagai fakultas di UGM yang disebut menjadi penandatanganan pernyataan. Salah seorang dosen yang ikut menandatangani pernyataan itu adalah Sigit Riyanto.
Sigit memaparkan, sesuai regulasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), jabatan profesor dapat dicapai melalui dua cara. Cara pertama adalah jalur akademik bagi dosen perguruan tinggi. Sementara jalur kedua adalah pemberian gelar profesor kehormatan bagi kalangan non-akademik yang memiliki kompetensi luar biasa.
Saat ini, aturan pemberian gelar guru besar kehormatan mengacu pada Peraturan Mendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Dalam peraturan itu disebut, orang yang akan diangkat menjadi profesor kehormatan harus memenuhi sejumlah kriteria.
Salah satunya, memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan, atau kompetensi yang setara dengan jenjang sembilan pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Selain itu, calon tersebut harus memiliki kompetensi luar biasa, prestasi eksplisit, atau pengetahuan yang luar biasa. Calon itu juga harus memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional atau internasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, Sigit menyebut, pengangkatan profesor kehormatan tampaknya mulai dianggap sebagai kelaziman dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Meski begitu, dia mempertanyakan, apakah pengangkatan profesor kehormatan itu benar-benar telah memperhatikan kaidah yang diatur dalam Permendikbudristek No 38/2021.
”Benarkah praktik pengangkatan profesor kehormatan selama ini telah memperhatikan dan menerapkan kaidah tersebut secara konsisten? Atau sekadar instrumen transaksi kepentingan di antara para pihak yang terlibat dalam proses tersebut?” kata Sigit.
Subyektif
Sigit menambahkan, dalam proses pengangkatan profesor kehormatan, ada kekhawatiran kaidah di dalam Permendikbudristek No 38/2021 bisa diinterpretasikan secara subyektif sesuai kepentingan para pihak yang terlibat.
”Jika hal ini yang terjadi, patut diduga ada upaya ’transaksi jabatan akademik profesor’ dengan mengabaikan norma, etika, dan standar mutu akademik yang sahih dan otentik,” ujar Sigit.
Pengangkatan profesor kehormatan tersebut dikhawatirkan didasari oleh relasi transaksional, tekanan, atau kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi.
Sigit juga menilai, pengangkatan profesor kehormatan karena adanya kepentingan pragmatis individu atau kelompok merupakan pengabaian terhadap dedikasi para dosen yang telah berjuang keras untuk meraih posisi guru besar. Kondisi itu dikhawatirkan bakal membuat semangat para dosen menjadi merosot.
”Kebijakan semacam itu dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi. Semangat pengabdian dan dedikasi terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dan intelektual merosot,” ujarnya.
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Purwo Santoso juga mengaku ikut menandatangani pernyataan sikap menolak usulan pemberian gelar guru besar kehormatan. Purwo menyebut, pernyataan sikap penolakan itu dibuat karena ada rumor bahwa UGM akan memberikan gelar guru besar kehormatan kepada tokoh non-akademik.
”Ada rumor, UGM akan memberikan. Kami ingin menghentikan rumor dan menghentikan agenda, sekiranya otoritas di UGM hendak memberikannya,” kata Purwo.
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM Arie Sujito mengatakan, UGM tidak sedang memproses pemberian gelar guru besar kehormatan.
”UGM tidak menerapkan dan tidak memproses,” katanya saat dihubungi melalui Whatsapp, Rabu sore.
Arie menyebut, Rektor UGM justru membentuk tim untuk mengkaji Permendikbudristek tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan. Hasil kajian itu kemudian menjadi bahan rekomendasi kepada Mendikbudristek.
”Rektor membentuk tim untuk mengkaji dan mengkritisi peraturan menteri, lalu memberi rekomendasi dan input strategis ke menteri,” ujar Arie.