Ribuan Warga di Sisi Selatan Kabupaten Kupang Nyaris Terisolasi
Ribuan warga di Kupang sisi selatan nyaris terisolasi setelah badan jalan longsor dan hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Badan jalan tergerus sejak tujuh tahun terakhir. Warga telah berswadaya memperbaikinya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
OELAMASI, KOMPAS — Hujan selama hampir dua pekan terakhir menyebabkan longsor di Kiupakas, Desa Oemasi, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lebih kurang 5.000 jiwa penduduk di enam desa yang menggunakan akses jalan itu kini terisolasi.
Lokasi longsor tersebut berada sekitar 15 kilometer dari Kota Kupang atau 47 kilometer dari Oelamasi, ibu kota Kabupaten Kupang. Kini, titik itu tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Pengemudi sepeda motor yang memaksa lewat pun harus berhati-hati karena kondisi jalan di tepi jurang itu licin.
Padahal, jalan tersebut menjadi satu-satunya jalur yang dilewati warga enam desa untuk pergi ke Oelamasi atau Kota Kupang. Enam desa dimaksud, antara lain, Oenif, Usapisonbai, Taloitan, Bone, Tasikoba, dan Oepaha. Total penduduk di sana lebih kurang 5.000 jiwa.
Pantauan Kompas pada Minggu (12/2/2023), badan jalan selebar 4 meter sudah longsor. Kini hanya tersisa jalanan tanah selebar satu langkah kaki yang menjadi jalur sepeda motor. Kondisi jalan sangat licin sehingga bisa membahayakan.
Rince Baitanu (38), warga Desa Oemasi, menuturkan, longsor mulai memakan badan jalan itu sejak tujuh tahun terakhir. Berada di punggung bukit, setiap kali terjadi hujan lebat, air perlahan mengikis jalan.
Tanggul penahan jalan roboh kemudian diikuti badan jalan. ”Ini kalau hujan satu minggu lagi, pasti putus total. Jangankan sepeda motor, warga yang jalan kaki juga semakin sulit karena bahaya. Di sampingnya ada jurang,” ujarnya.
Beberapa jam sebelum Kompas tiba, beberapa warga menggendong seorang kakek yang sedang sakit keras untuk melewati jalan sempit dan licin itu. Kakek dimaksud hendak dibawa ke rumah sakit di Kota Kupang.
Mobilitas barang
Hambatan akses jalan itu melumpuhkan ekonomi. Dalam dua minggu ini, petani tidak lagi menjual hasil kebun di kota karena tidak ada kendaraan roda empat yang beroperasi. Jika menggunakan ojek sepeda motor, tarifnya dua kali lipat.
Untuk rute Desa Oepaha ke Kota Kupang, misalnya, ongkos ojek pergi dan pulang Rp 150.000. Waktu tempuh sekitar dua jam lantaran kondisi jalan yang dilewati rusak parah. ”Sekarang tidak ada penumpang. Sebelum jalur ini putus, satu hari bisa pergi-pulang sampai tiga kali,” tutur Marsel Boki (32), sopir.
Ia menambahkan, kini harga barang kebutuhan di enam desa yang terisolasi itu sudah tinggi. Di tingkat pengecer, pertalite dalam wadah sekitar 800 mililiter dijual dengan harga Rp 15.000. Padahal, harga satu liter pertalite subsidi Rp 10.000 per liter.
Hambatan akses jalan itu melumpuhkan ekonomi.
Marsel memperkirakan, harga barang akan terus meningkat jika dalam waktu dekat belum ada perbaikan jalan. Untuk sementara, para sopir membantu distribusi barang kebutuhan secara estafet.
Mobil dari arah Kota Kupang menurunkan barang sebelum titik longsor kemudian mereka memikulnya ke seberang. Di sana sudah menanti mobil yang siap mengangkut barang ke enam desa itu. Sistem estafet ini memerlukan biaya tambahan untuk buruh angkut.
Eklopas Aluman (46), tokoh masyarakat setempat, menuturkan, selama tujuh tahun terakhir, mereka secara swadaya menimbun jalan longsor itu. Setiap pemilik kendaraan, seperti mobil angkutan perdesaan, dibebani sumbangan Rp 500.000. Pelintas lain menyumbang secara sukarela.
Masyarakat dari enam desa itu dikerahkan bekerja selama beberapa hari. ”Sayangnya, kondisi longsor semakin parah setelah talud penahanan ambruk. Kami tidak bisa timbun lagi. Jadi saatnya pemerintah harus hadir di sini,” katanya.
Menurut penelusuran di situs resmi Pemerintah Kabupaten Kupang, jalan tersebut berada di bawah tanggung jawab pemerintah kabupaten. Selama tahun anggaran 2023 tidak ada perencanaan untuk perbaikan jalan tersebut.
Hingga Minggu petang, Bupati Kupang Korinus Masneno belum bisa dihubungi. Beberapa pejabat terkait yang dikontak menyarankan untuk menghubungi langsung kepala daerah selaku penguasa anggaran pembangunan.