”Timah Panas” untuk Penjahat Jalanan di ”Gotham City”
Penembakan terhadap para pelaku kejahatan jalanan ini disebut polisi sebagai tindakan tegas dan terukur. Timah panas yang bersarang di tubuh mereka disebut sebagai akibat dari mengancam petugas dan meresahkan warga.
Kawasan Bandung Raya mengawali tahun 2023 dengan julukan sebagai ”Gotham City”, kota tempat tinggal superhero fiktif, Batman, yang penuh orang jahat. Penyebabnya, kejahatan jalanan marak terjadi, lalu ramai di media sosial. Tembakan ”timah panas” pun dilakukan sebagai bentuk tindakan tegas dari aparat.
Akan tetapi, tindakan ini hanya dianggap menyelesaikan permasalahan sementara saja. Selama budaya hukum di masyarakat belum terbentuk dengan baik, hal serupa sangat rawan terus terulang.
Jejak letusan senjata api aparat itu terlihat di kaki GS (23) saat berada di Markas Kepolisian Resor Cimahi, Jawa Barat, Rabu (8/2/2023). Dia terduduk lemas. Kedua betisnya berbalut perban putih.
Rekannya, AB (22), juga mengalami hal serupa. Betisnya diperban. Namun, dia masih bisa berjalan meski terseok-seok. Tangan kanannya terikat borgol pada kursi roda yang dinaiki GS.
”Kaki mereka terpaksa ditembak karena melawan saat hendak ditangkap,” ujar Kepala Polres Cimahi Ajun Komisaris Besar Aldi Subartono.
Baca juga: Julukan ”Gotham City” Membayangi Kota Bandung
GS dan AB ditangkap karena terlibat kasus pembacokan. Terjadi di Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi, pada Senin (23/1/2023) dini hari, korbannya adalah AR (19). Para pelaku mengira korban adalah geng motor lawan.
Kejadian itu bermula saat GS, AB, dan rekan mereka, AFA, tengah mengonsumsi minuman keras. Ketika dimabukkan alkohol, GS mengaku mendengar ledekan yang mengarah padanya. Tidak butuh lama, ”suara” itu langsung ditanggapi. Sepeda motor dinyalakan. Senjata tajam dihunuskan.
Tak kunjung menemukan asal ”suara”, ketiganya semakin gelap mata. Bertemu dengan AR di kawasan Cibabat, para pelaku nekat menyabetkan celurit sepanjang setengah meter. Pecahan genteng juga dijadikan senjata untuk menganiaya korban. Akibatnya, AR terluka di punggung dan kepala.
Sepekan kemudian, GS dan AB dibekuk kepolisian. Sementara AFA masih buron. Petugas juga mengumpulkan barang bukti berupa celurit dan genteng yang digunakan untuk melukai korban, pakaian, dan satu sepeda motor.
Tindakan tegas
Tidak hanya menjadi pesakitan karena ditembak petugas, kedua pelaku terancam bui hingga sembilan tahun. Mereka dijerat dengan Pasal 170 KUHP karena melakukan pengeroyokan hingga korban mengalami luka berat.
Aldi berujar, penindakan hukum ini menunjukkan komitmen kepolisian untuk bertindak tegas kepada penjahat jalanan. Dia juga meminta masyarakat, terutama para geng motor yang meresahkan masyarakat ini, tidak melakukan pelanggaran, bahkan mengancam jiwa.
”Kami mengimbau para kelompok untuk hentikan tindakan yang merugikan orang lain,” ujarnya.
Penembakan terhadap pelaku kejahatan jalanan juga terjadi di Kabupaten Bandung. Tersangka berinisial TK (23), menganiaya F (15) hingga meninggal dunia, Jumat (3/2/2023), di Kecamatan Solokanjeruk. Pelaku menggunakan golok untuk menebas korban hingga meninggal dunia.
Kurang dari 24 jam, polisi menangkap TK di rumah kontrakan di Solokanjeruk. Petugas menyita sepeda motor, golok sepanjang 75 sentimeter, dan topi yang bertuliskan nama salah satu geng motor di Bandung. Dua timah panas juga pernah bersarang di betis kiri dan kanan TK.
”Pelaku kriminal akan mendapat tindakan tegas,” kata Kepala Polresta Bandung Komisaris Besar Kusworo Wibowo.
Baca juga: Kejahatan Anak, Korban dan Pelaku Terempas Lingkaran Setan yang Sama
Kusworo menyatakan, pelaku dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan serta pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Pasal 80 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak karena korban masih di bawah umur. TK terancam penjara hingga 15 tahun penjara.
”Yang meresahkan dan mengancam keselamatan, kami perintahkan ditembak di tempat. Ini kami buktikan, ada geng motor yang meresahkan warga dan mengancam jiwa petugas akan kami tembak di tempat,” ujarnya di Markas Polresta Bandung, Senin (6/2/2023).
Di Kota Bandung, 70 pelaku kejahatan juga dibekuk jajaran Polrestabes Bandung dalam kurun 19 hari sejak awal 2023. Mereka yang ditangkap terlibat berbagai kasus pidana, seperti pencurian, penipuan, dan premanisme.
Kepala Polrestabes Bandung Komisaris Besar Aswin Sipayung menyebut, para pelaku dijerat dengan berbagai pasal terkait kejahatan yang dilakukan dengan ancaman hingga tahunan penjara. Dia juga menekankan, tindakan tegas akan menanti orang-orang yang berbuat onar di jalanan.
”Bagi para pelaku kejahatan yang beraksi di Kota Bandung, akan kami berikan tindakan tegas terukur, apalagi mengancam keselamatan petugas saat penangkapan. Kepada warga, apabila mengalami kejadian tindak pidana atau kriminal, segera melaporkan kepada kepolisian,” ujarnya saat pengungkapan kasus di Markas Polrestabes Bandung, Kamis (19/1/2023).
Akan tetapi, tindakan hukum belum membuat hati sebagian orang tenang. Dani (38), karyawan swasta dari Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, tetap merasa khawatir. Kerap melintasi jalan di malam hari saat pulang kerja, dia selalu berharap tidak berpapasan dengan gerombolan geng motor atau rombongan lainnya.
”Kalau dibilang, sekarang masih merasa seperti Gotham City. Kalau malam ada rombongan motor, saya jadi waswas. Apalagi beberapa hari terakhir ada video geng motor di jalan yang ramai di media sosial. Kasihan yang cari uang malam-malam,” ujarnya.
Budaya hukum
Tindakan tegas dari para polisi memang bisa memberikan efek gentar kepada para penjahat jalanan. Namun, hal tersebut tidak serta-merta bisa menghentikan maraknya tindak kejahatan. Kriminolog dari Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar, berpendapat, kondisi yang terjadi di Bandung ini adalah dampak dari budaya hukum yang minim di tengah masyarakat.
Menurut Yesmil, tindakan tegas dari petugas itu hanya bersifat sementara jika tidak mencegah kejahatan dari akarnya, yakni kesadaran hukum masyarakat. Pencegahan yang dilakukan bersifat kasuistik atau sebab dan bisa saja bersifat sementara jika tidak dilakukan dengan konsisten.
”Penindakan tegas ini pencegahan bersifat simtomatik atau reaksi terhadap gejala yang muncul. Kalau dalam perjalanan kejahatan, penindakan itu ada di muara dan penjeraan yang bersifat sementara. Namun, akar dari kejahatan jalanan itu tidak ada di jalan, tetapi di rumah dan lingkungan yang menjadi akarnya,” ujar Yesmil.
Permasalahan yang berakar dari rumah ini, lanjutnya, bisa dilihat dari lingkungan yang permisif terhadap pelanggaran hukum. Budaya antre yang minim di masyarakat, angkutan umum yang berhenti seenaknya, bahkan pembiaran terhadap anak-anak yang melakukan kenakalan, seperti menggunakan sepeda motor tanpa surat izin, menjadi buktinya.
”Saya mengamati ini puluhan tahun, tetapi budaya hukum di Kota Bandung masih rendah. Padahal hukum itu jangan hanya dilihat dari undang-undang, tetapi aturan demi keamanan dan kenyamanan masyarakat. Ini membutuhkan usaha jangka panjang,” ujarnya.
Potensi kejahatan akan semakin besar jika masyarakat yang ada memiliki beragam masalah. Yesmil berujar, kemiskinan hingga ketimpangan sosial bisa membuat orang semakin brutal. Remaja yang mengalami krisis identitas melakukan tindakan nekat agar terlihat hebat.
”Jika itu terjadi, mau sampai kapan petugas melakukan tindakan tegas. Apalagi fasilitas dan personel yang terbatas juga menjadi masalah yang dihadapi meskipun aturan yang ada sudah baik,” ujarnya.
Kebiasaan yang permisif terhadap pelanggaran sekecil apa pun bisa berdampak pada budaya hukum yang minim. Karena itu, kesadaran hukum dari masyarakat perlu ditingkatkan. Jika tidak, petugas terpaksa mengeluarkan timah panas dari selongsong mereka hanya demi keamanan.