Internet bagaikan pedang bermata dua, bisa berdampak positif, tetapi juga berdampak negatif, terutama bagi anak-anak. Perlindungan anak dari konten-konten berbahaya harus segera dilakukan semua pihak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/RENY SRI AYU ARMAN
Situasi di rumah duka keluarga korban penculikan dan pembunuhan anak, yakni M Fadil Sadewa (11), di Jalan Batua Raya Makassar, Selasa (10/1/2023). Dewa menjadi korban penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku yang juga masih di bawah umur.
Penculikan dan pembunuhan seorang anak berusia 11 tahun di Makassar, Sulawesi Selatan, memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Apalagi, pelakunya adalah anak-anak yang seharusnya mendapat perhatian dan perlindungan orangtua serta masyarakat.
Di sisi lain, kejahatan tersebut semakin menunjukkan sisi berbahayanya dunia maya. Kemudahan anak-anak dalam mengakses berbagai situs yang berisi konten-konten berbahaya dan negatif bisa berujung pada kejahatan atau tindak pidana.
Seperti diberitakan, seorang anak bernama M Fadil Sadewa (11) menjadi korban penculikan dan pembunuhan di Makassar. Dua pelaku yang masih di bawah umur (17 tahun dan 14 tahun) nekat melakukan tindak keji itu karena ingin menjual organ tubuh korban. Semula, korban akan dijual ginjalnya seharga 80.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,2 miliar.
Korban yang akrab dipanggil Dewa itu dilaporkan dibawa orang tak dikenal pada Minggu (8/1/2023) petang, saat berada di depan toko di Jalan Batua Raya, Makassar. Keluarga korban kemudian melaporkannya kepada polisi, Senin (9/1/2023).
Kedua pelaku, Al (17) dan Fa (14), pada Selasa (10/1/2023) dini hari langsung ditangkap polisi. Keduanya sempat mereka terekam kamera CCTV di depan sebuah toko.
Al, tersangka utama kasus tersebut, mengungkapkan, dia mengakses informasi di internet tentang organ tubuh yang harganya mahal. Dari sanalah, Al dan Fa kemudian berpikir untuk menculik Dewa karena ingin mendapatkan uang dan kaya. Al juga mengaku, jika mendapat uang, ia akan menyerahkannya kepada orangtua dan membangun rumah.
Sejauh ini polisi belum melihat adanya indikasi keterlibatan orang lain atau jaringan tertentu terkait kasus tersebut. Namun, Al mengakui setelah menculik Dewa, dia sempat mengirim surat elekronik (e-mail) ke alamat yang ditemukannya di internet.
Tak hanya itu, Al juga berusaha mencari informasi lain via Youtube. Namun, saat e-mail dikirim, mereka tidak mendapat balasannya. Karena bingung, kedua anak itu kemudian membunuh dewa.
Dua tersangka penculikan anak, yakni Al (17) dan Fa (14), dihadirkan dalam jumpa pers yang digelar Polrestabes Makassar, Selasa (10/1/2023). Kedua pelaku mengaku menculik karena ingin menjual organ tubuh.
Abainya negara dan orangtua
Kejahatan yang dilakukan dua anak tersebut tentu mengundang keprihatinan berbagai kalangan karena kasusnya bukan kasus biasa dan anak-anaklah yang menjadi korban. Di satu sisi, ada anak yang kehilangan nyawa dan di sisi lain pelakunya juga anak-anak.
Pengajar Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Imu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, meminta aparat penegak hukum dan masyarakat melihat bahwa dalam kasus tersebut pelakunya adalah anak-anak.
Dalam hal ini mereka juga harus dipahami sebagai korban. Korban dari abainya negara dalam melindungi dan mencegah mereka melakukan tindakan pelanggaran hukum dan tindakan-tindakan yang berisiko.
”Dalam hal ini mereka juga harus dipahami sebagai korban. Korban dari abainya negara dalam melindungi dan mencegah mereka melakukan tindakan pelanggaran hukum dan tindakan-tindakan yang berisiko,” ujar Mamik, Rabu (11/1/2023).
Bukan hanya negara, perbuatan anak-anak tersebut juga menunjukkan bahwa orang dewasa, khususnya orangtua, sekolah, dan masyarakat sekitar anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang, gagal dalam memberikan perlindungan dan mendidik anak-anak untuk menghargai kehidupan orang lain.
Mamik pun mempertanyakan soal keberadaan situs-situs yang mendorong orang melakukan kejahatan, seperti yang terjadi pada anak-anak pelaku tersebut. ”Bagaimana website penjualan organ tubuh bisa beredar leluasa dan diakses anak-anak? Ini perlu dikritisi,” tegas Mamik.
Seharusnya, polisi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), serta lembaga-lembaga negara yang berkewajiban memastikan ruang siber aman bagi anak-anak, bebas dari praktik bisnis kejahatan, dan fasilitasi kejahatan.
Selanjutnya, untuk penanganan hukum terhadap anak-anak pelaku penculikan dan pembunuhan tersebut, aparat penegak hukum dan semua pihak harus tunduk ada instrumen nasional dan internasional. Instrumen itu menjamin hak-hak anak yang disangka melakukan kejahatan.
Situasi pelaku yang adalah anak-anak wajib menjadi fokus perlakuan. Mamik menegaskan, anak-anak tidak bisa dianggap sebagai ”melakukan pembunuhan berencana”. Sebab anak-anak tidak mempunyai kapasitas melakukan hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa atau pelaku yang ”profesional”.
”Tanpa mengurangi keprihatinan atas hilangnya nyawa seorang anak/korban, kedua anak pelaku juga adalah korban. Korban dari negara/pemerintah yang abai, orangtua yang tidak mampu melindungi anak-anak, dan komunitas yang tidak peduli,” kata Mamik.
DIDIE SRI WIDIANTO
Didie SW
Awasi dan tutup situs
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah sangat prihatin atas kasus yang menimpa anak di Makassar. Ia meminta Kemenkominfo mengawasi ketat dan segera menutup semua situs yang berisi konten perdagangan organ tubuh manusia dan sejenisnya.
Kendati polisi belum menemukan adanya indikasi keterlibatan jaringan penjual organ tubuh dalam kasus tersebut, kasus penculikan dan pembunuhan ini harus menjadi perhatian serius. Kepolisian harus mengungkap kejahatan tersebut.
”Kementerian Kominfo dan tim siber kepolisian harus segera mengungkap kejahatan ini dan menutup akun tersebut,” ujar Ai Maryati Solihah, Selasa lalu.
Keprihatinan dan perhatian serius juga disampaikan Nahar, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. ”Kami meminta kasus ini didalami secara komprehensif, baik dari aspek yuridis, sosial, maupun psikologis, agar dapat dicegah kasus seperti ini terulang kembali,” ujar Nahar.
Selain itu, Kementerian PPPA juga terus memantau dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk memastikan diberikannya layanan pendampingan baik kepada anak pelaku maupun anak saksi.
Terkait konten-konten yang berbahaya di internet yang mendorong anak-anak menjadi pelaku kejahatan, pihaknya sudah melaporkan hal tersebut ke tim siber Polri untuk mendalami hal tersebut. ”Kami sudah melaporkan ke Polri dan Kemenkominfo,” ucapnya.
Kasus penculikan dan pembunuhan Dewa seharusnya menjadi pintu masuk bagi Kemenkominfo, lembaga penegak hukum, serta penyedia jasa internet untuk meningkatkan pengawasan terhadap situs-situs yang berbahaya. Mari, lindungi anak-anak dari ancaman kejahatan. Jangan ada lagi anak korban dan anak pelaku.