Ketua Umum PSSI dan Bekas Direktur Utama LIB Agar Diadili
Terdakwa Tragedi Kanjuruhan di sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi meminta Ketua Umum PSSI dan bekas Direktur Utama LIB turut diadili dan bertanggung jawab dalam insiden berdarah dengan 135 jiwa meninggal itu.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS - Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan perlu diadili karena dianggap turut bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 di Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang mengakibatkan kematian 135 jiwa dan melukai 647 jiwa.
Demikian diutarakan Abdul Haris, terdakwa Tragedi Kanjuruhan, dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Surabaya, Jumat (10/2/2023) malam. Saat insiden berdarah seusai laga Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya itu terjadi, terdakwa merupakan Ketua Panitia Pelaksana selaku tuan rumah.
Abdul harus menghadapi tuntutan hukuman 6 tahun 8 bulan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam sidang Jumat (3/2/2023) malam lalu. Selain meminta pertanggungjawaban Ketua Umum PSSI, Abdul juga meminta agar bekas Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita yang masih berstatus tersangka kasus tersebut segera diadili.
Menurut Abdul, PSSI patut bertanggung jawab dalam seluruh kegiatan sepak bola di tanah air. LIB juga harus bertanggung jawab karena merupakan operator atau penyelenggara laga-laga sepak bola di kompetisi kasta tertinggi di dalam negeri itu. "Dalam Tragedi Kanjuruhan banyak hal perlu dicermati," katanya.
Abdul melanjutkan, insiden berdarah itu bisa dicegah apabila PSSI terlebih dahulu menyampaikan regulasi keselamatan dan keamanan di stadion kepada anggota Polri yang turut terlibat dalam pengamanan. Horor itu dipicu kalangan suporter menerobos pagar dan menyerbu lapangan (pitch invasion) yang tidak dapat dikendalikan oleh steward atau pengawas. Penanganan oleh petugas keamanan dari Polri sampai terjadi penembakan gas air mata yang mengakibatkan kepanikan dan kekacauan penonton (Aremania) sehingga dalam upaya keluar dari tribune berdesakan, berimpitan, saling injak, dan berakhir tragis karena berdampak fatal.
"Karena kesengajaan atau kelalaian PSSI sehingga Kepala Polri terlambat menerbitkan peraturan tentang pola pengamanan, penggunaan senjata, dan pengurai massa untuk pertandingan sepak bola,” kata Haris. Padahal, PSSI dan LIB merupakan pihak yang mendapat keuntungan amat besar dari kompetisi yakni hak siar dan sponsor.
Di sisi lain, panitia pelaksana termasuk terdakwa lainnya yakni Suko Sutrisno, bekas petugas keselamatan dan keamanan (safety & security officer) bersifat sukarela untuk memastikan pertandingan yang notabene hiburan bagi masyarakat terselenggara dengan baik.
Abdul mengatakan, terdakwa dari pihak panitia pelaksana merasa dipersalahkan seolah "kambing hitam". Jika nanti majelis hakim memutus terdakwa bersalah sesuai pelanggaran Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP, sepatutnya Ketua Umum PSSI dan bekas Dirut LIB diadili untuk pertanggungjawaban.
Abdul melanjutkan, bersama keluarga begitu terpukul atas proses hukum yang dijalani. Anak putus kuliah. Istri sakit. Keponakan turut jadi korban. Kematian dalam Tragedi Kanjuruhan menjadi kehilangan yang tidak bisa sembuh. "Yang Mulia (majelis hakim), Aremania sudah seperti saudara, anak-anak saya,"katanya.
"Demi Allah, tidak ada rencana melukai atau membunuh saudara-saudara (Aremania) saya. PSSI, LIB, dan aparat keamanan jangan saling cari pembenaran,” ujar Abdul.
Sejak 2008 dipercaya menjadi panitia pelaksana, laga derbi Jatim antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang, nyaris selalu aman. Tiket yang terjual selalu lebih dari kapasitas dan habis dibeli oleh Aremania.
Di hari tragedi, panitia mencetak lebih dari 43.000 tiket atau jauh di atas kapasitas 38.000 orang. Namun, rencana pembatasan tiket dibatalkan oleh Kepala Kepolisian Resor Malang saat itu Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat.
"Kanjuruhan tidak didesain untuk mengatasi pengendalian massa yang bersifat represif terutama penembakan gas air mata," kata Abdul.
Karena kesengajaan atau kelalaian PSSI sehingga Kepala Polri terlambat menerbitkan peraturan tentang pola pengamanan, penggunaan senjata, dan pengurai massa untuk pertandingan sepak bola
Sidang Tragedi Kanjuruhan juga mengadili tiga terdakwa dari anggota Polri. Mereka ialah bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Batalyon A Satuan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Timur Ajun Komisaris Hasdarmawan.
Ketiga terdakwa masih menjalani sidang pemeriksaan saksi. Ketiga terdakwa menghadapi tuduhan melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.