”Steward” atau pengawas pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan tidak memahami regulasi keselamatan dan keamanan sehingga tidak mampu mencegah insiden berdarah 1 Oktober 2022 yang menewaskan 135 jiwa itu.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS —Steward atau pengawas penonton dalam pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022, yang berakhir dengan insiden berdarah, tidak memahami Regulasi FIFA tentang Keselamatan dan Keamanan Stadion.
Demikian terungkap dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi untuk tiga terdakwa Tragedi Kanjuruhan dari anggota Polri di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (31/1/2023).
Ketiga terdakwa ialah bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Batalyon A Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan.
Dalam sidang itu, jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan belasan saksi yang, antara lain, tujuh steward atau pengawas penonton dalam laga lanjutan Liga 1 antara tuan rumah Arema FC dan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022).
Saat itu, laga berakhir dengan kericuhan yang membuat petugas keamanan atas perintah terdakwa, terutama Hasdarmawan dan Bambang, melepaskan tembakan gas air mata. Situasi berakhir dengan insiden berdarah dengan kematian 135 jiwa dan lebih dari 600 orang terluka yang mayoritas dari Aremania atau pendukung Arema FC.
Para saksi yang dalam laga itu menjadi steward menyatakan direkrut oleh panitia pelaksana secara lisan atau tanpa diberi surat tugas resmi. Mereka datang ke Stadion Kanjuruhan di Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang, pada Sabtu (1/10/2022) pukul 14.00 atau enam-tujuh jam sebelum sepak mula laga derbi Jatim itu pada pukul 20.30.
Saksi bernama Nanang Subekti mengatakan melihat kedatangan anggota Polri, termasuk pasukan dengan senjata gas air mata. Namun, karena ketidaktahuan tentang regulasi FIFA bahwa sebenarnya senjata tidak boleh berada di stadion, steward tidak menyampaikan informasi itu kepada petugas keamanan.
”Tidak berani (mengingatkan),” katanya menjawab pertanyaan JPU dalam sidang di Ruang Cakra dengan majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya (ketua) serta Mangapul dan I Ketut Kimiarsa (anggota).
Hal senada diutarakan oleh saksi bernama Ahmad Yoni. Steward ini juga melihat keberadaan petugas keamanan dari Polri yang membawa senjata gas air mata.
Namun, Ahmad tidak mengetahui adanya regulasi FIFA karena belum pernah mendapat sosialisasi dari panitia pelaksana. Karena ketidaktahuan itu, Ahmad merasa tidak punya kapasitas untuk bertanya kepada petugas keamanan yang dilengkapi dengan peralatan lengkap, termasuk senjata gas air mata.
”Tidak pernah disampaikan,” kata Ahmad mengenai regulasi FIFA tentang keselamatan dan keamanan di stadion.
Saat terjadi tembakan gas air mata, menurut Nanang, dirinya mendengar ada petugas tetapi sedang berada di lobi atau lorong untuk turut mengamankan tim Persebaya masuk ke mobil taktis Barracuda. Nanang melihat kendaraan itu terhalang blokade dan pelemparan batu oleh suporter dari luar stadion.
Dalam sidang sebelumnya pada Kamis (26/1/2023), Hasdarmawan mengatakan, Kompi 3 mendapat perintah dari Polda Jatim untuk membantu Polres Malang dalam pengamanan laga. Sebanyak 90 anggota dikerahkan, sembilan anggota di antaranya membawa senjata gas air mata.
Semakin banyak lemparan. Saya perintahkan anggota untuk persiapan penembakan.
Insiden dipicu situasi setelah pertandingan usai karena banyak penonton memasuki lapangan. Steward berusaha menghalau, tetapi situasi tidak terkendali karena kalangan penonton melempar batu, botol, atau lainnya ke lapangan.
Hasdarmawan dan pasukannya mencoba menghalau penonton dengan peringatan, tetapi diabaikan. Mereka bergerak ke sisi selatan lapangan, termasuk anggota yang membawa senapan gas air mata.
”Semakin banyak lemparan. Saya perintahkan anggota untuk persiapan penembakan,” katanya.
Hasdarman memerintahkan penembakan yang dilaksanakan oleh sembilan anggota pembawa senjata gas air mata. Masing-masing anggota pembawa senjata itu menembak empat kali sehingga terjadi penembakan sebanyak 36 kali.
Namun, Hasdarmawan menampik memerintahkan penembakan ke tribune penonton, tetapi ke arah datangnya ancaman atau serangan pelemparan benda.
”Ke tribune tidak ada,” ujarnya.
Penembakan itu terjadi tanpa komando perwira lebih tinggi atau atasan. Setelah itu, Hasdarmawan dan pasukan keluar untuk membantu evakuasi tim Persebaya yang berada di Barracuda. Pasukan Hasdarmawan melepaskan lagi dua tembakan untuk mengurai massa yang sempat memblokade jalan mobil taktis tersebut.
Dalam kasus Tragedi Kanjuruhan juga disidangkan dua terdakwa lainnya. Mereka adalah bekas Ketua Panitia Pelaksana Abdul Haris dan bekas security officer Suko Sutrisno. Dalam sidang pada Sabtu (28/1/2023), Abdul mengatakan, Kepala Polres Malang saat itu Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat sempat mengirim surat agar panitia pelaksana menempuh pembatasan tiket dari 42.000 menjadi sekitar 38.000 demi menekan potensi kerawanan.
Namun, Abdul melanjutkan, rencana pembatasan itu mendapat penolakan keras dari koordinator-koordinator Aremania. Abdul juga merasa terancam sehingga mengadu kepada Ferli. Akhirnya, rencana pembatasan tiket itu tidak jadi ditempuh untuk meredam potensi emosi Aremania yang ingin menghadiri laga.
Padahal, pencetakan 42.000 tiket itu menjadi salah satu masalah krusial dalam Tragedi Kanjuruhan. Ada belasan ribu penonton berada di area terlarang stadion sehingga mengancam keselamatan dan keamanan serta terbukti ketika terjadi kericuhan yang berakhir dengan insiden berdarah.